Now playing | Utopia - Hujan
Biar dapet suasananya, lagunya ini aja.
•••
Dua hari berlalu sejak masa pengenalan orientasi siswa dan pagi hari ini hujan, langit yang seharusnya cerah dengan awan, langit biru, dan matahari. Kini berubah menjadi langit gelap, dan petir yang menemani derasnya hujan. Jam di lengan Zara menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit.
Dan Zara, gadis itu kini sedang duduk di dalam mobil. Alih-alih pergi dengan si lady, ia lebih memilih menumpang mobil sang papa. Zara sebenarnya bisa saja mengendarai mobil ini, tetapi ia merasa kasihan pada Almeera; adiknya.
Jika ia membawa mobil, lalu Almeera bagaimana? Berangkat menggunakan apa? Sangat tidak mungkin jika adiknya berangkat sekolah menggunakan kendaraan roda dua sedangkan dia santai di dalam kendaraan ber-ac ini.
Halaman sekolah tampak masih sepi dari dalam mobil—jika hujan begini, mobil atau kendaraan yang mengantarkan murid diizinkan memasuki area sekolah, dengan tujuan agar siswa ataupun siswi tidak kehujanan. Zara yakin banyak siswa-siswi yang sengaja berleha-leha untuk berangkat ke SMA Merdeka ini; beralasan bahwa sedang hujan. Padahal itu sama sekali tidak mengganggu jika memang berniat untuk menimba ilmu.
Setelah berpamitan pada papa dan adiknya, Zara buru-buru saja keluar dari mobil dan siap dengan payung di tangan untuk melindungi diri dari derasnya air yang turun. Langkah seribu ia gunakan agar segera sampai di koridor kelas yang teduh; kering tanpa air satupun di lantai.
"Ini orang yang pada gak disiplin atau gue yang semangat banget sekolah, ya?" Gumam Zara yang kini sedang berjalan menyusuri koridor dengan satu tujuan yaitu kelasnya sendirian.
Sesampainya dikelas, gadis itu langsung meletakkan tas kanvas pada meja yang biasa ia tempati, dan menaruh payung yang masih basah di tiang koridor kelas. Untung saja ia memakai jaket, jadi badannya tidak basah.
'Kok kaya ada yang kurang ya?' Gadis itu membatin. Dengan cepat ia berjalan ke arah bangku, tatapannya tertuju pada tas kanvas miliknya. Segera ia membuka tas itu melihat satu persatu barang yang ada. Buku, alat tulis dan beberapa barang untuk ia touch up nantinya setelah shalat. "Lengkap kok."
Zara meng-edarkan pandangan ke seluruh sudut kelasnya, lalu beralih ke papan putih di depan.
"Cari apa tuh?"
Zara mengalihkan pandangan ke sumber suara. Ternyata itu teman sebangku nya, Azira. "Gue juga bingung cari apa, Waalaikumsalam."
"Eh assalamu'alaikum hehe," Azira terkekeh, gadis itu berdiri di dekat pintu kelas dan mengangkat benda di tangannya. "Lihat, bekal gue. Cantik kan tempat bekal gue, baru beli nih. " Ujarnya diiringi cengiran yang memperlihatkan gigi gingsul pada dua gigi atasnya.
Dengan cepat ia tersadar dan melihat laci meja miliknya. Kosong. Sontak saja gadis itu memetik jari telunjuk dan jari tengah berasamaan. "Bekal gue! Pantes. Makasih loh Azira udah ngingetin."
"Sama-sama," Azira kini sudah berpindah duduk di bangku samping kiri Zara. "Tiap hari ada aja yang tinggal, untung masih barang. Kalo jiwa lo yang tinggal gimana?"
"Dih, serem banget doa lo," Zara kini sedang mengotak atik benda pipih di genggaman-nya. Ia membuka applikasi bertukar pesan , berniat menghubungi seseorang. Tak lama terdengar bunyi sambungan telepon, dari ponsel Zara.
"Nelfon siapa Zar?" Azira kini memiringkan tubuh ke kanan dengan tangan menumpul kepala; sekadar melihat Zara yang kini tampak khawatir.
"Papa gue. Yakin banget nih bekel tinggal di mobil tadi."
"Assalamualaikum," Salam itu terdengar diiringi dengan bunyi ketukan pintu.
Kedua gadis yang tengah berhadapan itu mengalihkan kan pandangan pada seseorang di pintu. Lelaki tegap, tubuh tinggi, kulit sawo matang, dan seragamnya yang berbeda.
Zara terpaku melihat lelaki di depan pintu itu. 'Ganteng banget' batinnya.
Mulut Zara sedikit terbuka, pertanda bahwa gadis itu terkejut. Memang tidak ada gaya terkejut lain apa selain membuka mulut.
Azira yang tak terlalu tertarik pada lelaki ini, melirik Zara yang masih terpaku. Tersadar dengan perilaku sahabat nya itu, buru-buru ia mendorong dagu bawah Zara ke atas agar mulut gadis itu tertutup rapat; takut jika nanti lalat masuk mengira itu adalah terowongan.
Lelaki itu melambaikan tangan ke di depan pintu, "Hei, assalamualaikum."
Kedua gadis itu menjawab salam bersamaan.
"Ada apa ya ke kelas ini?" Tanya Zara membuka percakapan."Boleh saya masuk?" Tanyanya. Melihat kedua gadis itu mengangguk, pria itu langsung berjalan mendekat.
"Ini," Lelaki itu menunjukkan botol minum berisi air putih dan kotak bekal makanan pada kedua gadis itu, "Tadi saya di titipin ini sama papanya Zara. Kalo boleh tau ini benar kan MIPA 2 dan yang namanya Zara yang mana ya?" Tanyanya.
Zara dengan cepat menunjuk dirinya, "eh, iya punya aku. Zara itu aku."
Lelaki itu mengangguk mendengar pernyataan Zara, lalu menyerahkan barang tersebut pada Zara. Dirasa telah menyelesaikan tugas nya, ia kembali membuka percakapan, "oke selesai ya tugas saya. kalau gitu saya pergi ya," Ia tersenyum sekilas lalu membalikkan tubuh.
Sepeninggal lelaki tersebut Zara masih terpaku pada pintu depan kelas. Menatap kosong air hujan yang masih deras. "Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Sang pujangga, datang dengan sendirinya."
Azira jengah, ia tau sahabatnya dengan kasmaran pada pandangan pertama. "Sadar bos. Masih pagi kok halu."
"Anak baru tuh kayanya, jodoh gue fix!" Ujar Zara penuh semangat.
"Gue aminin aja kali ya?"
"AAMIIN!!" sorak Zara, gembira sekali wajah gadis itu.
"Eitss! Ada apaneeh, kok seru banget siii." Rena datang bersama Shania. Kedua gadis itu memang sering berdua, dikarenakan Rena menumpang pergi dan pulang sekolah bersama Shania. Akibat Rena yang belum bisa mengendari motor. Namun, mahir mengendarai mobil.
"Kasmaran nih temenmu," Jelas Azira.
"Waduh, sama cowo yang baru keluar kelas tadi? Kita lihat kok. Seragamnya beda ya, adek kelas apa anak pindahan tuh."
"Lo kira-kira aja ren," Tutur Shania.
"Bisa jadi loh itu murid pindahan, kan ini ajaran baru. Lagian masa adek kelas ganteng gitu, hahaha" Rena tertawa puas.
Memangnya dia kira adik kelas tidak ada yang menawan, begitu? Zaman kini banyak sekali remaja yang sudah mengerti perawatan. Mungkin jika Rena melihat salah satunya, gadis itu akan terpukau dengan siswa baru SMA Merdeka ini.
"Banyak kok adik kelas ganteng, kan gue panitia acara. Tapi yang ini gue rasa bukan adek kelas deh." Zara dengan keyakinannya yang tinggi meyakinkan teman-temannya.
"Yaudah kita lihat nanti aja ya."
Ketiga wanita itu mengangguk mendengar pernyataan Shania. Mereka pikir ada benar nya juga. Daripada terpaku pada orang yang tidak bisa dicari saat hujan ini, lebih baik cari saat jam istirahat yang masih lama nanti.
•••
TBC, TO BE CONTINUE.
CRINGE GAKSIEEEE????
Maaf ya, kalau pendek. Aku rencana per BAB cuma up 1000 kata. Karena serius ngetik dengan kebacotan ini ngga terasa udah 1000 kata. IHAHAIHAHAIHAIHAIHA (ketawa kuda ucel)
.
.
-- Cheryl💋
KAMU SEDANG MEMBACA
ZARA
Ficção AdolescenteZara Andyan, gadis berdarah Sumatra dengan raut tegas yang mendominasi di wajahnnya. Menjadi wakil ketua osis, kerap membuat gadis itu sering disibukkan dengan hal yang bersangkutan dengan sekolah. Tak hanya menjadi bagian dari osis, gadis itu juga...