Ransel Merah Jambu (1)

317 31 12
                                    

Hai semuanya! Part ini aku bagi 2 ya, soalnya waktunya mepet, tapi aku berusaha apdet cepat. Hihihi.

Kayaknya nanti juga akan banyak part yang terbelah begini. Mohon dimaklumi.

Aku masih mencari format yang pas untuk cerita ini. So sorry klo nggak nge feel. Aku aja masih cari feelnya kok. Wkwkwk.


Baiklah, selamat membaca!

Cheers

BJ


——-

Binar melangkahkan kaki memasuki halaman sekolah. Sekolah swasta terpadu yang memiliki TK hingga SMA yang berada dalam satu kompleks. Di SMP inilah ia, Bian dan Citra memulai persahabatan mereka hingga lulus SMA. Sejak SMP, Binar senang mengunjungi guru BKnya. Bukan karena membuat masalah, tapi ia memang senang membaca buku konseling atau bimbingan karir atau hanya sekedar minta worksheet pengenalan diri. Kedekatannya dengan pak Munir, guru BK senior yang sabar dan selalu memotivasinya pun terjalin dengan manis. Saat Binar menempuh magister psikologi pendidikannya, pak Munir, guru BK tersebut pensiun. Beliau secara khusus menghubungi Binar, memintanya menggantikan beliau, bukan sebagai guru BK tapi psikolog sekolah.

Disinilah Binar sekarang, melemparkan pandangannya ke setiap sudut sekolah. Banyak bangunan baru dan wujud sekolahnya sudah berbeda dengan empat tahun yang lalu ia berkunjung sebagai alumni. Gedung tempat belajar dan kantor yang terletak cukup jauh dari gerbang, membuat Binar harus melewati parkiran, lalu lapangan basket dan kantin lebih dulu.

Brukk!

Binar hampir kehilangan keseimbangan saat seorang gadis kecil berambut panjang dengan tubuh yang tidak bisa dikatakan kurus menyenggolnya saat berlari. Gerakan tubuh gadis kecil itu yang sebenarnya biasa saja, hanya saja goyangan ransel merah jambunya yang cukup besar untuk ukuran tubuhnya lah yang menyenggol Binar. Beberapa meter di depan, gadis kecil itu berhenti dan memutar tubuhnya ke arah Binar. Bukannya meminta maaf, ia memandang tajam ke arah Binar lalu kembali memutar tubuhnya saat Binar balik menatapnya. Gadis itu kembali berlari tanpa menghiraukan Binar.

Binar menghela nafas.

 "Ck. Anak jaman sekarang, apa nggak pernah diajarin sopan santun. Walaupun masih kecil, harusnya dia kan mengenal kata maaf." ujar Binar dalam hati. Bukan kesal karena disenggol, tapi ia lebih kesal karena hal-hal lain macam tata krama yang dianggapnya luntur, pengasuhan orangtua dan sebagainya yang memenuhi benaknya sekarang, hingga menginjakkan kaki di ruang kepala sekolah SD. Tugas utamanya memang di SD, tapi tidak menutup kemungkinan juga membantu di SMP dan SMA.

"Selamat pagi Miss Binar. Ayo masuk. Sudah banyak yang menunggu lho ini." Sambut perempuan sepuh yang ramah. Binar tak menyangka kalau kepala yayasan sendiri, bu Srikandi, yang akan menyambutnya. Saat wawancara dengan beliau minggu lalu, Binar langsung menyukai perempuan itu. Masih sangat energik di usianya yang menjelang 65 tahun. Visinya tentang pendidikan dan pengalaman hidupnya sungguh menginspirasi Binar.

"Selamat pagi ibu, maaf rupanya saya terlambat ya?" Binar memasuki ruangan dengan tersenyum dan menjabat tangan Bu Srikandi.

"Nggak kok. Tadi kami sedang membicarakan program sekolah, jadi sekalian menunggu Miss Binar." Bu Srikandi membalas jabat tangannya hangat dan tak lupa memeluknya seperti memeluk anaknya sendiri. Ia lalu mengenalkan Binar pada jajaran kepala sekolah TK hingga SMA yang kebetulan hadir. Bu Nur, kepala TK yang berjilbab pink, tampak ceria dan bersemangat. Bu Kristie, kepala SD yang bersanggul rapi, terlihat agak judes, tegas namun menyambutnya baik. Pak Sugeng, kepala SMP, dengan kumis melintangnya, tampak agak seram namun ramah dan humoris. Pak Edi, kepala SMA yang tenang dan berkarisma.

ButterfliesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang