VT : 4

40.7K 2.4K 56
                                    

"Veron... Tesha mau hamil..." Racauan Tesha membuat Veron menghela napas berat. Ia memandang istrinya yang sempoyongan di gendongannya dengan tatapan tajam.

"Berisik!" desis Veron, menahan diri agar tidak menjatuhkannya di tempat. Tesha menggumam lagi, tubuhnya yang lemah bergerak tidak karuan.

"Mau hamil..." gumamnya lagi, kali ini lebih lemah.

"Sial! Kalau mabuk gini, lo malah bikin repot gue!" Veron menggerutu sambil mempercepat langkahnya menuju kamar mereka. Setelah sampai, tanpa banyak basa-basi, ia menjatuhkan Tesha ke tempat tidur.

"Lo mau hamil, kan? Sini," ujarnya dingin, duduk di tepi ranjang dengan posisi tubuh santai, tetapi tatapan matanya tajam penuh tuntutan.

Tesha, yang setengah sadar, berusaha berdiri. Namun, langkahnya goyah, membuatnya hampir terjatuh.

"Jalan kayak gitu, lo pikir bisa hamil?" Veron mengejek dengan nada meremehkan.

"Kenapa Veron buka baju? Kan Tesha cuma mau hamil, bukan mau mandi bareng Veron," pikir Tesha bingung sambil memandangi suaminya.

"Lo mau hamil, kan?" Veron mengulurkan tangan, menarik Tesha ke arahnya. "Kalau iya, nurut sama gue."

Tesha mencoba melangkah, tubuhnya terhuyung. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah semua ini bagian dari efek mabuk wine tadi malam?

"Great," gumam Veron dengan senyum tipis penuh arti. "Let's have a baby."

_________________

Keesokan harinya, Tesha mengerang kecil saat membuka matanya. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui tirai kamar membuat matanya menyipit.

"Aduh... kok badan gue sakit-sakit semua?" keluhnya sambil memegang bahu dan pinggangnya yang terasa nyeri.

"Semalam... gue mabuk?" pikirnya sambil mencoba mengingat-ingat. Bayangan samar tentang dirinya di bar dan asap putih mengepul memenuhi pikirannya.

"Jangan-jangan wine itu yang bikin pusing kayak gini. Gila, gak lagi deh gue minum!" Ia menghela napas panjang. Namun, sesuatu menarik perhatiannya.

"Baju gue... kok udah ganti?" Tesha melihat tubuhnya. Gaun malam yang ia kenakan semalam telah digantikan dengan piyama satin yang terlihat terlalu rapi untuk ia kenakan sendiri dalam keadaan mabuk.

"Veron?" gumamnya, sedikit ragu.

"Tumben dia peduli sama gue. Atau jangan-jangan... pelayan yang bantuin?"

Kepalanya masih terasa berat, tetapi ia memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu terlalu jauh. "Udahlah. Mending mandi dulu. Badan gue lengket banget." Tesha bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.

Sementara itu, dari balik pintu walk-in closet, Veron muncul. Ia menghela napas lega.

"Hampir aja dia sadar," gumamnya sambil membawa segenggam potongan kain yang merupakan sisa dari gaun Tesha semalam. "Gue harus beresin semuanya sebelum dia nyadar apa yang gue lakuin."

________________


Setelah mandi dan mengganti pakaian, Tesha melangkah keluar dari kamar mandi, tubuhnya merasa lebih segar meski kepalanya masih sedikit pusing. Ia berjalan ke meja rias untuk menyisir rambut, namun matanya terhenti pada sesuatu yang tak biasa di dinding kamar mandi. Di balik cermin besar, ada sebuah tulisan yang tampak tergores samar, seperti seseorang yang sengaja menggaruk kaca tersebut.

Dengan hati-hati, Tesha mendekat, dan matanya terbeliak saat ia membaca tulisan itu dengan jelas.

"Kamu telah masuk ke dalam dunia novel BL."

Tesha terdiam beberapa detik, merasa seolah-olah dunia di sekitarnya mulai berputar. Ia mengedipkan matanya, memastikan bahwa tulisan itu memang ada di sana. Setelah beberapa saat, ia pun mencoba menenangkan dirinya, namun tulisan itu semakin jelas di matanya.

"Ini... ini gila!" pikir Tesha dengan mulut yang terasa kering. "Novel BL? Maksudnya... gue... gue beneran masuk ke dalam novel?"

Tatapan matanya beralih ke tulisan lanjutan yang tampaknya lebih tajam dan tergores dalam.

"Veron adalah male lead seme. Eziel adalah male lead uke. Kamu, Tesha, hanyalah bagian dari jalan cerita mereka. Kamu akan mati ditangan Veron.

Tesha merasakan rasa panik mulai merayap di dadanya. Kakinya goyah, dan ia hampir terjatuh, berpegangan pada meja rias untuk menstabilkan dirinya. "Sial! Kalau Veron sama Eziel yang jadi pasangan utama, gue nggak peduli. Tapi.."

"Nyawa gue, Sialan! Gue nggak mau mati buat yang kedua kalinya!" Tesha menelan ludah, hatinya berdebar kencang. Ia sadar, apa yang baru saja ia temui bukan hanya sekedar kebetulan. Dunia yang ia masuki ternyata lebih rumit dari yang ia bayangkan.


_______________



Di meja makan, Tesha turun dengan langkah ringan. Berusaha terlihat biasa saja, meski aslinya syok luar biasa, Ia elihat Veron duduk sambil membaca koran.

"Pagi," Tesha menyapa Veron singkat.

Veron mendongak sekilas, tatapannya tajam memindai Tesha dari kepala hingga kaki. "Bagus," pikirnya,
"tanda-tandanya masih ketutup."

"Kenapa?" tanya Tesha, heran dengan cara Veron menatapnya.

"Gak ada apa-apa," jawab Veron dingin, kembali membaca korannya.

"Semalam... lo yang bawa gue pulang?" Tesha akhirnya bertanya, mencoba mencari jawaban.

Veron mendengus. "Gue? Mimpi kali. Ngapain gue peduli sama lo?"

Tesha mengernyitkan alis, merasa kesal. "Cih, biasa aja kali! Gue cuma nanya!"

"Atau jangan-jangan..." pikir Tesha sambil menggigit bibirnya. "Eziel yang anter gue pulang?"

"Mana mungkin mereka bantuin gue, kan mereka cinta sejati. Gue mati aja nggak peduli kali." Tesha bergumam acuh.

Tesha berbicara kembali pada Veron, namun ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sebuah notifikasi muncul di layar.

Ezekiel:
Little sister, gue kangen. Ayo ketemuan. Sekarang, di taman XXXX.

Tesha mengernyit membaca pesan itu. "Little sister?" Ia tertegun.

"Hah? Ezekiel? Abang gue?" gumamnya bingung, Tesha melirik Veron yang nampak acuh.

Tanpa pikir panjang, Tesha membalas pesan itu.

Me:

Oke.

"Kayaknya gak ada salahnya ketemu. Lagian gue juga pengen punya keluarga di sini," pikirnya sambil menyelesaikan sarapannya.

Sepertinya, Tesha melupakan satu hal.

________________

Di taman yang dituju, seorang pria berdiri sambil melambaikan tangan ke arah Tesha. Rambutnya hitam pekat, kulitnya pucat, tetapi auranya begitu memikat.

"Babe!" serunya dengan suara berat namun hangat.

"Babe?" Tesha merasa bingung tetapi tetap menghampiri pria itu.

"Bang Ezekiel?" tanyanya ragu.

Ekspresi pria itu berubah seketika, alisnya mengerut. "Bang? Lo manggil gue apa?" tanyanya dengan nada yang hampir terdengar seperti geraman.

"Bang Ezekiel? Kan lo abang gue," jawab Tesha polos, makin bingung dengan reaksi pria itu.

"Abang?" Ezekiel tertawa kecil, tetapi ada kilatan tidak menyenangkan di matanya. "Kata siapa gue abang lo?"

"Loh? Terus siapa?" Tesha mulai merasa bingung sekaligus tidak nyaman.

"Pacar lo," jawab Ezekiel dingin namun penuh penekanan.

"Apa?" Mata Tesha membelalak.

________________

Next?

Follow for more.

Wife Of The Gay ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang