Keras kepala

18 12 24
                                    

"Nay, kamu pulangnya tunggu Akar datang jemputkan?" tanya Anke yang sedang membereskan buku-bukunya.

Naya bingung, untuk apa dirinya harus menunggu Akar datang? Toh dia juga bisa pulang sendiri dengan angkutan umum, seperti tadi pagi.

"Untuk apa? Aku bisa pulang sendiri. Kelamaan kalau aku harus menunggu cowok sinting itu datang. Sekolah dia 'kan jauh dari sini." 

Wajah Anke kelihatan cemas saat tahu bahwa Naya akan tetap pulang sendiri tanpa menunggu Akar, "Please Nay, kamu pulang bareng Akar saja, ya? Dia ngga bakalan lama kok datangnya, percaya deh."

"Tahu dari mana kamu kalau dia ngga bakal lama datangnya?" tanya Naya dengan nada serius.

Anke semakin bingung dibuatnya. Alasan ia mendesak Naya untuk pulang bareng Akar, agar pemuda itu tidak mengganggu acara kencannya dengan Liam sepulang sekolah ini. Karena seperti yang sudah-sudah, pemuda itu selalu mengganggu acara kencan dirinya dengan Liam, ketika apa yang pemuda itu mau tidak dikabulkan oleh Naya.

Naya memicingkan matanya menatap Anke, "Kamu mau ke mana setelah ini sama Liam?"

"Aku mau pulang Nay, ngga mau ke mana-mana." Anke menjawab dengan gugup.

"Benar ngga lagi mau jalan-jalan berdua sama Liam?" tanya Naya menggoda Anke.

"Benar Nay..."

"Ya sudah ayo pulang sama aku, kita naik angkutan umum saja kalau memang kamu mau pulang. Lumayan aku jadi ada temannya di angkutan umum." Naya langsung menggandeng lengan tangan Anke, tapi segera di lepas oleh Anke.

Dahi Naya mengernyit heran, "Kenapa? Katanya mau pulang?"

Yang ditanya justru menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Sebenarnya aku mau pergi kencan sama Liam, mangkanya aku bujuk kamu untuk pulang bareng Akar. Biar dia ngga ngerusuhin aku sama Liam lagi, Nay."

"Jadi ceritanya kamu numbalin aku nih ke Akar?"

"Bukan Nay... Bukan gitu. Haduh, kok jadi gini sih."

***

Di sini Naya sekarang, di atas jok motor Akar yang sedang membelah jalan raya yang penuh sesak. Jangan tanya kenapa Naya sekarang bisa bersama Akar, karena jawabannya gara-gara Anke. Sahabatnya itu berhasil menahan dirinya di sekolah sampai Akar datang bersama Liam untuk menjemput dirinya dan juga Anke yang mungkin sekarang sedang menikmati waktu berduanya dengan Liam.

Sepanjang perjalanan Naya mengunci mulutnya sama seperti Akar. Entah apa yang membuat pemuda itu diam hari ini. Padahal biasanya, dirinya tidak akan pernah bisa diam, karena selalu ada saja topik pembahasan unik yang kadang tidak pernah terlintas di otak Naya. Contohnya tentang kopi dan buku yang kadang bisa menjadi teman, tapi juga bisa menjadi musuh. 

Katanya kopi terlalu kejam untuk bersanding dengan isi buku yang manis, sedangkan kopi pahit. Tetapi jika tidak ada Kopi, buku yang manis tidak akan pernah lengkap. Karena katanya semua harus seimbang, agar tidak ada yang merasa dibedakan. Tidak akan ada yang mau dibedakan, bahkan itu kopi dan buku  sekalipun, walau kedengarannya sangat konyol.

"Kamu ada yang mau dibeli tidak?" akhirnya pemuda itu membuka  suara.

Naya hanya menggelengkan kepala yang bisa dilihat dari kaca spion motor Akar.

"Kenapa tadi pagi berangkat duluan ngga tunggu aku datang?"

"Ngga apa-apa, cuma pengen berangkat pagi-pagi aja."

"Kita ngga langsung pulang dulu ngga apa-apa 'kan?"

"Memangnya aku boleh bilang, ngga?" 

Akar tertawa mendengar ucapan Naya barusan. Memang benar yang dikatakan Naya, percuma ia bilang ingin langsung segera pulang pada seorang Akar, yang sangat mustahil bakal diiyakan dengan begitu mudah. 

***

"Kamu mau apa?" tanya Akar yang sekarang sedang berdiri di depan puluhan roti yang berbaris rapi.

Naya mengedarkan pandangannya untuk melihat roti mana yang paling menarik hatinya. Pandangannya pun jatuh pada roti asal Swedia itu. Ya, Cinnamon Roll. Naya suka sekali dengan roti asal Swedia itu, mangkanya sedari tadi matanya terus bergulir ke sana kemari hanya untuk mencari roti itu saat Akar bertanya.

"Yang itu." tunjuknya.

Setelah dapat apa yang dimau Naya, pemuda itu menarik tangan Naya untuk ikut dengannya mencari tempat duduk yang masih tersisa., karena memang kondisi kedai kopi itu memang sedang ramai-ramainya. Uniknya, kedai kopi ini bukan hanya sekedar menjual minuman dan kopi saja, tapi juga menjual puluhan roti yang bisa kita sandingkan dengan kopi.

Kali ini Naya membenarkan ucapan Anke saat di sekolah tadi yang mengatakan, kalau Akar adalah pemuda yang unik dengan segala tingkah ajaibnya. Naya tidak tahu ia harus merasa senang atau malah ia harus merasa sedih, karena setelah ini hidupnya tidak akan setenang dulu lagi. 

Naya mengernyitkan dahinya setelah meneguk segelas kopi yang ada di hadapannya, "Latte?"

Akar mengangguk, "Kamu berharap itu espresso?"

Naya hanya diam saja, karena memang benar yang dikatakan Akar bahwa ia sedang mengharapkan espresso, tapi sudahlah yang penting hari ini masih bisa minum kopi.

"Aku ngga mungkin ngasih kamu espresso lagi, kemarin kamu sudah minum espresso."

"Ngga apa-apa, aku masih bisa minum espresso di rumah," batin Naya.

Tanpa aba-aba Akar langsung menyentil dahi Naya, "Jangan coba-coba minum espresso di rumah."

"Sakit!"

"Ginjal kamu bisa rusak Nay kalau keseringan minum kopi, apa lagi jika kafeinnya terlalu tinggi. Itu ngga bagus," omel Akar dengan nada serius.

"Tapi aku udah biasa, Kar. Sebelum ketemu kamu, aku juga hampir setiap hari minum kopi, sekarang tidak terjadi apa-apa 'kan?"

Akar menghela napasnya, ia malas berdebat dengan Naya yang sedang dalam mode keras kepalanya. Karena apa pun yang nantinya keluar dari mulut Akar, akan kalah dengan perkataan Naya. Gadis taurus yang ada di hadapannya itu tidak akan mau mengalah pada lawan bicaranya, sebab apa yang baginya benar maka ia akan tetap benar. 

"Sudah, habiskan rotinya lalu kita pulang," putus Akar yang memilih mengalah. 

Bersambung...

***

Sampai jumpa di bab selanjutnya!!
Terima kasih karena sudah berkenan membaca. Jangan lupa vote sama komen ya sebagai tanda berkunjung. See you in the next chapter.

Akar and NayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang