3. Kombinasi dari Nekat dan Sinting

146 16 9
                                    

Jakarta, Indonesia

Kegalauan Ren terus berlanjut keesokan harinya, untungnya hari ini Sabtu, jadi tidak ada kuliah. Ren masih terus mengurung diri di kamar sampai Gamaliel menerobos masuk membawa sepiring makanan dengan wajah kesal. Melihat pintu terbuka, Susu langsung menyelinap keluar, ekor kriwilnya melambai seiringan badan gendutnya yang berlapis seperti roti tawar menghilang.

"Aku diutus Mama menjadi kurir antar makanan karena putri tersayangnya sedang patah hati!" Gamaliel mengoceh, tadi ia sedang asyik-asyik menonton video klip terbaru Blackpink.

"Taruh saja di sana," Ren bergelung di balik selimut, tak memberikan respons lebih reaktif.

"Kakak kenapa sih?" Gamaliel menaruh piring di atas meja belajar yang dihiasi buku-buku filsafat, "kalau mau galau, jangan bikin repot orang lain."

"Ravi punya pacar," kata Ren sedih.

"Lalu apa masalahnya denganmu?" tukas Gamaliel. "Kakak kan bukan siapa-siapanya Ravi."

"Tidak ada gunanya curhat denganmu!" Ren melempar bantal. "Kau tidak tahu betapa hancurnya hatiku."

Gamaliel menatapnya malas, "Ravi bukan bocah di bawah umur! Hal yang dilakukan Ravi bukan hal terlarang. Suatu hari kau juga akan punya pacar, masa kau mau membiarkan idolamu jomblo seumur hidup sih?"

Ren mendengus, kadang-kadang ia merasa Gamaliel lebih cocok menjadi kakaknya ketimbang adik.

"Lagi pula yang membuat perasaanmu hancur adalah dirimu sendiri. Kau terus berpikir yang bagus-bagus tentang idolamu dan ketika sesuatu terjadi di luar ekspetasimu, kau patah hati," decak Gamaliel. "Apa lagi kau menulis fanfiction, kau jadi makin berimajinasi tentang betapa sempurnanya idolamu, padahal itu semua adalah hasil dari pikiranmu sendiri yang kau kembangkan dari layar kaca."

Ren mengusir Gamaliel, "Keluar sana dari kamarku!"

"Hei, aku sedang membantumu agar kau jadi waras lagi!"

Ren menghela napas, "Tapi aku tetap ingin bertemu dengan Ravi. Apa pun keadaannya. Setidaknya sekali sebelum aku mati."

"Pergi saja sana ke Bangkok. Thailand kan bertetangga dengan Indonesia," ujar Gamaliel.

"Tetap saja butuh biaya yang tidak sedikit. Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk tinggal di sana dalam waktu yang lama?"

"Jual saja dirimu, palingan tidak laku," dengus Gamaliel.

Ren mengambil buku Filsafat Sebagai Revolusi Hidup, melempar ke arah Gamaliel.

Gamaliel berlindung di balik pintu lemari pakaian. "Kalau tampangmu tidak laku di pasaran, jual saja otakmu!"

Serangan Ren berhenti, "Otak kan tidak bisa dijual?"

"Oh ya, aku lupa kau tidak punya otak."

Ren kembali menyerang Gamaliel menggunakan gabungan dari buku dan bantal.

Gamaliel berseru, "Maksudku pergunakan otakmu! Kau kan tidak bego!"

Sekarang serangan Ren sungguhan berhenti. Ia berujar ragu, "Tapi..., aku kan tidak pintar?"

"Tepatnya Kakak merasa tidak pintar," kata Gamaliel.

"IPK terakhirku hanya 3,2," Ren menyebutkan nilai semester lalu.

"Kalau begitu tingkatkan nilaimu. Siapa tahu kau bisa dapat beasiswa ke Thailand atau pertukaran pelajar?" Gamaliel mengoceh. "Manfaatkanlah status mahasiswamu untuk mengejar idolamu."

Ren tertegun, ucapan Gamaliel ada benarnya.

"Memikirkan apa kau—"

Ren menerjang adik lelakinya, memeluk erat.

The Sun and FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang