VT : 1

82.9K 3.7K 136
                                    

Zoya menatap layar laptopnya dengan perasaan frustasi. Skripsi yang telah dikerjakannya berhari-hari, hanya karena satu typo kecil, ditolak oleh dosennya.

"Bangsat, cuma typo dikit doang njir!" Zoya membentak, menendang kursinya dengan keras.

Dosen itu benar-benar menjengkelkan. Zoya hampir lupa waktu saat menulis skripsinya, terjebak dalam tumpukan halaman demi halaman, tapi dengan mudahnya ditolak begitu saja.

"Ck, dulu pas SMA gue pengen buru-buru kuliah buat cari cogan, eh pas kuliah malah kayak gini!" Zoya mengeluh, menggaruk kepalanya frustasi. "Kejebak mulu sama tumpukan kertas, gimana coba mau cari cogan," lanjutnya dengan nada kecewa.

Perutnya tiba-tiba terasa lapar, namun rasa malas mengalahkan keinginan untuk makan.

"Laper tapi males makan," gumamnya, lalu menelungkupkan wajah di atas meja. "Gue tidur bentar nggak papa kali ya? Gue cuma kelaperan doang tapi males makan, nggak bakal mati kan?" tanyanya pada dirinya sendiri sambil mengangkat kepala sejenak.

"Bodo lah, pasti bangun lagi ntar," akhirnya ia memutuskan untuk kembali menelungkupkan wajahnya, menyerah pada rasa kantuk.

________________

Suara sinis itu membuat Zoya tersadar. Matanya terbuka perlahan, melihat seorang wanita setengah baya berdiri di depan meja, menatapnya tajam.

"Tesha, enak sekali kamu berbaring seperti ini," wanita itu berkata dengan nada penuh sindiran.

"Tante manggil aku?" Zoya bertanya dengan kebingungan, mengerjap-ngerjap polos, mencoba mengingat siapa wanita ini.

"Tidak sopan, saya ini mertua kamu. Tapi kamu malah panggil saya tante," wanita itu menyahut dengan nada keras.

"Eh, anjir. Kapan-kapan gue punya mertua? Pacar aja nggak punya, lah ini. Bangun-bangun langsung punya mertua," batin Zoya, merasa bingung.

"Saya tahu, Tan, kalau saya itu menantu idaman, tapi tante nggak harus ngaku-ngaku juga jadi mertua saya," Zoya berkata, mencoba menanggapi dengan santai.

"Pacar aja saya nggak punya, apalagi suami," Zoya melanjutkan, merasa bahwa itu adalah kenyataan pahitnya. Ia terlalu sibuk dengan skripsi dan tumpukan kertas.

"Setelah menjebak anak saya, sekarang kamu tidak menganggapnya?" wanita itu menatapnya dengan sinis.

"Apa sih Tan? Saya nggak pernah jebak orang!" Zoya merasa tak terima dengan tuduhan itu.

"Kayaknya tante ini mantan pasien RSJ kali ya? Nuduh yang nggak-nggak. Kenal aja nggak, tapi udah asal fitnah," batin Zoya kesal, berpikir bahwa ini semua terlalu absurd.

"Tante aneh, saya aja nggak kenal tante, gimana bisa coba jadi menantu tante," Zoya berkata dengan nada bingung.

"Saya juga nggak kenal anak tante, gimana saya jebak dia?" Zoya menambahkan, mencoba mempertahankan posisinya.

"Veron tidak ada di sini, jadi kamu tidak perlu berdrama," wanita itu menyahut malas.

"Veron?" Zoya mencoba mengingat, namun namanya tidak terdengar familiar.

"Tapi gue nggak punya kenalan yang namanya Veron," batin Zoya semakin bingung.

"Saya nggak kenal Veron, Tan. Serius," jawab Zoya, merasa semakin bingung dengan situasi ini.

"Kamu benar-benar ingin membuang anak saya setelah mencicipinya?" wanita itu berkata dengan nada sinis, yang membuat Zoya terkejut.

"Hah? Mencicipi?" Kata itu membuat Zoya terhenti sejenak, pikiran dan rasa penasarannya mulai melayang.

_______________

Zoya duduk merenung, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan oleh wanita itu. "Gue udah ngewe kali ya? Mencicipi maksudnya itu mungkin gue jebak Veron buat merkosa gue? Rasa nya gimana tuh?" pikirnya, merasa cemas dan bingung.

"Gak adil banget, gue nggak tau rasa nya ngewe, eh udah nggak perawan," Zoya merasa aneh dengan pikirannya. "Tapi yang penting ada suami nya sih. Kan bahaya kalau udah nggak perawan, nggak punya suami lagi. Double kesialan itu."

Tiba-tiba, suara berat yang menggoda membuat Zoya terkejut. "Berani lo?!" Suara itu mengalir penuh ancaman, mengingatkannya bahwa ia punya suami. Suara pria itu begitu memikat, namun juga menakutkan.

"Mendadak bisu lo, hah?!" Suara itu semakin dekat, disertai cengkraman yang keras di bahu Zoya. Pria asing ini jelas bukan orang biasa.

"Shh, apaan sih?! Lepas!" Zoya meringis kesakitan, mencoba melepaskan diri, namun cengkraman itu sangat kuat. Ia merasa bahunya hampir patah.

"Jawab, berani lo mau cari suami lagi, hah?!" pria itu membentaknya, membuat Zoya termenung.

"Suami lagi? Berarti nih cowok tempramen suami gue? Si Veron itu?" pikir Zoya bingung, berusaha mengerti situasi ini.

"Awh!" Zoya menjerit pelan, cengkraman pria itu semakin keras.

"I-iyalah, siapa juga yang mau sama cowok kasar kayak lo," jawab Zoya dengan suara kaku, berusaha tetap tenang meski rasa sakit masih terasa.

Krek!

"Argh, tulang gue!" Zoya menjerit tertahan, suara itu sangat keras. Veron memang tidak waras.

"Ahh! Lepas, cowok gila!" Zoya berusaha melepaskan tangan Veron yang masih mencengkram erat, merasakan sakit yang luar biasa.

"Sial, pasti patah tulang gue," batin Zoya kesal.

"Keterlaluan. Abis jebak gue, terus lo mau buang gue gitu aja? Gak bisa," Veron melepaskan cengkramannya dengan kasar, membuat Zoya jatuh terjerembab ke lantai.

"Akhirnya lepas juga, patah tulang gue," Zoya menggerutu dalam hati, merasa sedikit lega meskipun masih terhimpit rasa sakit.

"Lo harus dapat hukuman, Pratesha, supaya lo nggak berani ngelawan gue," Veron menyentakkan kalimat itu dengan penuh amarah, sebelum menyeret Zoya yang terjatuh di lantai.

"Bangsat, baru lega dikit!" Zoya meringis, berpikir bahwa masalah ini baru saja dimulai.

____________

Next?

Follow for more.

Wife Of The Gay ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang