Bram tengah duduk terdiam. Ia menunggu Areen yang Bibi bilang sedang berjalan menemuinya di ruang tamu. Bram nurut saja, tetap menunggu kekasihnya. Rumah Areen tampak sepi. Tak ada suara apapun melainkan angin-angin kencang yang masuk melalui jendela. Tak lama kemudian, dengan wajah yang basah, serta memakai celana tiga perempat hitam dan kaus putih, Areen menghampiri dan duduk tepat di samping kirinya. Raut wajah Areen tampak lesu, menunduk dan belum menghadap kepadanya.
Bermaksud ingin mengundang senyum kekasihnya, Bram memandangi Areen sembari tersenyum hangat. Namun hal itu tak ada gunanya. Areen meliriknya sekilas namun tetap tanpa ekspresi, dan kemudian menunduk lagi. Lantas Bram heran dengan sikap kekasihnya, namun ia tetap tenang dan coba mengubah suasana. Sempat ia menduga ada sesuatu yang tidak beres, namun kontan ia sangkal. Baginya, Areen tetaplah kekasih yang akan membicarakan semua hal secara langsung. Lagipula, ia mengunjungi rumah kekasihnya bukan tanpa sebab. Melalui pesan singkat, Areen sendiri yang mengundangnya ke sini.
"Kamu kenapa?" Bram membuka topik.
Areen hanya menggeleng. Menunduk, memejamkan matanya sejenak lalu menghembuskan napas. Mendengar itu, Bram merasa tak seharusnya menyangkal dugaannya. Pasti ada sesuatu, katanya dalam hati. Namun ia tak tahu apa, Areen masih enggan berkata-kata. Semakin ia memandangi Areen yang terdiam, semakin ia menduga banyak hal.
Bram membuka isi tas selempangnya, lalu mengeluarkan satu botol minuman. "Nih," katanya sambil memberikan botol tersebut kepada Areen. "Aku bawain minuman kesukaan kamu."
Bram terkejut melihat Areen menggeleng, tetap tanpa suara. Bram mulai sedikit putus asa, ditaruhnya botol minuman itu di meja. Raut wajah Bram kini agak masam, padahal semula ia ingin mengubah suasana. Pikirannya semakin membawa Bram kepada dugaan-dugaan lainnya. Sedangkan Areen, masih dengan posisi yang sama.
Setelah beberapa menit menunduk, akhirnya Areen melirik Bram. Wajahnya sangat lesu, pun tanpa ekspresi, "Kamu masih sayang sama aku?" Pertanyaan yang bodoh menurut Bram. Pertanyaan yang seharusnya tak ditanyakan.
"Memangnya ada apa?" Bram berbalik menanya.
"Aku nanya aja," jawab Areen, nada agak tinggi—serius. Suasana seketika terasa mencekam bagi pihak Bram.
"Aku masih sayang." Bram menjawab dengan percaya diri.
Areen tak melanjutkan topiknya. Kini ia meraih botol minuman yang sedari tadi belum disentuh. "Ini beneran buat aku?" tanyanya sambil memaksakan tersenyum.
Bram mengiyakan sembari memaksakan senyumnya.
Sebenarnya, Bram tak ingin terbawa suasana. Namun ia telanjur terbawa suasana tatkala menyadari pikirannya masih menggiringnya kepada dugaan-dugaan lainnya—entah sudah berapa dugaan. Ia juga menyadari memang ada yang berbeda dari Areen. Kekasihnya berlaku sangat dingin, tidak seperti biasanya. Tentu saja, lelaki mana yang tidak jengkel mendapati kekasihnya berlaku demikian? Diperlakukan sedingin itu, bahkan tanpa alasan.
Meski begitu, ia mencoba mengambil sisi baiknya. Niatnya ke rumah Areen tentu menepati permintaan, barang tentu ia sangat senang dengan itu. Selain itu, Bram mencoba mensyukuri usahanya yang masih dihargai. Kalau saja botol minuman itu ditolak? Mungkin Bram akan melepaskan dirinya larut dalam dugaan demi dugaannya.
Di sisi lain, selaku laki-laki, Bram bangga dengan caranya membahagiakan Areen. Meskipun terkesan sederhana, selalu ada kebahagiaan dalam hati ketika melihat kekasihnya tersenyum. Baginya, ada harapan yang tumbuh setiap menyadari bahwa ia adalah sebab bahagia Areen. Asa untuk mewujudkan mimpi-mimpi bersama, kembali hidup meskipun dingin menyerang—seperti tadi. Tetap saja, saling membahagiakan adalah wujud rasa yang tak tampak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empty Space
Teen FictionAku bahkan tak paham, mengapa orang terdekat selalu tak mengerti dan orang yang baru kenal justru lebih berupaya memahami keadaan. Bram, seorang lelaki yang keras terhadap dirinya, lebih nyaman berada di luar sendirian, bahkan di tempat asing sekali...