Part 13

4K 105 18
                                    

Tari membuka pintu rumah. Senyumnya merekah melihat siapa yang berdiri di depannya. Ari. Pagi ini, cowok itu telah berdiri di teras, mengenakan seragam sekolah rapi seperti biasa saat menjemputnya. Motornya hitam besarnya terparkir manis di depan pagar.

“Kak!” Tubuh Tari seperti bergerak sendiri, melangkah maju dan memeluk Ari. “Lo kemana, sih? Gue kangen.”

Tapi Tari merasakan ada yang aneh dengan tubuh yang dipeluknya. Kedua lengan Ari bergeming, tidak membalas pelukan itu. Ari juga tidak bersuara sedikit pun. Ragu-ragu Tari melepas pelukannya dan mendongak untuk menatap Ari. Satu hal lagi yang membuatnya kaget. Ternyata cowok itu tengah menangis! Air matanya bergulir turun tanpa suara.

“Kak...” Tari tercekat, terlalu kaget dengan keadaan ini.

“Maafin gue, Tar,” bisik cowok itu serak. “Maaf.”

“Maaf buat apa? Lo kenapa nangis?”

Kedua lengan Ari terulur, menangkup kedua pipi Tari. Ia menatap dalam-dalam gadis itu dengan matanya yang sembab. Tersirat kesungguhan yang amat sangat dalam nada suaranya ketika kemudian ia berbisik, “Kita putus.”

Kedua mata Tari membelalak. “Tapi....” Gadis itu menggeleng-geleng, berusaha menolak. “Gue nggak ngerti, Kak.”

Ari tak menjawab kebingungan yang terpancar jelas di hadapannya. Cowok itu tiba-tiba melepaskan pipi Tari, lalu balik badan dan berlari ke motornya.

“Kak! Kak Ari!” Teriakan Tari kalah oleh raungan mesin motor Ari, yang sepersekian detik kemudian melesat kencang meninggalkannya.

“Kak Ariii!” Tubuh Tari terduduk mendadak seiring dengan jeritan itu. Ia terengah-engah di atas tempat tidurnya. Matanya menatap nyalang ke sekeliling. Ternyata ia masih di dalam kamarnya yang gelap. Ternyata tadi itu hanya mimpi. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat meleleh di pipinya.

Kejadian itu terlalu menyakitkan, bahkan untuk menjadi mimpi sekalipun. Alasan kenapa Ari menangis, juga atas keanehan sikapnya, yang kemudian berujung pada kata putus. Tari menggeleng-geleng, ingin mengenyahkan mimpi itu dari benaknya. Ia tak sanggup harus mengingat kembali mimpi itu, yang seolah mengisyaratkan perpisahan dengan seseorang yang ia cintai. Dengan Matahari-nya. Ia menghapus air matanya cepat-cepat.

“Sial, kenapa gue nangis, sih?” gumam Tari. “Itu kan cuma mimpi.”

Ketika kembali membaringkan diri, Tari menjadi gelisah. Benarkah itu sekadar mimpi biasa seperti kata-katanya tadi? Ataukah, ada makna tersembunyi di baliknya? Apakah mimpi itu sebuah pertanda?

***

Tari melangkah dengan lesu menuju halte. Ari tidak muncul pagi ini di depan rumahnya. Berarti cowok itu masih berada di antah berantah dan belum ingin pulang. Tapi sebenarnya Tari juga merasa lega, karena ia tidak harus menghadapi kejadian seperti di mimpi buruknya semalam.

Tiba di halte, bus yang menuju sekolahnya belum kelihatan. Tempat duduk di sekitarnya penuh, jadi gadis itu berdiri beberapa meter dari halte. Mungkin untuk kesejuta kalinya pagi ini, Tari menunduk sambil menghela napas, merenungkan kemungkinan Ari berada. Memang sepertinya dugaan Ridho kemarin tidak salah. Ari tengah berada di Malang saat ini bersama Mama dan Ata. Pertanyaannya, apa cowok itu akan pulang? Satu hal yang ditakutkan Tari, Ari pergi meninggalkannya untuk menetap di Malang tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal, dan untuk selamanya ia tidak akan melihat wajah cowok itu lagi. Tari kembali menghela napas. Ia tidak ingin hal itu terjadi. Sejujurnya, ia tidak pernah ingin berpisah dengan Ari, bagaimana pun kelakuan cowok itu kepadanya selama ini.

Jingga untuk Matahari #fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang