AKU bernama Gistara Amaryllis. Aku hanya anak dari keluarga sederhana. Rambutku panjang bergelombang. Dan juga dengan warna mata seperti bunga violet. Aku bersekolah di sebuah sekolah ternama di kotaku. Sekolah itu bernama Seikatsu School. Sekolah menengah atas yang aku impikan. Biaya untuk bersekolah disana sangatlah besar. Ibuku tidak sanggup membayarnya. Ayahku sudah meninggal saat aku masih di taman kanak-kanak.
Aku berjuang keras untuk masuk ke sekolah itu. Saat tes beasiswa untuk masuk kesana aku tidak yakin akan diterima. Lama aku menunggu. Akhirnya aku mendapat informasi kalau aku bisa masuk ke sekolah impianku. Aku sangat senang. Bahkan aku melompat bersama ibu setelah tahu aku diterima.
Hari pertama tiba. Seperti sekolah pada umumnya, perkenalan diri di depan kelas. Itu berjalan dengan lancar. Aku gugup, sampai-sampai aku tidak ingat siapa nama teman sekelasku. Jam istirahat tiba. Aku pergi ke perpustakaan lalu aku bertemu dengan Vivian Roselina saat berada diperpustakaan.
"Halo, namaku Vivian Roselina, panggil saja Rose. Kalau namamu siapa?" Ucapnya dengan hangat menjabat tanganku.
"Oh hai, namaku Gistara amaryllis, panggil saja Tara. Salam kenal." Ucapku dengan senyuman.
Dia cantik sekali. Memiliki rambut panjang kemerahan dengan mata merah semerah bunga mawar. Seperti namanya, Rose. Bunga yang sangat cantik. Banyak kaum adam yang menyukai Rose. Tapi, dia menolak semua orang yang menginginkan dirinya. Aku menyukai sifatnya, tegas. Walaupun sesekali Rose itu manja kepadaku. Sayangnya, aku tidak satu kelas dengannya.
Lalu aku juga bertemu dengan Ray Bougainvillea yang terkenal seantero sekolah ini. Dengan rambutnya yang berwana hitam legam. Dan jangan lupakan matanya yang berwarna hijau zambrud itu, membuatnya semakin mempesona. Wajar saja ia terkenal, apalagi dikalangan perempuan. Ditambah dengan kepintarannya sudah pasti ia akan populer. Aku sekelas dengannya. Sebenarnya aku baru tahu Ray sekelas denganku karena kejadian Ray menantangku bermain catur.
"Hei, siapa namamu?" Ucapnya.
"Namaku Gistara, ada apa?" Tanyaku.
"Tara, aku menantangmu bermain catur denganku." Ucapnya dengan santai. Aku terkejut mendengar perkataannya. Aku mengerti cara bermain catur, tapi aku belum pernah sama sekali memainkannya. Karena aku penasaran, aku menerima tantangannya.
"Aku terima tantanganmu." Ucapku.
Ray menarik tanganku ke mejanya. Dia membuka papan catur dengan pion-pion disusun rapi olehnya. Aku duduk didepannya, dia menyeringai. Aku merinding melihatnya. Oke, sekarang aku bingung. Kenapa pria sedingin kulkas 7 pintu ini sangat populer? Kepribadiannya jauh berbeda dengan penampilannya.
"Ayo kita mulai." Ucapnya. Permainan dimulai. Aku hanya bertahan beberapa menit lalu kalah. Dia sangat pintar menyusun strategi di permainan catur. Aku sampai kebingungan bagaimana bisa dia melakukannya.
"Sekali lagi." Ucapku.
Tapi tetap saja, aku gagal mengalahkannya. Keesokan harinya, aku langsung berlari ke meja Ray dan menantangnya bertanding catur lagi. Ray meng-iyakan apa yang kumau, walaupun akhirnya aku kalah. Saat istirahat juga aku mengikutinya sampai ke perpustakaan untuk bermain catur dengannya. Dan akhirnya aku menang. Aku benar benar berteriak di perpustakaan. Semua orang yang sedang membaca buku disana memperhatikanku.
"Maaf, maaf." Ucapku sambil membungkuk.
Saat pulang sekolah aku menantang Ray lagi untuk bermain catur. Tapi sepertinya, kejadian di perpustakaan adalah keberuntunganku saja. Aku kalah kali ini. Tiba-tiba ada seseorang menepuk bahuku. Aku melihat wajahnya. Dia adalah William Edelweis, dengan rambut pirang—Aku tidak yakin itu, karena warnanya sangatlah pucat. Entah itu pirang atau perak. Dia satu kelas dengan Rose.
Hey, kenapa pria seperti dia tidak terkenal seperti Ray? Mata sebiru langit dengan tatapan yang sangat hangat itu tidak terkenal? Tanpa sadar aku memperhatikannya dalam waktu yang lama. Dia tersenyum hangat kearahku. Aku memalingkan wajah.
"Hei Ray, apakah ini mainan yang kamu sebut sebut itu? Kenapa kamu memilih yang lemah?" Ucapnya. Tidak sopan sekali dia, wajahku berkata seperti itu. Aku tarik perkataanku tadi. Tentang mengapa dia tidak terkenal.
"Biarkan aku yang mengalahkan dia." Ucapnya, aku menyingkir dan mempersilahkan William duduk.
"Kamu masih mau bermain denganku, walaupun kamu tahu hasilnya kau akan menang?" Ucap Ray.
"Ya, aku hanya ingin meyakinkan kalau kamu bisa mengalahkanku." Ucap Willian percaya diri. Kalau dilihat dari penampilannya, dia memang terlihat pintar. Memang bisa ya, mengalahkan Ray?
Permainan sengit dimulai. Ini benar-benar menjadi permainan catur yang sangat seru yang pernah kulihat. Mereka memiliki pertahanan yang sangat kuat, dan juga pandai menusuk dari belakang. Setelah 30 menit, akhirnya permainan selesai. Aku sampai ternganga. Ray dikalahkan. William berdiri menghadap kepadaku.
"Halo, perkenalkan nama saya William Edelweis, bisa dipanggil William. Salam kenal." Ucapnya sambil membungkuk lalu menaruh tangan kanan diatas dada sebelah kirinya. Aku lumayan terkejut melihatnya. Jarang sekali orang orang memakai etiket seperti ini. Yang aku baca di novel itu, aku harus memberi salam kepadanya kembali. Aku memundurkan kaki sebelah kanan lalu melebarkan rokku.
"Salam kenal juga. Saya Gistara Amaryllis, panggil saja Tara." Ucapku. Kami berdua tertawa.
"Hahaha, lucu sekali ya berbicara seperti ini." Ucapku sambil tertawa.
"Lucu sekali ya, hahaha." Ucap William, tertawa
Aku punya rahasia kecil. aku bisa mengatur arah angin. Aku juga bisa mengumpulkan angin menjadi putaran angin yang kecil. seingatku, aku pernah hampir membuat putaran angin yang lumayan besar.
(Senin, 27 Juni 2022)
edit, (Selasa, 22 November 2022)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverse the Time
Teen FictionKisah ini seperti kepingan puzzle. 1 kepingan, bisa menyempurnakan kepingan lain. Unik bukan? Tapi, salah satu kepingan puzzle membuat semuanya menjadi hitam. Kepingan itu sudah ditempel dengan erat di gambar itu. Di masa ini, masalah muncul akibat...