Part 19

3.7K 127 24
                                    

Ari terbangun di dalam ruangan serba putih. Bau antiseptik yang menyengat menyergap hidungnya.

"Ari? Sayang? Kamu udah bangun?" Mendadak Mama berdiri di samping ranjangnya, menggenggam tangannya erat. Wajahnya berlinang air mata. "Gimana perasaan kamu?"

"Baik, Ma. Ari nggak pa-pa." Ari mengerjap beberapa kali. "Di mana ini? Rumah sakit?"

"Iya. Bentar. Mama panggilin dokter."

Setelah dokter memeriksanya secara keseluruhan, Ari dinyatakan tidak mengalami luka serius. Hanya memar di kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Ia diperbolehkan pulang. Ketika Mama mengurus pembayaran di bagian administrasi, Ata berjalan mendekati Ari yang sedang turun perlahan dari tempat tidur.

"Baikan?"

Ari mengangguk. "Gue nggak pa-pa."

"Kayaknya lo perlu liat sesuatu. Ayo."

Ari berjalan mengikuti Ata dengan bingung. Cowok itu berhenti di depan sebuah kamar. Dilambaikannya tangan ke arah pintu, meminta Ari untuk masuk. Ari membeku begitu membuka pintu tadi.

Oji dan Ridho, dua sahabatnya, kini berbaring tak berdaya di masing-masing ranjang yang terpisahkan oleh sekat berwana hijau. Kepala Ridho diperban, sementara Oji lebih parah. Cowok itu bertelanjang dada, dengan perban melilit di sekujur tubuh atasnya. Ari tercekat, tak bisa berkata apa-apa.

"Mereka..."

"Cuma dibius. Buat kelancaran obatnya," jelas Ata.

Dengan gerakan kaku, Ari pertama-tama menghampiri Oji. Temannya itu mengenakan alat bantu pernapasan di hidung. Matanya terpejam rapat. Wajahnya babak belur di mana-mana. Ari menutup mata, tak sanggup melihat kondisi Oji yang begitu mengenaskan. "Maafin gue, Ji," katanya lirih.

Kemudian dia beranjak mendekati Ridho. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Oji. Sama-sama memakai alat bantu pernapasan dan memar di mana-mana. "Maafin gue, Dho," bisik Ari.

Cowok itu menjatuhkan diri di satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu. Terguncang. Diremasnya rambut dengan frustasi. Ia merasa bersalah. Kedua sahabatnya yang kini terkapar lemah itu murni karena kebodohannya. Kalau saja ia tidak meminta Oji dan Ridho menyelamatkan Sonia... Kalau saja ia mendengarkan Ata untuk tidak keluar menghadapi Brawijaya... Kalau saja...

"Ngerti kan lo sekarang kenapa gue harus libatin Gita?" kata Ata yang tiba-tiba berdiri di depannya.

Ari menunduk, menyangga kepalanya dengan tangan yang ia tumpukan di lutut.

"Lo nggak tau gimana cemasnya Mama tadi. Dia nangis nggak berenti-berenti nungguin lo siuman. Ini aja lo termasuk nggak dapet luka parah. Nggak kayak sobat-sobat lo itu, yang udah hampir mati."

"Stop," kata Ari lemas. "Mereka nggak akan mati."

"Emang nggak. Belom maksud gue. Coba aja gue nggak muncul bawa Gita waktu itu. Udah beneran jadi almarhum mereka. Dan mungkin juga elo."

"Gue bilang, stop!" desis Ari tajam. Diangkatnya muka menghadap ke arah Ata.

Ata menghela napas, menyerah. "Oke. Gue nggak akan bilang apa-apa lagi. Gue nggak akan nuntut terima kasih dari elo."

"Keluar," perintah Ari. "Bawa Mama pulang."

"Lo juga harus pulang. Harus istirahat."

"Nggak. Gue mau jagain mereka di sini."

"Jangan bego," tukas Ata. "Lo sendiri butuh dijagain."

Ari menatap Ata tajam. "Gue bukan anak kecil lagi."

Jingga untuk Matahari #fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang