Tuhan, jika bahagia itu benar adanya,
Perlihatkanlah! Agar aku tau bentuknya
••••Pemakaman abi berjalan dengan lancar. Orang orang yang hadir juga sangat banyak untuk mengiringi pemakaman abi. Semua orang sangat bersedih dengan kepergian abi. Kalian tidak perlu menanyakan keadaanku lagi. Kepergian Abi benar benar membawa separuh jiwaku. Ibu dan Zahra juga tidak mengatakan sepatah katapun padaku. Keadaan dan suasana ini sangat menyiksaku. Aku memutuskan untuk pergi ke taman bermain itu kembali. Berada disana membuatku seperti merasakan kehadiran abi dan umi. Tak seperti malam itu, sore ini masih banyak anak anak yang berlarian kesana kemari memainkan semua jenis permainan disana. Saat aku mulai menikmati pemandangan yang indah ini tiba tiba...
Bruk!
Pandanganku langsung tertuju pada sumber suara tersebut. Seorang anak lelaki terjatuh dari perosotan dan sepertinya kepalanya terbentur ke sesuatu yang keras disekitarnya. Aku berlari sekencang mungkin menghampiri anak itu. Darah segar sudah mengucur dari luka yang ada di kepalanya. Anak itu sudah tak sadarkan diri. Sesampainya disana aku langsung menutup lukanya dengan sapu tangan yang selalu aku bawa. Beberapa saat kemudian tanganku ditarik oleh seseorang. Pak dokter?
"Nomor telepon mu?" Tanyanya denga raut wajah yang panik. Aku yang tiba tiba ditanyai seperti itu seakan butuh waktu untuk mencerna kata katanya terlebih dahulu. Ditambah lagi dalam keadaan panik seperti ini.
"Tolong nomor teleponmu, cepat!" Ucapnya dengan nada meninggi. Aku masih terdiam. Denga kesal dokter itu mengambil paksa handphone yang ada di tanganku dan memiscall nomornya sendiri dari sana.
"Saya percayakan adik saya kepadamu. Nanti setelah semuanya selesai, saya akan menghubungimu." Aku kembali diam. Pak dokter itu penuh dengan kejutan. Dia selalu melakukan hal hal yang diluar dugaanku.
Aku tak habis pikir mengapa dia dengan mudahnya mempercayakan adiknya kepada orang yang tidak ia kenali dengan baik. Aku menarik anak perempuan itu kepelukanku. Aku terus menatap punggung lelaki yang menggendong anak itu dengan segudang tanda tanya. Setelah dokter itu pergi, aku beralih kepada anak kecil cantik yang ada di pelukanku. Dia sangat lucu dan cantik dengan setelan santai kaus dan rambut gelombang yang terikat satu. Ditambah pipi gembulnya yang sangat menggemaskan. Adik lici itu sepertinya baru berumur sekitar 3 atau 4 tahunan. Aku mengangkat anak itu ke gendonganku dan membawanya kembali ke taman.
"Hai, kakak cantik" sapa anak itu masih terbata bata khasnya.
"Halo adik cantik. Nama kamu siapa?"aku pun mendudukkannya di pangkuanku.
"Iqish"
"Oh.. iqish mau main apa cantik?" Tanyaku dengan lembut.
Iqish lantas menarik tanganku dan mengajakku memainkan satu demi satu permainan yang ada di taman itu.Tak terasa hari sudah semakin gelap dan azan maghrib pun berkumandang. Iqish yang sudah tertidur di pangkuanku sedari tadi akibat kelelahan pun kuangkat ke gendonganku menuju sebuah mushalla kecil yang letaknya tak jauh dari taman itu. Aku merogoh handphone yang ada di sakuku ingin memastikan kabar dari dokter itu. Sayangnya handphone ku kini sudah lowbatt yang memang belum di charge sejak keluar dari rumah sakit. Jangankan untuk men charge handphoneku, untuk mencek nya apa masih hidup saja tidak. Aku berencana untuk Iqish sehabis shalat maghrib nanti.
Shalat kali ini benar benar sangat berarti bagiku. Saat ini mushalla sangat sunyi. Bahkan hanya aku yang ada disana. Di kesendirianku, aku menumpahkan semua kesedihan dan air mataku. Aku menangis sejadi jadinya. Memori tentang abi kembali beeputar di ingatanku. Jujur dari lubuk hatiku aku masih meratapi kepergian abi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahnan ( Revisi )
Romance" Kamu bukan kehilangan cinta, justru Allah telah menganugrahimu keabadian cinta." -Aisyah- "Jika ujung dari percintaan ini adalah airmata, akan kuhabiskan untukmu." -Adnan- "Bahkan, jika dunia tidak mentakdirkan kita bersama, aku akan tetap menun...