Part 17

3.1K 91 9
                                    

Entah ini yang keberapa kalinya Ata diajak Mama datang ke Jakarta untuk mencari Ari, yang sampai sekarang belum tercium jejaknya sama sekali. Ia kembali bertemu dengan Tante Lidya, sosok tetangga sebelah rumah mereka yang dulu menjadi Mama keduanya. Siang ini Ata minta izin untuk melakukan pencarian saudara kembarnya sendirian.

“Ata akan baik-baik aja, Ma. Ata bisa jaga diri,” tegas Ata saat Mama melarangnya. “Biar Ari cepet ketemu. Mama mau cepet-cepet liat Ari, kan?”

Akhirnya Mama luluh dan mengizinkannya. Ata berjalan pelan menyusuri jalan perumahan itu, menuju halte terdekat. Sebenarnya Ata tidak begitu berniat mencari Ari. Dia hanya ingin keluar rumah untuk menghindar dari tangisan Mama. Jujur, Ata tidak tega melihat Mamanya menangis sampai kelelahan. Akhirnya Ata menemukan sebuah halte di pinggir jalan. Ia duduk di sana dalam diam.

“Kak Ari?” teriak seorang gadis yang duduk di sebelahnya, membuat Ata terlonjak kaget. Ia menoleh. Di sampingnya, duduk seorang gadis manis yang menatapnya lekat. “Kak Ari kok udah di sini?”

“Eh?”

Gadis ini mengenal Ari! Begitu pikiran pertama yang langsung terlintas di benak Ata. Ia harus mendekati gadis ini untuk menuntunnya kepada Ari.

“Iyaaaa, tadi kan Kak Ari masih di sekolah. Kita baru aja ketemu di sana.”

“Sekolah?” tanya Ata bego.

“Ini gue, Aira, Kak. Belom juga sejam kita ketemu. Belom lupa, kan? Hehe...” Gadis itu tersenyum malu-malu.

“Eh, iya. Aira. Belom lupa, kok. Tadi gue langsung keluar abis ketemu elo,” jawab Ata. Akan ia perankan sosok Ari untuk gadis ini, demi menemukan saudara kembarnya itu.

“Gimana? Udah buka bingkisan dari gue?” tanya Aira bersemangat, membuat Ata bingung.

“Eh, bingkisan dari elo.. udah, kok. Udah. Makasih ya. Gue suka banget.”

Aira terbelalak tak percaya. Wajahnya berseri-seri. “Beneran? Udah lo abisin semua?”

“Udah, sampe kenyang perut gue.” Ata menepuk-nepuk perutnya, berdoa agar tebakannya tidak salah. Dari kata-kata Aira sih Ata menyimpulkan gadis itu baru saja memberi Ari sejenis makanan.

Senyuman Aira semakin lebar. “Besok kapan-kapan gue bikinin lagi kalo lo suka. Bilang aja.”

Ata menghembuskan napas lega. Ternyata tebakannya tidak salah.

“Kak, lo tau nggak? Gue sebel sama Angga,” gerutu Aira mulai curhat.

Angga siapa? “Kenapa?” tanya Ata, pura-pura perhatian.

“Masa dia ngelarang gue deket-deket sama elo? Tadi aja gue dimarahin gara-gara ngasih kue itu ke elo. Gue kan kesel jadinya. Itu sebabnya gue terdampar di sini. Salah naik bus saking jengkelnya sama Angga, hehehe... Bego bener gue.” Gadis itu memukul kepalanya sendiri.

Ata tersenyum geli. Gadis ini lucu juga. “Emang kenapa dia ngelarang elo deket-deket gue? Gue aja nggak keberatan.”

“Tau, tuh! Katanya lo itu bukan cowok baik-baik. Tapi gue tau Kak Ari orang baik, kok.” Aira tersenyum, terlalu senang mendengar cowok itu tidak keberatan berteman dengannya.

“Gue bukan cowok baik-baik?” Ata mengernyit.

“Iya, soalnya Kak Ari telinganya... eh, kok telinga lo nggak ada tindikannya?” Aira mengamati telinga kiri Ari.

Ata buru-buru menutupi telinganya, walau dia sendiri kaget. Ari bertindik? Surprise! Seburuk itukah saudara kembarnya kini? Pantas saja Angga yang tadi disebut-sebut Aira menyangka Ari bukan cowok baik-baik. “Iya, gue copot tadi antingnya,” sahutnya cepat. Oke, sekarang cukup basa-basinya. “Eh, Ra. Anterin yuk?”

Jingga untuk Matahari #fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang