4. Perjuangan si Penggemar dan Latihan Vokal

6 1 0
                                    

Jakarta, Indonesia

Hal pertama yang selalu dilakukan Ren setelah bangun tidur adalah membuka Instagram Ravi. Memeriksa apakah Ravi mengunggah sesuatu. Lalu Ren akan mengecek tag photo untuk memantau apa yang terjadi dengan Ravi ketika Ren tinggal tidur. Setelahnya Ren lari ke Twitter, scrolling timeline sebentar, dan mengetikkan hashtag #RaviVikranta di kolom pencarian. Barulah Ren bisa memulai harinya karena jika Ren tidak melakukan ritual ini, perasaannya jadi tak enak. Tanpa disadari hubungan Ren dan media sosial telah berubah menjadi sesuatu yang monumental. Ren takut ketinggalan apa pun yang berhubungan dengan Ravi membuatnya mengalami Fear Of Missing Out (FOMO).

Tetapi akhir-akhir ini waktu Ren untuk Ravi berkurang sedikit. Semenjak misi lolos magang di KBRI Bangkok demi mengejar Ravi, Ren mewajibkan diri membaca satu berita internasional sebelum berangkat ke kampus sebagai tambahan materi. Awalnya Ren kira perjalanannya akan berat sekali, tapi setelah dijalani ternyata Ren malah cukup menikmatinya. Materi lomba pemberian Profesor Rama sama sekali bukan seperti materi kuliah, Ren merasa seperti sedang membaca ensiklopedia pengetahuan dunia.

Hari Rabu, di antara jeda kelas Antropologi Budaya Indonesia dan kelas Sejarah Filsafat Yunani, Ren menemui Profesor Rama di kelas kosong untuk latihan.

"Sudah baca materinya?"

"Sudah, tapi belum semua," kata Ren jujur.

Profesor Rama bangkit, "Kalau begitu aku harus pergi—"

"Tunggu Prof, tapi bagaimana dengan latihannya?"

Profesor Rama melambaikan tangan dari ambang pintu, "Langsung praktik saja."

"Apa maksud Anda, Prof?" Ren menahan diri untuk tidak berteriak mencaci dosennya. Kenapa dosen sering bersikap semena-mena sih?

"Praktikan di kelas Profesor Mudhit, kutunggu laporannya dari beliau," sesudah berkata begitu Profesor Rama lenyap dari pandangan.

Jika Profesor Rama sudah termasuk golongan dosen killer, maka Profesor Mudhit selevel di atasnya, double killer. Beliau bukan sekadar dosen karena dia adalah ketua prodi ilmu Filsafat Murni. Profesor Mudhit sangat dihormati, semua anak menaruh respek besar terhadapnya. Ia sangat jenius—bisik-bisik mengatakan Profesor Mudhit adalah cicit dari Karl Marx.

"Dari mana asal usul ilmu pengetahuan manusia?" Profesor Mudhit bertubuh mungil, tingginya hampir sama dengan Ren. Dia berjanggut putih, sangat lebat.

Tak ada satu pun mahasiswa yang berani mengacungkan tangan ke atas. Tidak ada benar dan salah dalam kamus Profesor Mudhit, tapi jika mahasiswa tidak bisa membuktikan jawabannya dengan argumentasi kritis, ia akan memberikan pandangan seolah kau adalah kotoran yang tercecer di pinggir kloset.

Ren awalnya juga tidak berniat menjawab sang Guru Besar—masa bodoh dengan latihan lomba debat—namun sampul bagian dalam buku binder miliknya yang dihiasi stiker muka Ravi segera saja membuat telunjuk Ren teracung di udara.

Yasa berdesis, "Kau tidak kerasukan kan?"

Profesor Mudhit menaikan satu alisnya.

"Dari pengalaman manusia itu sendiri Prof," kata Ren.

"Bagaimana dengan bayi yang baru lahir?" Profesor Mudhit menuntut.

Ren mengkeret di kursi, tapi ekor matanya kembali melihat stiker Ravi dan mulutnya langsung berucap, "Sekalipun bayi yang baru lahir, dia mengalami sekon yang berlalu di setiap waktunya.Teori Empirisme dikemukakan oleh John Locke—manusia lahir layaknya kertas putih yang kosong. Setiap detiknya manusia mengalami sesuatu, dari pengalaman-pengalaman itulah manusia akan menulis kekosongan kertas tersebut."

The Sun and FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang