VT : 2

55.5K 3.1K 108
                                    

Perjalanan mereka melalui lorong gelap itu semakin menegangkan, hanya beberapa obor yang menyala, memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan yang menyesakkan. Tesha—atau Zoya, entah siapa dirinya sekarang—berjalan dengan hati berdebar. Ia mencoba untuk tidak terlalu menunjukkan rasa takutnya, tapi hati kecilnya tahu, Veron adalah pria yang bisa membuatnya merasa seperti bukan dirinya lagi.

"Kita mau kemana, Ver?" tanyanya dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha memecah keheningan yang mempengaruhi suasana hati.

Veron menoleh, wajahnya datar, tanpa ekspresi. "Nggak usah banyak bacot bisa? Mending Lo diem sebelum gue bikin Lo nggak bisa ngomong, selamanya," katanya dengan nada datar, namun mengandung ancaman yang jelas.

Tesha menelan ludah. Ia sempat hendak membuka mulut, tapi langsung ingat pada ancaman Veron yang baru saja disampaikan. Ia memutuskan untuk menutup mulut, berusaha untuk tidak memberikan Veron alasan untuk menjadi lebih marah.

"Sialan," Tesha mengumpat dalam hati, berusaha mengontrol ketegangan yang melanda dirinya.

Veron berjalan di depannya, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa khawatir bahwa Tesha mungkin terjatuh atau kehilangan arah. Ia tahu betul bagaimana kekuasaan di tangan seseorang yang tidak ragu menunjukkan otoritasnya.

Tesha menyadari sesuatu yang penting. Ia merogoh sakunya, mencari ponselnya, tapi tak menemukannya. Ia mulai bingung, apakah Veron mengambil ponselnya? Ke mana benda itu pergi?

"Kata Veron jangan banyak bacot kalau nggak mau dibikin diem selamanya. Jadi Tesha nyari hp buat ngetik, tapi hp punya Tesha nggak ada," pikirnya, lalu mendekat pada Veron dengan hati-hati.

"Mau ngapain Lo, Hah?! Pelecehan bangsat!" Veron menepis tangannya yang hendak meraih saku celananya, matanya menyala dengan kemarahan yang tiba-tiba.

Tesha menarik tangannya cepat-cepat, merasa malu sekaligus kesal. "Ngomong!" Veron memerintah dengan nada datar, tapi dalam kata-katanya tersembunyi ancaman yang lebih mendalam.

Tesha menarik napas panjang, mencoba mengendalikan perasaannya. "Kan kata Veron jangan banyak bacot, berarti Lo gak perlu khawatir. Gue cuma nyari hp buat ngetik," jawabnya dengan suara bergetar, tapi masih mencoba bertahan.

"Bangsat, cewek idiot!" Veron mencibir, suaranya penuh ejekan.

Tesha memejamkan mata, menahan amarahnya. Ia merasa dirinya begitu bodoh. "Apa-apaan?! Gue pinter ya!" ucapnya, merasa tak terima dengan penghinaan Veron.

Veron mendengus, "Pinter? Yakin?" Matanya menatap dengan pandangan meremehkan.

Tesha menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan diri. "Yakin lah!" jawabnya dengan lebih yakin, meskipun dalam hatinya ia merasa takut.

Veron tersenyum miring, senyumnya yang lebih mirip sindiran daripada kebahagiaan. "Buktiin, puasin gue kalau bisa," katanya dengan nada mengancam.

Tesha mendelik. "Itu tes kepintaran dari mana!" tanyanya dengan ketus.

Perjalanan mereka berlanjut, semakin jauh memasuki ruang yang terasa lebih menakutkan. Ketika mereka tiba di sebuah ruangan besar yang gelap, Tesha merasa keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

"Ini tempat apa?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar. Tempat itu terasa asing dan menakutkan, jauh dari apa yang ia bayangkan sebelumnya.

"Tempat peristirahatan terakhir Lo," jawab Veron dengan santai, senyumnya yang misterius mengirimkan getaran aneh ke dalam tubuh Tesha.

Tesha tercekat. "H-hah?" Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Apakah Veron sedang bercanda? Atau memang dia sudah gila?

Veron terus melangkah, tidak peduli dengan kebingungannya. "Udah, gak usah banyak tanya. Tugas Lo cuma diem. Gue mau kasih Lo hadiah," katanya dengan nada seperti orang yang sedang memberikan perintah.

"Hadiah?" Tesha bertanya, matanya menelusuri sekeliling. Apa yang dimaksud Veron dengan hadiah? Ia merasa semakin bingung, tetapi entah kenapa, harapan kecil muncul dalam dirinya, mungkin Veron tidak sepenuhnya buruk.

Veron meliriknya, sepertinya terpuaskan dengan rasa penasaran yang terlukis jelas di wajah Tesha. "Look at this, finally I managed to collect the head of your family," katanya dengan nada yang lebih tegang. Ia menunjuk ke sebuah lemari di sudut ruangan, dan Tesha menoleh secara reflek.

Namun begitu ia melihat isinya, tubuhnya kaku. Di dalam lemari itu, berjejer beberapa kepala manusia, dengan mata melotot menatapnya tajam.

"ARGH!!" Tesha berteriak, tubuhnya gemetar hebat, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Dunia seolah berhenti berputar, dan ia merasa dirinya benar-benar terperangkap.

Veron hanya mengangkat bahu, seolah tidak peduli dengan teriakannya. "Gue kira Lo mati," katanya dengan nada yang datar. "Beneran bisu, Heh?" Ia menatapnya dengan senyuman sinis yang semakin membuat Tesha merinding.

Tesha menundukkan kepala, mencoba untuk menenangkan diri, tetapi perasaannya campur aduk. "N-nggak kok, C-cuma gue pusing a-aja," jawabnya dengan suara tercekat, berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan di hadapan Veron.

"Jangan pura-pura sakit," Veron menanggapi dengan cuek. "2 hari yang lalu Lo jatuh dari tangga aja gak papa."

Tesha menelan ludah, merasa terpojok. "Siap-siap, Ada acara keluarga. Lo jangan buat masalah, Atau kepala Lo bakal gabung sama Kepala yang tadi. Understand, My wife?" kata Veron, suaranya mengandung ancaman yang lebih besar dari sebelumnya.

"I-iya," jawab Tesha dengan ragu. Perasaan takut semakin menguasai dirinya.

_____________

Di luar ruangan, ia berjalan menuruni tangga dengan kaki yang gemetar. "Duh, kalau gue bikin salah tanpa sengaja bakal dipenggal juga?" pikirnya, perasaan was-was menggerayangi setiap langkah yang ia ambil.

Tiba-tiba, suara ibu mertuanya memanggil. "Tesha, di mana Veron?" Tanya Estrella, ibu dari Veron, yang tiba-tiba muncul.

"D-dia..." Tesha mencoba menjawab, tetapi merasa bingung, takut salah bicara. Mengingat wanita itu sangat galak padanya tadi.

"Kenapa Ma?" Suara Veron terdengar dari belakang, dan Tesha merasa sedikit lega, meskipun kecemasan tetap meliputi dirinya.

"Kalian cepat lah pergi, Jangan sampai terlambat," kata Estrella dengan nada yang tak bisa ditawar lagi.

"Denger kan? Gak usah lelet!" Veron berujar dengan tegas, melanjutkan perintahnya.

Tesha hanya mengangguk pelan, tidak berani berkata lebih banyak. Semua yang ada di pikirannya adalah menjaga nyawanya tetap utuh.

"Padahal kan yang lama Veron, tapi malah nyalahin gue, tcih!"

______________

Di dalam mobil, suasana menjadi semakin mencekam. Veron berhenti di jembatan yang sunyi, dan Tesha merasa bingung. "Ah!" Tesha terkejut ketika Veron tiba-tiba menarik kasar rambutnya.

"Apa-apaan sih? Lepasin gue, gila!" Tesha berusaha melepaskan diri, namun Veron hanya tertawa.

"Gue ingetin sama Lo, Selama di sana Lo jangan banyak tingkah. Paham? Lo harus paham kalau masih sayang sama nyawa Lo, Pratesha." Veron menegaskan, wajahnya penuh amarah yang hampir membuat Tesha kehilangan akal.

Tesha hanya bisa mengangguk pelan. "I-iya," jawabnya dengan suara hampir tak terdengar, takut kalau Veron tidak puas dan semakin marah.

"Dan jangan coba-coba deketin Eziel, Dia punya gue!" Veron menambahkan, dan membuat Tesha terdiam.

Tesha terperangah. "Veron gay?" pikirnya dalam hati, merasa seolah-olah dunia yang ia kenal tiba-tiba berubah menjadi semakin asing dan membingungkan.

_______________

Next?

Follow for more.

Wife Of The Gay ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang