*Jika ujungnya adalah perpisahan, kenapa Engkau ciptakan pertemuan?*
Aku diam menyusuri lorong sepi rumah sakit yang masih gelap ini. Terdengar jelas kumandang adzan dari mesjid yang letaknya tak jauh dari sini. Kondisi abi saat ini benar benar mengobrak abrik hatiku. Sudah 13 hari abi tak kunjung bangun dari tidurnya. Orang yang satu satunya aku miliki dan menganggapku ada di dunia ini, kini tak dapat berbuat apa apa. Tuhan, aku benar benar tak mampu hidup tanpanya.
Aku berjalan tunggang langgang dengan pikiran kosong tanpa melihat keadaan sekitarku. Hingga saat seorang lelaki berjas putih yang sedang berlari menabrak keras tubuhku hingga terjatuh dan terbentur ke salah satu pilar rumah sakit yang ada di sana.
"Maafkan saya, saya sangat buru-buru sekarang." Ujar lelaki itu yang sepertinya adalah dokter. Lelaki itu melanjutkan perjalanannya kembali dengan berlari dan aku mencoba kembali berdiri dan berjalan menuju kamar rawat inap abi dengan lemah. Kepalaku terasa begitu nyeri akibat benturan yang aku alami tasi. Tapi aku mengesampingkan itu dan kembali berjalan menuju kamar abi.
Langkah ku terhenti saat menyadari pintu kamr inap milik abi terbuka. Dari sini terlihat banyak perawat dan perawat berhulu halang leluar masuk dari sana. Aku yang awalnya hanya diam berdiri langsung berlari masuk ke kamar dimana abi berada.
"200 joule" ujar salah satu dokter yang memegang defibrillator itu.
"Clear."
"300 joule."
"Clear."
"350 joule."
"Clear."Setelah ucapan itu, dokter tadi kembali meletakkan alat yang digunakannya kepada abi, dan kemudian berbalik menghadap kami.
"Dzulkifli Ahmad, 27 Januari 2022. 05.48 Rumahsakit Medical Centre." Ujar lelaki itu memberitahukan keadaan abi saat ini.
Diam membeku. Aku hanya bisa menatap kosong tubuh abi yang sudah dingin dan pucat. Sedangkan ibu dan Zahra langsung menatap tajam ke arahku dengan mata merah sembab akibat menangis terus menerus. Sedangkan aku, pikiranku kacau, hidupku seakan dibawa pergi ikut berasama abi. Tak lama setelah itu, Zahra menghampiriku dan..
Plak!
Zahra sukse mendaratkan satu tamparan keras ke pipiku hingga menjalar yang terasa begitu nyeri hingga menjalar ke kepalaku. Tanpa kisadari darah segar telah mengalir dari hidungku. Sepertinya darah itu sudah ada sejak tadi akibat benturan keras yang kualami. Aku masih memegangi pipiku yang masih terasa panas."Wanita egois, tak punya hati! Puas? Puas sudah membuat ku dan umi menderita?!" Teriak Zahra tepat di depan wajahku.
Satu dua air mata yang sedari tadi kutahan tak dapat lagi terbendung.
"Jangan berlagak seakan kamu yang tersakiti! Kamu tidak tau gimana sakitnya kehilangan ayah untuk kedua kalinya!"
Zahra bukanlah saudara kandungku. Yang mana ibu adalah adik dari Umi. Sebelum umi meninggal dunia, umi berwasiat kepada abi untuk mengkhitbah ibu yang saat itu adalah tante Nafisah. Tante Nafisah juga telah ditinggal pergi oleh suaminya setahun sebelum kepergian umi dan membawa seorang anak yang masih kecil yaitu Zahra. Keadaan mereka yang kesepian dan kekurangan tanpa ada yang menggungjawabi kehidupan mereka, menjadi alasan umi berpesan seperti itu kepada abi. Dengan keadaan terpaksa, abi akhirnya menikahi Tante Nafisah setelah kepergian umi karena melahirkanku.
Bukanlah hal yang mudah bagi abi untuk melewati semuanya. Disatu sisi abi harus menerima cemooh cemooh dari orang orang yang menjelekkan abi yang menikah dalam waktu dekat pasca kepergian umi. Dilain sisi abi harus mengurus aku yang masih bayi. Setelah aku beranjak dan tumbuh semakin besar, Tante nafisah mulai menyalahkanku atas kematian umi. Aku dan zahra juga tidak akur walaupun usia kami hanya beda 2 tahun. Abi menyadari semuanya. Dan pada saat saat seperti ini, abi selalu ada di sampingku untuk menenangkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahnan ( Revisi )
Romance" Kamu bukan kehilangan cinta, justru Allah telah menganugrahimu keabadian cinta." -Aisyah- "Jika ujung dari percintaan ini adalah airmata, akan kuhabiskan untukmu." -Adnan- "Bahkan, jika dunia tidak mentakdirkan kita bersama, aku akan tetap menun...