Part 12

3.5K 107 16
                                    

Senin pagi. Ata membuka matanya yang berat. Tubuhnya sangat lelah setelah perjalanan jauh dari Jakarta ke Malang, ditambah ia tidak bisa langsung beristirahat karena seluruh anggota keluarganya beramai-ramai menanyakan tentang keadaan Ari di Jakarta. Ata membiarkan Mama untuk tidur lebih dulu, dan dia yang dengan terpaksa menanggapi setiap pertanyaan yang terlontar, yang kebanyakan ia jawab dengan, “Ari sehat dan baik-baik aja. Serius!”

Tengah malam, barulah anggota keluarganya “melepaskannya” dari banjiran pertanyaan. Ata menyeret tubuh ke kamar di mana ia harus berbagi dengan Mama. Dilihatnya Mama telah terlelap tanpa sempat mengganti baju. Ata menyelimuti wanita itu dan mengecup keningnya lembut, setelah itu ia ikut terlelap di samping mamanya. Ia bahkan lupa mengabari saudara kembarnya tentang kepulangan mereka.

“Ata? Kamu udah bangun? Yuk, sarapan.”

Ata bangkit duduk. Mama sepertinya telah mandi dan sekarang berdiri di ambang pintu. Sejak pertama kali mereka menginjak rumah ini, inilah pertama kalinya Ata melihat wajah Mama begitu berseri.

“Oke, Ma. Ata mandi dulu,” sahutnya agak curiga.

“Cepet ya. Jangan lama-lama mandinya. Semuanya udah nunggu di ruang makan,” seru Mama tertahan, kemudian berlalu dari hadapannya.

Ata semakin curiga, jadi ia memutuskan untuk segera mandi dan turun ke ruang makan. Sambil melangkah ke kamar mandi, ia memijit tengkuknya yang pegal. Sebenarnya dia ingin tidur seharian ini, tapi ia harus berangkat bekerja. Bosnya sudah begitu baik memberi toleransi waktu untuk cuti selama sebulan, jadi Ata tidak ingin membuang-buang waktu kerjanya lagi karena keuangan mereka menipis.

Ata mandi secepat yang ia bisa, lalu turun setelah berpakaian. Di tengah tangga pun ia bisa mendengar ramainya suara keluarga mereka dari arah ruang makan. Biasanya memang ramai, tapi sepertinya tidak pernah seheboh ini sampai Mbah Kakung tertawa-tawa dan Mbah Uti berceloteh panjang lebar. Tanda tanya di benaknya semakin besar.

Dengan melompati setiap dua anak tangga sekaligus, Ata tiba di ambang pintu ruang makan setelah beberapa langkah lebar. Matanya mengamati keramaian yang tercipta tidak wajar di ruangan itu, mencoba mencari sebabnya. Sampai kemudian “sebab” itu sendiri yang menoleh ke arahnya.

Ata terpaku. Beberapa meter di depannya, duduk di bangku yang biasa ia duduki saat makan, seseorang yang menyerupai dirinya menoleh, kemudian tersenyum. “Eh, Ta. Udah selesai mandinya? Ayo, makan. Ditungguin lama banget,” panggil orang itu.

Ata justru terpaku. Tidak memercayai pengelihatannya. Ari ada di sini? Di rumahnya? Di Malang?? Mustahil! Tapi siapa lagi di dunia ini yang memiliki wajah begitu serupa dengan dirinya selain Ari?

Ata sadar semua orang di ruangan itu sekarang tengah menatapnya, tapi Ata tidak peduli. Tatapannya tidak lepas dari Ari. Ia yakin mulutnya menganga lebar dan ekspresinya jadi tidak keruan.

“Ata?” tegur Mama, menyentakkan Ata hingga cowok itu tergeragap. “Eh, iya, Ma.” Tubuhnya bergerak kaku mengambil kursi plastik yang kemudian ia letakkan di sebelah Ari. Diam-diam saudara kembarnya itu tersenyum geli.

“Kaget banget ya?” tanyanya.

“Bukan kaget lagi, Ri,” gerutu Ata yang sudah berhasil mengendalikan diri. “Gue yakin jantung gue jatoh ke lantai tadi.”

Ari tertawa, diikuti beberapa anggota keluarganya, sementara Mama tersenyum sambil mengambilkan nasi di piring Ari.

“Kapan nyampe?”

“Baru aja. Pas lo masih molor.”

“Kenapa nggak bilang-bilang sih kalo mau ke sini?”

“Lo sendiri nggak bilang-bilang kalo lo sama Mama mau pulang,” protes Ari. “Lo nggak tau gue kagetnya kayak apa pas tau kalian udah balik ke sini. Kenapa nggak kabar-kabar dulu?”

Jingga untuk Matahari #fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang