2

72 15 0
                                    

"Ya, Eunha! Cepat kemari!"

Debar jantung Eunha terlewat satu. Hampir seketika diempaskannya cucian ke papan dan bangkit sambil mengangkat roknya. Panggilan Jungkook harus dipenuhi segera.

"Aku ke sana!"

Begitu Eunha masuk rumah, Jungkook justru sudah berada di luar pintu depan, memanggul peralatan bercocok tanamnya. Satu tangan lagi—yang memegang makanan berbungkus kain, bekal bertaninya—teracung ke muka Eunha saat perempuan itu mendekat.

"Cuma ada ubi, telur puyuh rebus, dan kesemek kering di sini." Jungkook mengernyit. "Kau niat masak tidak, sih?"

"Maaf." Eunha tertunduk. "Beras kita tinggal sedikit. Kalau kumasak juga untuk bekalmu, nanti tidak ada nasi untuk makan malam ...."

"Ck, aku cari uang bukan cuma untuk disimpan, tahu. Belikan beras!"

"Tapi, aku sudah minta padamu kemarin," sahut Eunha, lama-lama panas. Dikira tidak sulit apa mencari telur puyuh cuma-cuma di ladang dalam keadaan hamil? Mana barang-barang pokok sekarang mahal. "Kau bilang 'bukannya aku baru saja memberimu? Mengapa sudah habis lagi?' Aku kan sungkan mau meminta!"

Tahu-tahu, Jungkook melemparkan bekalnya ke sisi.

"Kau mau uang, hah? Kau mau uang?"

Eunha mengangguk, mencoba tetap menantang mata Jungkook meskipun darahnya sudah berdesiran oleh rasa takut. Tak lama kemudian, Jungkook masuk rumah dengan tergesa-gesa dan wajah merah padam. Eunha mengambil bekal yang masih tertutup kain dari halaman, berharap isinya tidak berantakan, lalu menunggu sampai suaminya muncul kembali.

"INI!"

Seikat koin perunggu dilemparkan begitu saja pada Eunha yang tidak siap. Ibu muda itu memekik; beratnya logam menghantam keras pipinya sebelum jatuh. Jungkook merebut bekalnya dari tangan Eunha, kemudian berangkat begitu saja.

Selagi memungut koin dari alas tanah, Eunha memegangi pipinya yang perih. Sakit di sana tidak lebih parah dari sakit hatinya. Dulu, sekasar-kasarnya Jungkook, dia hanya mengumpat dan mendiamkan Eunha, itu pun sebentar. Sekarang, selain berbuat di luar nalar Eunha, Jungkook juga menyakiti tubuhnya tanpa penjelasan. Begitukah bahasa para prajurit di atas kapal yang terbawa sampai pulang? Lupakah Jungkook bahwa ia sedang bicara dengan istrinya, bukan sesama lelaki petani, apalagi waegu?

"Aku benar-benar tidak mengerti .... Masih kurang sabarkah aku menghadapinya?" Eunha menggenggam koin dengan satu tangan, sementara tangan lain mengusap perutnya. "Nak, Ibu harus bagaimana menghadapi Ayah?"

Tidak ada jawaban, tentu saja, tetapi sebuah nama tiba-tiba muncul di benak Eunha. Air mata yang bercucuran akhirnya diusapnya sendiri. Ia lantas bangkit dengan tekad baru untuk memperbaiki suasana hati suaminya.

"Terima kasih atas idenya, Sayang. Kuatkan dirimu; kita akan mengunjungi Tabib Kim setelah ini."

***

Sebenarnya, Tabib Kim bukan tabib sungguhan, hanya menyerupai. Tidak ada tabib sama sekali di desa Eunha, hanya beberapa pedagang ramuan—dan Tabib Kim adalah yang paling berpengalaman. Konon, saran dari tabib di desa sebelah kadang dipatahkannya dengan ramuan yang ternyata lebih manjur.

Selain menjadi rujukan pengobatan terpercaya di desa, Tabib Kim juga menyambi guru spiritual bagi para keluarga muda. Dia bukan biksu dan datang ke ritual tahunan desa hanya untuk makanan, tetapi petuah-petuahnya sering menolong pasangan-pasangan baru menghadapi kecurigaan perselingkuhan, kegelisahan karena berutang, sampai kenakalan anak. Beberapa kasus seperti ini, meskipun tidak ditimbulkan oleh sakit fisik yang kentara, rupanya bisa tuntas dengan tambahan satu-dua jenis ramuan. Karena itulah, Eunha pikir Tabib Kim bisa membantunya.

Tiger's Whisker ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang