(S)witch 15

82 7 0
                                    


Satya

Aku merengut ke arah Luna yang sedang tidur seperti orang mati. Dia tertidur sejak dua jam lalu sementara aku menyetir. Aku menghabiskan satu termos kopi—yang sengaja kami bawa agar tidak terlalu sering berhenti—untuk menjaga diriku tetap awas.

Setelah kejadian lirik lagu yang bikin canggung itu, Luna sepertinya berusaha bersikap seolah aku tak kasat mata. Dia menyibukkan diri dengan ponselnya, dan tak lama kemudian tertidur—meninggalkanku merana sendirian, hanya ditemani lagu-lagu romantis yang diputar dari ponselnya.

Aku mematikan mesin.

"Bangun, Non. Kita udah sampai."

Butuh usaha lebih untuk membangunkan Luna.

Aku sudah mempertimbangkan untuk menyiram Luna ketika akhirnya dia menggeliat sembari mengerang-erang, lalu menguap dengan cara yang enggak-cewek-banget. "Aku ketiduran berapa lama?" tanyanya sembari mengucek-ngucek matanya.

"Dua jam."

"Waah … lama juga. Maaf, ya. Seharusnya kamu bangunin aku. Minimal aku bisa jadi temen ngobrol, atau bantuin baca peta," Luna berujar.

Aku mencibir. "Enggak perlu repot-repot. Lo pulas banget tidurnya. Nggak tega gue banguninnya."

Andai Luna terjaga pun, aku yakin keadaan justru akan semakin canggung. Kami tak mungkin ngobrol.

"Nggak usah sok sarkas gitu," sungutnya. Menguap lagi.

Aku memutar bola mata, kemudian melepas sabuk pengaman dan melompat turun dari mobil. Luna menyusul turun tak berapa lama kemudian. Cewek itu bersungut-sungut karena harus membawa tas berisi perbekalan kami.

Aku mengedip-ngedip—memasang ekspresi sepolos ular dan mengibaskan bulu mataku yang selentik bulu mata unta, kemudian berusaha menyunggingkan senyum prihatin dan sebisa mungkin untuk terlihat tak enak hati.

"Maaf, ya. Gue nggak bisa bantu. Tahu sendiri, kan? Jalur pendakiannya lumayan jauh. Kan nggak mungkin cewek bawa tas sementara cowoknya cuma bawa badan." Yang—seperti biasa—dijawab Luna dengan dengusan.

Setelah melaporkan pendakian kami ke petugas Pos PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam), mencari pemandu, berdoa dan sedikit melakukan peregangan, pada pukul satu dini hari kami mulai mendaki.

Luna

Untuk sampai ke puncak gunung, kami harus mendaki kurang lebih sejauh tiga kilometer untuk sampai ke lokasi kawah Ijen.

Perjalanan dua kilometer pertama cukup berat karena kami harus melalui jalur pendakian dengan kemiringan 25 sampai 35 derajat. Keadaan jalan yang masih sangat gelap tidak membantu, bahkan meski kami membawa senter. Sementara itu, semakin kami naik, suhu udara semakin merosot.

Satya—tidak seperti biasanya, begitu diam. Hanya suara napas serta langkahnya yang terdengar.

Ketika tiba di Pos Bunder, aku tersengal-sengal dan keringat membuat pakaianku lembap. Betisku menjerit minta istirahat. Di sebelahku, Satya tampak begitu kepayahan.

Pemandu kami mengucapkan kata-kata penyemangat, mengatakan bahwa sebentar lagi kami akan tiba di puncak.

Cuping hidungku mengembang ketika mengendus sesuatu yang mirip kentut, tetapi sejuta kali lipat lebih menyengat. Meski sudah memakai masker, aroma tajam belerang masih cukup untuk menyebabkan pusing dan mual. Satya tampak agak limbung. Entah akibat aroma belerang atau karena lapar, aku tak tahu.

Kami menggigil.

Aku mengeluarkan sarung tangan serta masker dari dalam tas. Dan tentu saja warnanya harus serasi dengan pakaian kami.

"Cuma karena pergi mendaki, bukan berarti gue harus mengorbankan gaya," ujar Satya saat kami berbelanja.

Aku—dalam pakaian serba hitam dari ujung rambut sampai ujung kaki—merasa seperti akan pergi membobol rumah kosong, bukannya mendaki. Sementara Satya dalam balutan warna coklat tua dan krem.

Kami melanjutkan pendakian. Jalur setelah Pos Bunder menjadi lebih mudah. Setelah dua setengah jam mendaki, kami akhirnya tiba di puncak.

Menurut artikel yang kubaca, kawah Ijen berada pada ketinggian 2.386 mdpl dengan kedalaman kawah mencapai 200 meter dan luas 5.466 hektar. Wisatawan diperbolehkan turun meski tidak sampai ke tepi danau, sebab airnya memiliki kadar asam yang tinggi.

Blue Fire hanya ada dua di dunia. Salah satunya di Ijen, dan satunya lagi berada di Islandia.

Baiklah, kita sudahi pembahasan tentang kawah Ijen atau cerita ini akan berubah jadi buku panduan wisata alih-alih novel. Lanjut!

"Turun?" tanyaku beberapa menit kemudian. Satya hanya mengangguk.

Dia kenapa, sih?

Entah ini hanya perasaanku atau memang benar, tetapi Satya menjadi lebih pendiam. Dia tak seceria saat kami di bawah tadi. Padahal dialah yang paling bersemangat untuk perjalanan ini. Aku bertanya-tanya apakah aku melakukan kesalahan tanpa kusadari.

Jalur ke bawah ternyata jauh lebih sulit dan lebih berbahaya. Pemandu menuntun kami menyusuri jalur yang digunakan oleh para penambang belerang. Bahkan Satya yang hampir sepanjang pendakian diam, terus-menerus menggerutu karena kakinya sering kali tergelincir. Kami harus saling berpegangan satu sama lain. Aku sendiri pasti akan mengumpat keras-keras andai tidak teringat bahwa di tempat seperti ini biasanya kita dilarang berbicara kotor. Pemandu kami juga mengingatkan akan hal itu.

Blue Fire itu … api dan warnanya biru. (Maaf kalau terlalu informatif. Aku sedang kelelahan. Mohon pengertiannya sedikit.)

Setelah puas melihat Blue Fire dan mengabadikannya dengan kamera, kami kembali naik—dengan susah payah.

Rasa lelah yang kurasakan terbayarkan dengan pemandangan alam yang luar biasa. Bukan cuma Blue Fire-nya yang memikat. Ketika hari mulai terang, kami bisa melihat keindahan danau kawah  dari atas.

Kami hanya duduk dalam diam, menyaksikan matahari perlahan merangkak naik ke cakrawala.

(S)witch [TAMAT: Open Pre-order]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang