Part 4

224 33 6
                                    

Pagi ini cukup cerah. Kicauan burung-burung dapat terdengar dari dalam kamar. Aroma masakan ibu sudah tercium, untung saja hidungku masih bisa mencium aroma lain selain aroma besi.

Hufh wajahku. Sudah tak terlihat keren lagi. Mengapa wajah dan tubuhku semakin kurus saja. Seperti orang cacingan.

Lisa sudah menghabiskan waktu setengah jam berdiri di depan cermin. Meratapi wajahnya yang memar. Lisa mengelus plaster kuning bergambar pororo yang Jennie berikan untuk mengobati lukanya.

Lisa yang terus menekuk wajah kini berubah cerah hanya karena plaster pemberian Jennie. "Ya! apa aku sudah gila! aku yakin sudah!" ucap Lisa kesal memaki-maki dirinya di cermin.

Lisa terus berjalan ke bawah tanpa menyapa kedua orang tuanya. Lisa tidak ingin tahu kalau wajahnya habis di pukuli oleh sahabat sendiri. "Lisa, kamu belum sarapan pagi!" teriak ayah Lisa yang hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anak satu-satunya.

Seragam di kancing rapih, menggulung kemeja sekolah. Gaya jalan Lisa terlihat seperti laki-laki, tak ada anggun-anggunya. Ransel hitam ia rekatkan di pundak, matahari menyinari terang wajah Lisa yang menjadi pusat perhatian tetangga-tetangganya.

Kedua telinganya kini sudah terbiasa mendengar kalimat-kalimat cibiran. Lisa tidak ingin memperdulikan mereka lagi, omongan mereka sudah membuat Lisa lelah.

Dari kejauhan, aku sudah melihat dirinya yang berdiri di dekat tempat sampah. Seperti biasa dia berjongkok, membawa beberapa botol berisi makanan kucing. Berbicara dan mengelus mereka satu persatu. Ntahlah, tetapi melihatnya seperti itu membuatku betah saja hehe.

Sial! dia tahu aku sedang memperhatikanya! bagaimana ini? apakah aku harus memutar arah atau aku harus pura-pura tak melihatnya?

"Selamat pagi." Baiklah, dia sekarang menyapaku. Perlukah aku menyapa balik? sungguh, aku tidak pernah menyapa atau mengucapkan selamat pagi pada siapapun!

Jennie bangun, merapihkan rok abu-abu tuanya. Lagi-lagi ia menatapku tanpa berkedip. "Apa? mengapa menatapku seperti itu? apakah hidungku pindah ke mulut?"

Berhentilah tersenyum seperti bocah kecil Kim Jennie! aku benar-benar membenci wanita ini! "Tidak, aku hanya ingin memperhatikan wajahmu. Sepertinya lukamu sudah membaik." Jennie mengambil tas sekolah, memakainya seperti bocah kecil.

Ia mengurai rambut, rapih dan berseri. "Pulang sekolah nanti, mainlah ke rumahku. Aku akan membuatkanmu sop iga. Itu bisa membantu pemulihan lukamu. Dan juga..."

Jennie membalikan badan, rambutnya melambai-lambai ke samping. "Sepertinya kita akan sering bertemu." ucap Jennie tak lupa dengan gummy smilenya.

"Wanita menyebalkan!"

~

Beberapa murid menatap dengan berbisik ke arahku. Ya, tentu. Fotoku terpajang besar di tengah-tengah sekolah dengan wajah babak belur dan berlutut ke arah Donghwa. Mereka semua tertawa. Akan ku ingat wajah mereka satu-satu! akan ku bunuh mereka dengan kedua mata mereka terbuka lebar, memastikan bahwa aku yang membunuh mereka dengan perlahan!

Dup Dup Dup

Tidak, tidak. Aku bisa merasakan sebuah sentuhan di tangan kananku. Lembut dan hangat! Jari-jarinya lebih kecil namun, terasa tegas dalam menggenggam tanganku. Seakan sentuhanya tak kenal takut dan siap berada di sisiku. "Jennie."

Apa yang dia lakukan? mengapa dia memegang tanganku?

Wajahnya terlihat marah. Menatap mereka semua tak kalah keji denganku. "Apa yang kau lakukan!" Jennie tak melepas tanganku. Ternyata tenaga Jennie juga besar.

Kini kedua mata coklat tuanya memandangku berapi-api. "Ayo kita pergi. Jangan pedulikan mereka semua." Jennie menarik tanganku, menjauhi kerumunan.

~

The Heart of JennieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang