0 5 0

0 1 0
                                    

Saat ini Amora tengah menyusuri koridor sekolah dengan langkah malas. Gadis itu berdecak ketika melihat kerumunan orang-orang yang bersorak-sorai.

“Beban banget. Dikira ini sekolah bapaknya kali!” kata Amora sembari memutar bola matanya malas.

“Awas! Awas lo! Awa—”

“Lo mau gak jadi pacar gue?” Amora dibuat terdiam. Ia mendengar suara yang begitu familiar.

“Ga-Gara? Se-serius?” terdengar suara lembut seorang gadis yang cukup familiar juga.

Amora yang merasa penasaran pun mengintip. Ia terdiam ketika melihat pemandangan yang cukup mengesalkan ini. Apa yang Amora lihat? Ia melihat Gara yang tengah berlutut sambil memberikan setangkai mawar merah. Yang tak lama diterima oleh Rania.

“STOP! APA-APAAN INI?!” Amora berteriak. Semua perhatian tertuju padanya.

“Gara! Lo-lo kenapa ngajak dia pacaran?! Lo tau kan kalo dia ja—”

“Stop Amora!” Amora terkejut. Gara sama sekali tak pernah memanggilnya Amora. Lelaki itu selalu memanggilnya Queen atau Anan.

“Lo kenapa Gara?” tanya Amora bingung.

“Gue gak disuruh untuk ikut campur urusan hidup lo kan? Jadi jangan ikut campur urusan hidup gue!” Amora terdiam. Ia menatap mata dingin Gara.

“Tapi lo—”

“Amora,” terdengar suara lembut Aldo membuat Amora memalingkan maranya dari mata Gara.

“Tenang babe. Harusnya kita senengkan karena penghalang dihubungan kita udah hilang?” kata Aldo yang dibalas anggukan singkat dari Amora.

Aldo langsung saja membawa Amora pergi dari kerumunan. Sampai sekarang, gadis itu tak mengeluarkan suara.

“Ra?” Amora menoleh. Menatap mata Aldo.

“Kamu serius gak sih sama aku?” Amora meneguk salivanya dengan susah payah.

“Aku serius.” kata Amora membuat Aldo menggeleng.

“Kamu ragu. Kamu cinta kan sama Gara? Kamu suka sama dia? Kam—”

“STOP ALDO STOP! MOOD AKU UDAH HANCUR JANGAN KAMU BUAT LEBIH HANCUR!”

***

“Gar...” Gara menoleh. Menatap wajah polos Rania.

“Iya?”

“Kalo kamu belum bisa nerima aku. Aku harap kamu bisa nerima dan cinta aku perlahan ya?” Gara tersenyum. Lelaki itu mengusap puncak kepala Rania pelan.

“Aku yang ngajak kamu pacaran. Udah pasti aku cinta kamu, aku gak mungkin ngasih harapan palsu ke seseorang. Apalagi ke cewek manis kaya kamu,” kata Gara membuat pipi Rania bersemu merah.

“Bisa aja. Aku sayaaang banget sama kamu!” jawab Rania membuat Gara terdiam lalu tersenyum tipis.

“Aku juga sayang banget sama kamu.”

“Seberapa sayang?” goda Rania membuat Gara tertawa.

“Sayaaaang bangeeet.”

Cih, si*lan alay banget mereka!” umpat Amora yang sedari tadi memperhatikan kemesraan kedua manusia itu.

***

Kini Amora tengah berada disebuah tempat yang begitu menenangkan. Gadis itu tengah berada dipinggir danau pada malam hari. Malam hari ini terasa begitu dingin.

Disini begitu damai, tak ada suara kendaraan yang yang bersahutan. Tidak ada udara berdebu. Tetapi jujur, disaat seperti ini mengingatkan Amora akan Mamanya. Ia begitu merindukan wanita itu.

“Mama... Mama dimana? Kenapa gak pulang? Gak kangen Amora?” tanya gadis itu beruntun sembari menatap langit.

“Bintang... Bilang ke temen-temen kamu ya, bantu cariin Mamaku... Terus bilang, kalo anak tunggalnya ini lagi butuh dia.” Air mata gadis itu mulai menetes.

“Bulan, kamu cantik. Kata Papa kalau aku rindu Mama aku bisa lihat bulan. Karena bulan itu persis kaya Mama. Cantik, dan bersinar. Kata Papa, Mama itu cahaya.”

“Aku percaya, tapi aku pengen liat wajah cantik Mama. Selama 17 tahun Mama gak pernah ngasih kabar.”

“Anan...”

Amora terkejut, ia segera menghapus air matanya tanpa menoleh kearah belakang. Ia benar-benar tahu bahwa itu adalah suara Gara.

“Pergi!” teriak Amora mengusir Gara.

“Tapi, Nan.”

“Pergi si*alan! Gue gak butuh lo!” teriak Amora lagi.

“Butuh pelukan hangat, Nan?” tanya Gara. Laki-laki bod*h, sangat bod*h. Amora benar-benar menginginkan itu, tetapi kenapa lelaki itu malah bertanya terlebih dahulu.

“Pergi. Pergi dari sini. Dan pergi dari kehidupan gue.”

***

Sudah 2 minggu berlalu. Gara benar-benar tak muncul dihadapan Amora. Kalaupun muncul, ia sedang berjalan sambil tertawa bersama Rania dan pura-pura tak melihat Amora. Memang itu yang Amora inginkan.

“Yang,” panggil Aldo membuat Amora menoleh.

“Kenapa?” tanya Amora membuat Aldo tersenyum.

“Coba tebak besok aku bakal ngajak kamu kemana!” Amora tampak berpikir.

“Pantai?”

“Yahh! Kok tau sih? Gak asik kamu mah!” ucap Aldo sembari cemberut. Itu justru membuat Amora tertawa.

“Ya mana ku tau bakal bener.”

“Malem ini kamu kemas-kemas barang aja dulu ya. Apa yang mau dibawa, jangan banyak-banyak loh!”

“HAHAHA iya, by the way siapa aja yang ikutan?” tanya Amora membuat Aldo terdiam.

“C-cuma kita. Berdua, quality time gitu ceritanya, hehe.” Amora hanya menggelengkan kepalanya.

“Ada-ada aja!”

***

Keesokan harinya Aldo pun sudah berada didepan gerbang rumah Amora dengan mobil Lamborghini hitamnya. Amora mengerenyitkan dahinya ketika melihat mobil itu.

“Tumben pake mobil yang ini,” kata Amora sembari memasukkan barang-barangnya kedalam mobil dibantu oleh Aldo.

“Kan khusus buat kamu, sayang.” Amora hanya menggeleng pelan.

Setelah meletakkan barang dibagasi Aldo membukakan pintu depan untuk Amora. Setelahnya, lelaki itupun masuk kekursi kemudi. Beberapa menit kemudian, mobil mereka mulai bergerak.

“Kamu udah bilang Papa?” tanya Aldo membuat Amora mengangguk.

“Udah.” Aldo hanya membalas dengan anggukan singkat.

“Baguslah kalau gitu, rencananya bisa lancar.”

***

Sekitar 2 jam kemudian akhirnya mereka sampai disebuah hotel mewah yang berada dekat dengan pantai. Aldo menuruni berang-barangnya dengan Amora lalu pegawai hotel membantu Aldo untuk membawa kedua koper itu.

Mereka memesan 2 kamar yang masing-masing untuk 1 orang saja. Setelahnya, mereka mengambil kunci kamar masing-masing diikuti oleh 2 pegawai yang membawa masing-masing koper mereka.

Tepat dilantai 4 kamar nomor 87 dan 88. Amora memilih kamar nomor 87 alasannya karena ia tak mau kamarnya berada dipaling ujung. Setelahnya mereka berpisah dan kekamar masing-masing. Amora merebahkan tubuhnya diranjang yang berukuran untuk 1 orang itu.

Tok tok tok

“Ra...” panggil Aldo membuat Amora berdecak.

“Nanti aja kepantainya, sorean gitu.” Terdengar suara deheman Aldo dari balik pintu.

“Oke,” jawab Aldo singkat.

“Aldo!”

TBC
Gimana chapter ini?
Jangan lupa untuk tinggalkan jejak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SCHEMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang