B a b 7

7 2 0
                                    

Waktu menunjukan pukul 22.00 saat sif kerja Elma berakhir. Gadis yang selalu berwajah pucat itu tak pernah perlu memakai make-up untuk menjadi cantik, garis wajahnya yang sedikit memiliki sisi timur tengah membuat orang yang menatap matanya bagai doa meneduhkan.

Elma segera menuju loker untuk berganti pakaian dan bergegas pulang. Entah mengapa hari ini perasaannya menjadi sedih, setelah melihat pertemuan Kineta dan Argion yang nampak memburuk ia merasa menjadi sahabat yang tidak berguna. Dan terlebih, dulu Argion sudah memperingatinya untuk tidak memandangnya dengan Argion yang sama.

Elma mengambil handpone kecil yang hanya memiliki fungsi mengirim teks sms dan telepon. Banyak panggilan tak terjawab yang berasal dari adiknya- Elmi.
Keningnya mengerut dan perasaannya semakin cemas tak menentu. Segera ia menghubungi adiknya dan bergegas pergi menuju halte.

"Kak..."jawaban pertama adiknya dengan suara bergetar membuat Elma menghentikan langkahnya.

"dek, ada apa?"tanyanya cemas.

"ibu...ibu pingsan di kamar mandi"jawabnya kembali dengan isak tangis.

"Apa?"

"tadi adek panik, untung ada Mbak Ratih. Jadi adek minta tolong ke mbak Ratih buat bawa ibu ke rumah sakit" Perkataan Elmi membuat kakinya terhenti. Ratih adalah tetangga kontrakan mereka.

Elma merasa dunianya hampir runtuh jika tak kembali mendengar suara Elmi yang memanggilnya cemas "Kak?"

"rumah sakit mana? Kakak kesana sekarang" Elma segera berlari setelah mendengar jawaban adiknya.

Elma menggenggam erat kedua tangannya untuk mencari kekuatan. Keluarganya tidak memiliki siapapun selain dirinya, keluarganya hanya seorang pendatang di kota besar ini jauh dari keluarga ayah dan ibunya.

Ibunya harus bertahan Elma sudah berjuang dan bekerja keras untuk ibu dan adiknya. Ia tidak ingin lagi kehilangan orang yang dicintainya, dulu Ayahnya meninggal saat ia masih duduk di bangku terakhir sekolah menengah pertama. Dan diselama itu, ia mencoba untuk menjadi tulang punggung keluarga karena kondisi ibunya semakin melemah semenjak kehilangan Ayahnya.

Dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya ia jalani, bahkan merelakan diri untuk tak duduk di bangku kuliah. Hingga 3 tahun yang lalu ibunya harus di operasi pemasangan stent jantung, sebab pembuluh darah di jantungnya tersumbat.
Membuat ia terpaksa menjual rumah peninggalan ayahnya yang dibangun dengan susah payah. Dan kini mereka sudah sangat bersyukur hidup di rumah sewa yang meski kecil, cukup nyaman untuk ditinggali. Biaya hidup yang cukup tinggi di Jakarta membuat Elma harus semakin berkerja keras untuk ibu dan adiknya yang kini duduk dibangku SMA.

Bagi Elma mereka bukan beban, tapi kewajiban yang harus dipikulnya sebagai anak dan seorang kakak. Semenjak SMA ia sudah terlalu banyak dikenal dengan gadis part time karena banyaknya pekerjaan buruh yang dikerjakannya. Tak apa ia menikmatinya. Hasil keringatnya memang pantas untuk keluarganya, bukan hal lain.

Sesampainya di rumah sakit, Elma segera berlari menuju ruang IGD. Ibunya masih belum mendapat ruangan hingga masih ditempatkan di unit penanganan darurat.

"Kak El!" Elmi segera menghampiri kakaknya dan memeluknya dengan erat.

Elma mengusap pelan rambut adiknya untuk menenangkan sebelum mendekat ke bed pasien dimana ibunya berbaring. Hatinya menyesak, kesedihan yang sudah pernah dilewatinya bertahun lalu seakan kembali lagi. Kehilangan ayahnya, operasi ibunya dan kini kembali lagi. Seolah belum cukup untuk Elma membenci tempat ini semenjak dulu.

Seseorang menepuk pundak Elma pelan. "dokter tadi sudah bicara dengan mbak" Ratih mengarahkan tatapannya untuk bicara lebih lanjut di luar.

Elma mengangguk lemah sebelum menatap adiknya. "jagain ibu dulu ya dek, kakak mau ngobrol dulu dengan mbak Ratih" Elmi mengangguk patuh akan permintaan kakaknya. Tidak ada orang yang lebih di turutinya selain ibu dan kakaknya.

WE ARE BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang