Ruang makan yang luas itu terasa mencekam padahal sinar matahari pagi masuk dengan sangat indah dan hangat. Ketiga orang yang terduduk di kursinya terlihat menegang padahal seharusnya pagi diawali dengan hal hal yang menyenangkan supaya mood menjadi baik.
Anak muda yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya tampak tenang melahap sepotong roti berselai. Kemudian menghabiskan segelas susunya dalam diam.
"Ini awal yang buruk." Seseorang dari mereka angkat suara. Merasa tidak tahan lagi dengan keheningan yang tercipta.
Anak muda yang hendal bangkit dari bangkunya itu menatap dua orang di hadapan bergantian.
"Kau bisa bersekolah dari rumah kalau memang ini terlalu cepat. Kami tidak keberatan."
"Aku yang keberatan," sahut anak muda itu cepat. "Aku ingin melewati tahun seniorku dengan bersekolah di sekolah langsung."
"Kami mengkhawatirkanmu." Salah seorang dari mereka ikut bersuara.
"Aku bahkan belum memulai apa-apa, bagaimana bisa kalian mengatakan hal itu. Berhenti memikirkan hal yang tidak tidak."
"Kadang-kadang kami merasa kau terlalu cepat dewasa."
"Kalian saja yang suka meramaikan." Anak muda itu berdiri, memakai tas di punggung. "Ayah jadi mengantarku?"
Seseorang berdiri tergesa hingga menggoyangkan cangkir teh di meja.
"Pelan-pelan saja, sayang," sahut seseorang di seberangnya sambil menggeleng. "Apa kau ingin aku yang mengantarmu?"
"Tidak. Kita sepakat bahwa Jaechan akan diantar olehku di hari pertamanya. Ayo, kita pergi." Ayah Jaechan merangkul sang putra keluar dari rumah.
Di dalam mobil yang perlahan keluar dari halaman rumah, Jaechan hembuskan napas perlahan. Ia tidak gugup hanya saja perasaan lain terus menganggunya.
"Apa kau benar baik-baik saja?" Ayahnya dibalik kemudi tampak khawatir.
Jaechan mengangguk dan melemparkan tatapan pada jalanan daerah rumahnya yang baru. Lingkungannya sepi dan meskipun ia senang dengan keadaan barunya, ada hal hal kecil terselip seperti merindukan suasana rumah lamanya yang ia tinggali sejak masih kecil.
"Kita sepakat untuk memulai semuanya lagi. Kuharap kau lebih berhati-hati. Bukan karena aku ingin membatasimu. Sungguh, aku tidak punya hak tapi di masamu yang rawan sekarang, sebaiknya beradaptasi dengan baik adalah pilihan paling bijak. Paling tidak sampai kau lulus nanti. Resiko dari apa yang kau putuskan ini mau tidak mau harus membuatmu lebih bertanggung jawab lagi. Dunia mungkin kejam tapi kita bisa mengaturnya sedikit."
Mobil Ayahnya bergabung di jalan raya setelah keluar dari komplek rumah yang cukup luas.
"Mulai besok aku akan naik bus." Jaechan melihat halte di depan jalan menuju rumahnya. "Sekolahku tidak lebih dari 15 menit dari gerbang masuk komplek rumah kita."
"Kau bisa memakai sepeda. Dari rumah ke jalam depan itu cukup jauh. Kau akan kehabisan tenaga bahkan sebelum memulai pembelajaran."
"Akan kupikirkan itu nanti."
"Atau Ayah akan mengantarmu setiap pagi. Aku tidak keberatan."
"Aku yang keberatan. Kali ini saja aku membiarman Ayah karena hari pertamaku.
"Baiklah baiklah, Tuan muda."
"Jangan memanggilku seperti itu di luar rumah," Jaechan bergumam dan menatap tajam Ayahnya.
"Aku tahu, aku tahu." Mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah. "Semog harimu menyenangkan."
"Terima kasih." Jaechan keluar dan kembali di interupsi Ayahnya.
"Tuan muda." Ayahnya sengaja menaikkan volume suara. "Selamat belajar."
Jaechan mengusir Ayahnya dengan kibasan tangan.
"Berhenti membuatku malu. Pergi lah."
YOU ARE READING
Des Vu || suamchan
FanfictionUnder the pouring rain, they stared at each other in dismay. The lines of the two's faces stiffened. One of them seemed to be clenching his fists, trying not to explode. While others, try their best not to be weak. Under the sky that seemed to want...