Anak itu mengenakan mantel dan memakai tudungnya, membiarkan tetesan hujan mengenai dirinya.
Awalnya Tok Aba kira anak itu hanya dijauhi oleh teman-temannya, tapi setelah memperhatikannya lebih lama lagi, ternyata tidak.
Sudah beberapa kali seorang-dua orang anak yang menurut Tok Aba adalah teman anak itu menghampirinya dan mengajaknya bermain, dan dia selalu menolaknya dengan gelengan kepala tanpa berbicara sepatah kata pun. Belum lagi tudung mantelnya yang menutupi hampir seluruh wajahnya, membuatnya terlihat misterius padahal masih seorang anak kecil.
Tanpa pikir panjang, Tok Aba mengambil payung yang berada di bawah kursi mobilnya dan menghampiri anak itu.
"Nak, apa kau tersesat?"
Sudah menjadi khas 'kekakekan'nya yang tidak bisa membiarkan seorang anak– siapapun itu seperti ini. Itulah mengapa dia begitu menyayangi cucu-cucunya. Bahkan sekarang di kala umur mereka telah mencapai enam belas tahun, dia masih saja menganggap mereka seorang anak kecil berumur lima tahun.
Anak itu tidak menjawab.
Tok Aba menipiskan jarak diantara mereka berdua dan bertanya kembali.
"Apa kau tidak punya tempat tinggal?"
Dengan sengaja dia mengecangkan suaranya agar terdengar oleh anak itu.
Alih-alih menjawab, anak itu menggelengkan kepalanya pelan sambil tetap menunduk.
"Dimana kedua orangtuamu nak?"
Hening.
Hanya suara tetesan hujan deras yang terdengar.
"Apa kau tidak punya tempat berteduh?"
Tok Aba mengganti pertanyaannya tadi dengan yang lain.
Benar saja, anak itu kembali menggeleng pelan.
Sebenarnya Tok Aba tidak ingin menduga-duga tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan anak ini.
Tapi, Tok Aba tidak ingin bertanya lebih banyak.
Hujan semakin deras dan hari sudah sore.
"Nak, apa kau ingin ikut dengan Atok?"
Tok Aba menanyakan pertanyaan intinya.
Anak itu terdiam sejenak, mengangkat kepalanya sedikit.
Di bawah bayang-bayang tudungnya, Tok Aba tahu anak ini sedang menatapnya. Dan dia sedikit takjub bahwa kedua mata anak itu berwarna biru sian, walau hanya terlihat samar.
Penglihatannya yang rabun dan pecahayaan lingkungan sekitar yang minim membuatnya tidak yakin dengan apa yang dilihatnya sekarang. Dia lupa membawa kacamata yang sebelumnya dia lepaskan di mobil.
Sadar kalau wajahnya sedang diperhatikan, anak itu memajukan tudungnya ke depan dengan tergesa-gesa. Membuat wajahnya semakin tidak terlihat.
"A-apa boleh?"
Anak itu terlihat canggung, namun di mata Tok Aba dia terlihat seperti ketakutan.
Tok Ba sebenarnya agak terkejut dengan sikapnya barusan, tapi pertanyaan yang anak itu lontarkan membuatnya mengabaikan kejadian tadi, malah membuatnya merasa iba padanya.
"Tentu saja," Tok Aba mengangguk– walau dirinya tahu anak itu tidak akan melihatnya. Lalu Tok Aba mengulurkan tangan padanya.
Dibalik tudungnya, anak itu melihat uluran tangan yang mulai terlihat rapuh itu. Namun yang jadi masalah adalah keraguannya sekarang. Dia ragu, apakah dia harus menerima uluran tangan tersebut atau justru sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu dan Kesempatan
FantasyKau tidak pernah tau apa yang akan terjadi, baik sekarang ataupun nanti. Jadi jangan sampai menyesal jika sesuatu yang kau jaga, hargai, dan sayangi menghilang begitu saja, seperti tidak pernah berada disisimu. Berterima kasihlah karena telah diberi...