4

68 13 1
                                    

Jantung Eunha melompat ke tenggorokan begitu telapak tangannya diendus oleh si harimau. Mungkin aroma saus daging masih tersisa di tangannya sehingga tercium seperti makanan. Itu bisa membuatnya dimangsa—jika ini kali pertama mereka bertemu. Namun, Eunha sudah berkali-kali ke sini membawakan makanan. Lagi pula, kalau si harimau masih menganggap Eunha mangsa setelah diberi makan, nyawa perempuan itu pasti sudah melayang dari dulu.

Harimau berhenti mengendus, memberi tamunya celah untuk bernapas. Eunha akhirnya berani menggerakkan tangan ke tengkuk hewan itu. Mata harimau lekat mengikuti ke mana tangan tamunya mengarah, sementara Eunha balik mengawasinya dengan napas memburu.

Tangan Eunha mendarat di kulit berbulu si harimau yang hangat. Tidak ada yang terjadi. Harimau itu menatap bagian badannya yang disentuh, tetapi saat Eunha mulai mengusap, ia melanjutkan makan. Sekali usapan, Eunha aman. Dua kali, masih aman. Eunha mengerjap-ngerjap tak percaya. Duduklah ia di sebelah harimau yang asyik bersantap sembari terus membelai punggungnya.

Setelah makanan habis, si harimau berbaring telungkup dan menjilat-jilati mangkok, menikmati makanan sampai tetes saus daging terakhir. Melihat itu, Eunha tersenyum geli.

"Anak pintar, anak pintar."

Si harimau menoleh semata karena Eunha tiba-tiba bersuara, tetapi sebentar kemudian memandang ke depan lagi. Ia menyilangkan kaki, menguap lebar (yang sempat menakutkan Eunha sejenak karena taring-taring panjangnya terlihat), lalu menyanggakan kepalanya di atas kedua kaki depan dengan malas.

Taruhan, sebentar lagi dia pasti memejamkan mata.

Tepat setelah Eunha memikirkan itu, kelopak mata si harimau memberat. Awalnya, ia berjuang menahan kantuk, terlihat dari caranya berkali-kali membuka mata meski akhirnya menutup juga. Lama-lama, si harimau menyerah dan tidak membuka matanya lagi. Terdengar dengkurannya yang lambat lagi tenang. Eunha terkekeh pelan, masih terus membelai bola bulu tebal nan hangat yang memberinya kenyamanan.

"Dia ternyata manis, ya. Seperti bayi: habis makan langsung tidur."

Omong-omong soal bayi, Eunha langsung teringat anaknya. Dibelainya perutnya yang buncit sambil menanyai si jabang bayi.

"Kamu bakal begitu juga, tidak? Ibu sering sekali mengantuk setelah makan, tetapi Ayah berbeda. Sehabis makan, tenaganya pasti melimpah sehingga jadi cerewet. Repot, deh, kalau makannya kemalaman; dia pasti akan membahas ini-itu sampai Ibu tidak bisa tidur."

Sayangnya, mengeluhkan kecerewetan Jungkook yang dulu justru membangkitkan rindu Eunha pada sosoknya sebelum berperang. Itu karena Jungkook sekarang—mau sebelum atau sesudah makan—senantiasa mendiamkan Eunha. Si calon ibu mendesah lirih, tanpa sadar merapatkan tubuh pada teman liarnya.

"Mungkin Haseul-eonni benar: Jungkook jadi kasar karena medan perang menempanya terlalu keras. Dia berhak melampiaskan segala lukanya padaku setelah semua itu, bukan?" Eunha mencurahkan isi hatinya entah kepada siapa; si harimau toh tak akan mengerti. "Tapi, aku tidak mau sakit. Aku terlalu pengecut untuk menanggung penderitaan yang dialaminya dalam peperangan. Apakah aku istri yang buruk?"

Yang menjawab Eunha hanya embusan angin yang menggugurkan beberapa daun dari ranting, juga gerak naik-turun lambat punggung harimau yang tertidur. Eunha bergeser agar bisa memandang harimau itu lebih jelas, lalu merenung. Jika makhluk ganas yang membuatnya nyaris tak bernapas pada pertemuan pertama kini bisa disandarinya dengan santai, Jungkook harusnya bisa ia taklukkan seperti ini.

Kumis harimau menjuntai di dekat Eunha, putih-panjang lagi bersih. Sekarang saat yang tepat untuk memotongnya, berhubung si empunya kumis telah pulas tertidur. Menghela napas untuk memantapkan tekad, Eunha kemudian melepaskan kantong kulit kerbau yang sejak tadi diselempangkannya di punggung. Dalam kantong itu, ada belati yang menemaninya sesetia jimat pelindung janin dan tongkat mendaki.

Tiger's Whisker ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang