(S)witch 11

63 7 1
                                    

Luna

Persetan dengan Mas Senja, pikirku saat memutuskan untuk tetap pergi ke Banyuwangi kendati waktu yang kumiliki tidak cukup. Yang kupikirkan hanyalah membalas Mas Senja, membuatnya gusar. Namun, sekarang setelah aku bisa berpikir lebih jernih, aku teringat Kala. Bagaimana kalau dia rewel? Siapa yang akan menjaganya setelah mertuaku berangkat ke Solo?

Aku masih enggan membalas pesan Mas Senja. Seharian ini Mas Senja beberapa kali mengirim pesan, bahkan tadi sore dia menelepon, tetapi semuanya kuabaikan. Aku masih kesal padanya. Katakanlah sikapku ini kekanak-kanakan, tapi andai kau berada di posisiku-setelah apa yang kukorbankan selama bertahun-tahun dan tidak dianggap-aku yakin kau akan melakukan hal serupa.

Tapi dalam wujudku saat ini, aku bisa apa? batinku merana. Tidak mungkin aku menyerbu ke rumah, mengaku pada Mas Senja kalau aku ini istrinya. Dia pasti akan langsung mengirimku ke rumah sakit jiwa.

Aku melirik Satya yang sedang menonton film sambil tergelak-gelak dengan enggak cewek banget.

Jam sudah menunjukkan waktu pukul dua dini hari, tetapi bukannya mengantuk, indraku justru semakin awas. Dan bukannya memikirkan alasan yang akan kukatakan pada Mas Senja mengenai tertundanya kepulanganku, aku justru bergabung menonton film dengan Satya.

Sampai malam berakhir dan sang surya mulai beranjak dari peraduan-bahkan sampai akhirnya tertidur, kemudian bangun siang harinya, aku masih belum berniat mengabari suamiku.

Hatiku terbagi. Aku mengkhawatirkan Kala, juga tak ingin Mas Senja menganggapku tidak bertanggung jawab. Namun, di sisi lain-tak seharusnya aku merasakan itu-aku senang karena akhirnya memiliki waktu yang lebih lama untuk istirahat sejenak dari rutinitas pekerjaan rumah tangga yang menjemukan.

"Gue mau keluar," Satya mengumumkan ketika dia keluar dari kamar mandi. Nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. "Buruan siap-siap atau gue tinggal," sambungnya sambil berjalan ke arah lemari.

Di depan lemari, Satya berkacak pinggang. Dia memilih pakaian seolah itu penting-seakan hidup dan matinya bergantung pada apa yang dia kenakan hari itu.

"Buruan, Luna!" serunya dari balik bahu.

Aku mengembuskan napas-kesal. "Mau ngapain, sih?"

Satya berputar menghadapku. Wajahnya memberengut. "Kita baru berangkat ke Banyuwangi ..." cowok itu terdiam sejenak, menghitung menggunakan jemariku yang tampak mungil, "... tiga hari lagi. Terus, lo pikir selama tiga hari kita cuma mau ngabisin waktu di kamar kayak pengantin baru? Nggak kan?"

Aku mengerang. "Keluar sendiri aja, deh. Aku males," tolakku, kemudian menarik selimut sampai menutupi kepala. Badanku ikut sakit seakan digilas serombongan pengunjuk rasa. Mungkin itu salah satu bentuk solidaritas sesama anggota tubuh. Entahlah. Lagi pula, tidak ada concealer yang cukup bagus untuk bisa menyembunyikan lebam di sekitar mataku.

Aku memekik ketika Satya merenggut selimut dariku. Kedua tangannya terlipat di depan dada-atau mungkin di bawah?-menyangga sesuatu yang dulunya milikku. Air menetes-netes dari rambutnya yang masih basah. Matanya menyipit. "Bangun atau gue cium?"

"Nggak mempan. Ini bukan novel Wattpad," dengusku.

"Mau bukti?" tantangnya.

"Makasih, nggak usah repot-repot. Aku nggak berminat ciuman sama diri sendiri."

Satya menelengkan kepala. Entah kepalaku (Satya) memiliki cara lain untuk menyatakan dukungannya, atau memang sudah mulai terganggu, sepertinya aku membayangkan mata pemuda itu berkilat.

"Yakin nggak mau coba? Walaupun secara fisik gue ada dalam wujud lo, tapi gue yakin nggak kehilangan kemampuan cuma karena bertukar tubuh," ujarnya. Cowok itu menjilat bibir, kemudian menggigit bibir bawahnya dengan gestur serta ekspresi menggoda, diikuti kedipan genit yang membuatku ingin menonjok wajah yang dulunya wajahku.

"Jijik!" cetusku seraya membuang muka. Namun, Satya tak menyerah begitu saja.

"Ayo, Lun. Kita ke kebun binatang, yuk? Nemuin saudara lo. Pasti lo kangen udah lama nggak ketemu sama mereka," bujuknya dengan senyum semanis racun.

Aku membalas senyum cowok itu, sama manis dan berbisanya. "Maaf, tapi aku bosen udah dua-tiga hari ini ngeliat binatang terus." Satya mendelik. Aku mengabaikannya. "Gimana kalau kita ke mall aja? Sekalian nyari otak buat kamu."

Satya mengatupkan kedua tangannya dan menepuk sekali. "Oke, kita pergi ke mall. Sekalian gue mau nyari cewek baru," ujar Satya riang.

Aku memelototinya. "Jangan berani-berani," ancamku-yang hanya dijawab dengan seringai oleh Satya.

Dia emang binatang.

Andai ada yang menjual otak atau rasa malu, mungkin aku akan membelikannya untuk Satya. Bukan menggunakan uangku yang tidak seberapa, tentunya.

Aku memakai kacamata-hitam-yang-tidak benar-benar-hitam untuk menutupi memar di mataku. Rasanya agak kurang pas untuk aktivitas di dalam ruangan, tetapi lebih baik daripada memamerkan lingkaran ungu kehitaman di sekitar mataku.

Setelah makan siang dengan makanan sungguhan, Satya menyeretku dari satu toko ke toko lain. Baju lo udah nggak layak pakai, katanya tadi. Butuh pengendalian diri serta keimanan yang kuat untuk tidak mendorongnya sampai jatuh saat di eskalator. Selama beberapa menit sekali-ketika keinginan itu muncul, aku mengingat-ingat tentang azab, siksa kubur, serta api neraka yang menanti jika aku membunuh Satya.

Dia memilih banyak baju, masuk ke ruang pas, kemudian mematutnya di hadapanku-menanyakan pendapatku mengenai pilihannya. Aku bisa merasakan para pramuniaga toko mencuri pandang ke arahku (yang dulunya Satya) sementara aku menunggu cowok itu berganti pakaian untuk yang kesekian kalinya.

"Yang ini gimana?"

Entah sudah berapa kali aku mendengar kalimat itu selama hampir tiga jam terakhir. Aku sedang sibuk bermain Tetris, kemudian mendongak.

Aku ternganga. Mataku terbeliak. Udara seolah tersedot keluar dari paru-paruku.

Satya berdiri di hadapanku mengenakan sebuah gaun hitam pendek. Gaun itu (jika benda kurang bahan yang terbuat dari kain setebal saringan tahu itu bisa disebut gaun) bisa tetap berada di tubuh lamaku berkat tali tipis yang tersampir di kedua bahu-ku. Dia berputar dengan genit, menyebabkan roknya terkembang dan (yang dulunya) pahaku tersingkap. Benda itu bahkan hampir tidak bisa menutupi apa pun.

Tanganku berkedut. Aku menahan diri untuk berlari ke toko sebelah-yang menjual pakaian muslim-mengambil mukena yang dipajang di etalasenya, kemudian membalutkannya ke tubuh lamaku.

Bahkan sebelum menikah pun aku tidak pernah mengenakan pakaian seterbuka itu. (Kecuali pakaian dinas yang biasanya kupakai di depan Mas Senja pada malam-malam tertentu. Kalian pasti tahu, lah. Enggak perlu aku jelaskan lebih rinci). Bisa kubayangkan kini sekujur tubuhku merona.

"Sebegitu terpesonanya lo sama gue?" Suara Satya menyeretku kembali ke realita.

"Ada yang lebih seksi nggak?"

Satya tersenyum lebar. Matanya berbinar jail. Aku tahu dia menangkap sarkasmeku, tetapi memilih untuk mengabaikannya. "Lo suka kan." Bukan pertanyaan. Aku langsung mengetahui pikiran apa yang ada di rongga kepalanya itu. (Karena aku masih meragukan bahwa dia punya otak. Kalaupun ada, mungkin tak lebih besar dari sebutir biji wijen.)

"Ganti." Bersamaan dengan Satya yang berkata pada pramuniaga, "Mbak, aku ambil ini juga, ya."

Ya Allah, pembunuhan nggak sengaja nggak akan masuk neraka kan?

(S)witch [TAMAT: Open Pre-order]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang