16 || Pengantin Sejati ✧◝

5 2 0
                                    

Semuanya terkejut mendengar ucapan Raja Alge barusan, suasana menjadi tegang dan terasa dingin. Tak ada yang berani bersuara setelahnya, hanya terdengar isakan memilukan, begitu juga dengan Ibu Margareth dan Bibi Namie. Sementara Ratu Erlina, ia tidak mengeluarkan suara apapun, merembah air mata. Ia melirik tajam ke kiri, ke arah Timmy dan Raja Nicholas yang berselisih kecil, seketika senyap setelah sadar bahwa mereka tengah ditodong tatapan bak tombak mematikan.

"Ada masalah lainnya, Pangeran Timmy? Yang Mulia?" Tatapan dingin wanita bermanik hazel itu bahkan berhasil membuat pemimpin kerajaan seberang tertunduk takut.

"Tidak ada, Yang Mulia. Aku pergi sebentar memberi kabar pada istri dan putriku." Pria berambut cokelat kekuningan itu segera meninggalkan aula yang dibungkus nestapa.

Ratu Erlina mengalihkan pandangan melirik putranya yang perlahan mencoba mendekati Cassidy. Kerutan di dahinya muncul, namun setelahnya ia tidak memperdulikan hal itu, masalah kali ini lebih besar ketimbang harus mengurusi percintaan monyet anak remajanya.

"Cassie," bisiknya sedikit lirih. Kini ia sudah berhasil berada di sisi gadis itu dengan menggenggam jemarinya erat. Ia merasa butuh ketenangan saat ini. Cassidy melirik ke arah wajah tegas itu yang seakan enggan terlihat rapuh, namun matanya tidak bisa berbohong bahwa pangeran muda itu ingin menjatuhkan air matanya. 

"Kutahu kita bisa melewati ini semua." Sejujurnya ia pun bingung akan mengatakan apa, ucapannya barusan terlalu klasik.

"Kita siapkan upacaranya." Suara barinton Timmy memecah kesenyapan.

"Tidak ... sebelum aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak percaya putraku tiada!" Pekik Senophilus melepas dirinya dari kurungan Alge.

"Kakek, mengertilah .... "

"Pergilah, berikan kakekmu waktu," sentak Raja Alge memotong ucapan sembrono keponakannya yang dapat mengganggu perasaan Senophillus yang saat ini terguncang. Cucu pertama Senophillus itu langsung pergi keluar dari istana, ia akan mengurus pemakaman tanpa drama kesedihan seperti keluarganya.

Sementara Pangeran muda dan putri pelayan itu pergi ke balkon yang menghadap ke hamparan rumput hijau halaman istana, serta pohon-pohon yang menjulang tinggi jauh di luar benteng sana. Sunyi dalam beberapa waktu, Reagan nampaknya sibuk berpikir dalam diam. 

"Aku bahkan tidak percaya jika mereka tiada secepat ini." Cassidy memecah keheningan.

"Aku akan membuka mulutku tentang ini setelah aku melihat Rex dan Anemarrie dengan mata kepalaku sendiri." Reagan berkata lugas.

Gadis berkulit putih semulus porselen dengan tatapannya yang memincing berada di tengah-tengah mereka saat ini, juga bersama wanita paruh baya yang mirip dengannya.

"Yang Mulia Putri, Yang Mulia Ratu." Cassidy membungkukan tubuhnya barang sejenak.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" Putri Rane bertanya, basa-basi.

"Menenangkan diri, kalian tidak tahu apa yang telah kami lewati," sahut Reagan cepat seakan tak peduli.

Rane mengerenyitkan dahinya tidak suka. Ingin sekali ia mengatakan sesuatu pada Reagan, tapi tertahan. Pemuda itu sebenarnya menyadari wajah khawatir dari Putri Growland itu, tapi ia enggan membuka suara untuk memperhatikannya.

"Aku baru melihatmu ... maksudku kalian, kemana kalian dari malam hingga baru terlihat sekarang ini?" tanya Reagan penasaran.

Rane menimang jawabannya beberapa detik. 

"Ketiduran!" sambungnya.

"Terkunci!" Sahut Ratu Charlotte.

Ibu dan anak itu saling bertatap.

ᴄᴀssɪᴅʏ ʀᴇᴀɢᴀɴTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang