1. Ren in The Halu Word

256 38 2
                                    

Jakarta, Indonesia

Pada tahun pertama sebagai mahasiswa jurusan Filsafat Murni, Ren berkutat dengan beberapa mata pelajaran; Logika, Metafisika, dan Yunani Kuno. Ilmu yang Ren pelajari mengajarkan bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dengan cara berpikir mendalam seperti; asal usul dunia, makna hidup manusia, atau kenapa kita hidup di dunia ini. Terdengar berat? Yang jelas itu tidak seberat kenyataan bahwa ada tembok tinggi di antara fans dan idol.

Do you want to marry me? Ravi Vikranta berlutut dengan kotak cincin di tangannya.

Pikiran Ren terfokus pada sosok tampan yang mengenakan tuksedo, ia memasangkan cincin ke jari manis Ren lalu mendekatkan wajahnya. Otomatis bibir Ren ikutan monyong. Mereka akan ciuman!

Berkhayal saja terus sampai mampus karena setelah itu Ren mampus sungguhan. Pundak Ren ditepuk dan ia berseru,"Yes I do!"

"Renata Ayu, mau menikah dengan siapa kau?" ujar suara lain.

Nyawa Ren belum terkumpul semua. Dia menjawab dengan nada mendayu-dayu, "Pangeranku."

"Kapan?"

"Kapan-kapan," jawab Ren sambil tersenyum lebar.

"Boleh saya minta undangan resepsinya?"

"Boleh, di mana alamat Prof—" Ren terlonjak sampai hampir terjengkang dari bangkunya.

Profesor Rama berdiri di depan mejanya dengan wajah bengis. Sementara itu satu kelas tergelak dalam tawa.

"T-tadi s-saya s-sedang—" Ren gelagapan.

"Enak ya menghayal di siang bolong?" dengusnya galak.

Ren menelan ludah.

Profesor Rama melemparkan pandangan menusuk, pertama ke Ren lalu beredar ke satu kelas. "Dengar, ini bukan hanya untuk Ren, tapi untuk semua anak! Tidak ada orang yang kerjaannya cuma rebahan dan berharap sepanjang hari tiba-tiba bisa berjodoh dengan pangeran atau putri," ia menjentikan jarinya keras, "semua butuh usaha!"

"Maaf Prof," Ren menundukan kepalanya—sebenarnya tidak menyesal sama sekali. Sial, kalau saja Profesor Rama tidak membangunkanku, aku sudah ciuman dengan Ravi!

"Akhir-akhir ini kau sering tidak fokus. Ini kesempatan terakhir, kalau kau begitu lagi, siap-siap namamu dicatat!" Profesor Rama mengancam.

Oh tidak, mencatat nama itu berarti ditandai dan nilainya akan dikurangi! "Prof, tapi kata Aristoteles, harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga," ujar Ren.

"Ya, dan mimpi tanpa usaha adalah omong kosong," balasnya sengit.

Ren meringis.

"Apakah kau sedang jatuh cinta?"

Ren menjawab lantang, "BANGET PROF!"

Kuping Profesor Rama berdenging, ia berdecih, "Pantas saja—menurut Plotinus jatuh cinta bisa menyebabkan kegilaan jiwa, seperti yang sekarang terjadi padamu."

Warga satu kelas terbahak lagi.

"Ngomong-ngomong soal cinta, kebetulan sekali berhubungan dengan topik hari ini," Profesor Rama berjalan di depan kelas. "Cinta itu soal persoalan relasi. Relasi adalah salah satu aspek dasar manusia."

Seperti aku kepada Ravi. Ravi Sayang..., aku mencintaimu! Ren lanjut tersenyum-senyum sendiri.

"Tetapi kadang landasan cinta bisa berubah menjadi idolatry—obsesi," jelasnya. Profesor Rama mengajukan pertanyaan lagi, "Ren, apa lawan dari cinta?"

Ren terlonjak, buru-buru menjawab, "Benci."

Profesor Rama menggeleng, "Salah. Lawan dari cinta sesungguhnya adalah ketidakpedulian akan yang lain—bukan benci."

The Sun and FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang