Luna
Satya mungkin akan membunuh pria itu.
Aku tetap bungkam sementara pria itu—yang kemudian kuketahui bernama Ryan—dan Satya saling membentak, membentak, dan menunjuk satu sama lain. Mereka seperti binatang buas yang dikurung dalam satu kerangkeng dan siap saling bantai. Di saat yang sama, sang istri hanya diam di pojokan sambil memeluk putranya.
Seolah belum cukup, ruangan berukuran sekitar 4x4 meter itu semakin semarak oleh suara petugas keamanan yang berusaha melerai pertengkaran, serta tangisan anak laki-laki berusia sekitar empat tahun.
Yaah … mana mungkin anak itu tidak menangis saat melihat ayahnya dan seorang wanita asing mencak-mencak seperti orang kerasukan reog Ponorogo. Karena berusaha menolong anak itu pula lah aku mendapat masalah ini.
Aku dituduh mau menculik anak itu.
Beberapa menit lalu—yang rasanya seperti satu juta tahun yang lalu, aku keluar dari toilet setelah melakukan apa yang biasa dilakukan seseorang di dalam sana. Yang pasti bukan makan nasi Padang, rujak cingur, tahu petis, apalagi mukbang gulai Melung. (Nasi Padang masih bisa ditemukan di Surabaya, tapi gulai Melung? Mustahil! Jadi … lupakan! Itu membuatku lapar.) Dan enggak pakai acara salah masuk ke toilet cewek. Itu cuma ada di cerita-cerita komedi maksa.
Saat keluar, aku menemukan anak laki-laki itu, tengah berlarian seorang diri. Awalnya aku hanya mengawasi kalau-kalau orang tuanya datang. Namun, setelah beberapa menit tidak ada tanda-tanda keberadaan orang tuanya, aku memutuskan untuk menghampiri anak itu.
"Sayang, Papa sama Mama kamu di mana?" tanyaku. Namun, anak itu hanya berkedip-kedip menatapku dengan mata bulatnya yang membuat dia tampak imut.
Aku menggendong anak itu, berniat untuk menyerahkannya ke bagian informasi supaya pihak mall bisa mengumumkannya. Namun, baru berjalan beberapa meter, tiba-tiba ada yang meneriakiku, kemudian merebut anak itu dengan kasar dariku. Tanpa bertanya lebih dulu, ayah anak itu langsung memukulku. Dan di sinilah kami sekarang.
Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Aku sedang sibuk menghayati denyutan di pipi, rahang, serta mata kiriku setelah dihajar oleh pria itu. Satu lubang hidungku disumbat tisu. Aku merasa seperti maling ayam yang tertangkap dan diamuk massa.
Satya mendelik pada pria itu, kemudian mengibaskan tangan ke arahku. "Lo pikir yang lo lakuin bener? Lo main pukul orang seenaknya tanpa nanya dulu kronologinya gimana. Lo pikir biaya perawatan buat ngilangin semua luka itu murah? Dan … emang tampang dia kayak muka kriminal apa gimana?"
Pria itu balas menatap Satya dengan tatapan tak kalah garang. "Nggak semua yang good looking itu baik, Mbak." Satya berjengit, kuduga dia lupa kalau untuk sementara waktu, dia seorang perempuan. "Banyak kok, orang yang mukanya kayak malaikat tapi kelakuannya kayak dajjal. Dan jelas-jelas dia mau nyulik anak saya. Zaman sekarang orang makin aneh-aneh. Nggak menutup kemungkinan kalau dia predator."
Kalimat terakhir itu bergema di seluruh ruangan. Sekejap, keadaan hening. Bahkan si bayi yang sedang menjerit-jerit pun sempat terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya, Lha, kok, pada diem? sebelum beberapa detik kemudian kembali merengek.
Aku bisa mendengar suara saat rahangku terjatuh ke lantai. Hanya karena aku berusaha mengembalikan seorang anak yang terpisah dari orang tuanya, aku kemudian dituduh dengan keji?
KAMU SEDANG MEMBACA
(S)witch [TAMAT: Open Pre-order]
FantasyLuna hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang datang ke Jogja untuk menghadiri undangan pernikahan temannya tiba-tiba terbangun di dalam tubuh seorang pemuda. Dia adalah Satya, pemuda kaya yang hobinya berleha-leha dan main cewek. Satya datang ke J...