BAB 2

245 38 0
                                    


Handaru tidak pernah mengetahui kehidupan orang kaya itu seperti apa. Selama ini yang selalu ada di dalam pikirannya ia selalu menganggap bahwa hidup orang kaya itu serba menyenangkan, bergelimangan harta dan selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hidup mereka pasti selalu tentram tanpa harus memikirkan banyak hal yang bisa bikin pusing kepala. Akan tetapi, ketika bertamu ke apartemen milik Jayden. Persepsi-persepsi yang ada di dalam kepalanya seketika berubah. Handaru tidak tahu pasti, tetapi ia dapat menerka. Bahwa, selama ini, Jayden hidup dalam kenestapaan. Tidak perlu dijelaskan, dari sorot mata dan helaan napas yang terus menerus, jelas sekali bahwa pemuda pemilik kulit pucat itu sangat kesepian. Terasa jelas dari suasana apartemen yang tak memiliki aura kehidupan di dalamnya.

"Lo tinggal di sini, sendirian?" tanya Handaru yang sebenarnya sudah mengetahui jawaban apa yang akan dilontarkan Jayden kepadanya. Dia hanya basa basi agar tempat ini tidak terlalu sunyi.

"Memangnya, kenapa?" tanya pemuda itu malah balik bertanya, dan itu sukses membuat Handaru merasa sedikit kelimpungan dibuatnya.

"Gue cuma nanya," balas Handaru mencibir. Basa basi mungkin bukan pilihan yang tepat untuk dilontarkan pada Jayden. Pemuda itu terlalu berterus terang.

"Gua selalu sendirian, bahkan dari gua kecil."

Handaru merasa ragu atas pernyataan Jayden barusan, tetapi di beberapa kasus, memang ada anak yang selalu ditinggalkan oleh orang tuanya. Bahkan sedari mereka kecil. Jadi, pernyataan Jayden tidak sepenuhnya salah, tetapi biarpun begitu, tak dapat dipungkiri bahwa Handaru ingin bertanya mengenai kedua orang tua Jayden. Ke mana mereka pergi?

"Orang tua lo?" tanyanya membuat Jayden tersenyum getir. Apa Handaru salah dalam bertanya?

"Dari gua umur lima tahun, orang tua gua bercerai, dan sekarang mereka udah hidup bahagia dengan keluarga masing-masing."

"Jadi, sebelum segede ini, lo tinggal sama siapa?"

"Oma gua, dia yang ngurus gua hingga segede ini, tapi sekarang beliau udah enggak ada. Meninggal setahun yang lalu."

Handaru pun terdiam, jauh di dalam hatinya, ia turut berduka cita atas kepergian oma Jayden yang mungkin membuat pemuda itu merasa jauh lebih kesepian dari biasanya.

"Biaya kuliah, termasuk apartemen ini, lo yang bayar sendiri? Lo kerja?"

Jayden menggeleng.

"Oma ada ninggalin beberapa uang untuk menunjang kehidupan gua, dan lagian gua masih punya orang tua," katanya membuat Handaru tidak sepenuhnya mengerti. "Setiap bulan gua masih dinafkahin kok sama bokap gua."

"Nyokap lo?"

Jayden mengendikkan bahunya ketika Handaru menanyakan pertanyaan itu padanya. "Udah lama lost contact. Gua gak tau dia ada di mana."

Dan Handaru pun memilih untuk diam. Mungkin hubungan Jayden dengan ibunya memang tidak begitu baik, atau Handaru pun tidak tahu. Dia tak ingin lancang mengulik lebih jauh tentang kehidupan pemuda itu.

••

Sedari tadi, dibandingkan membantu Jayden, peran Handaru tak lebih hanya sebagai teman bicara lelaki itu. Selebihnya, Jayden hanya menyuruh Handaru mengambil ini dan itu untuk menyempurnakan hasil maketnya yang terlihat sangat kacau. Membuat maket itu sangat melelahkan, namun bagi Jayden, membuat maket sudah seperti rutinitas sehari-hari baginya. Kurang tidur, mengonsumsi makanan tidak sehat bukan masalah serius lagi baginya. Dia sudah terbiasa.

"Gue laper," tukas Handaru merebahkan diri di atas karpet berbulu, pemuda itu buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk memesan makanan lewat online. Perutnya sudah keroncongan, dan dia tidak bisa menahan rasa laparnya lebih dari ini.

"Jayden, lo mau makan apa? Biar gue pesenin," katanya tak disahut sama sekali oleh sang empu. Pemuda berkulit pucat tersebut terlalu larut dalam dunianya.

"Pertanyaan gue nggak dijawab. Berhubung gue nggak tau lo sukanya apa, makan aja apa yang gue beli. Nanti kalau makanannya udah sampai jangan protes," balas Handaru agak sedikit jengkel, tetapi Jayden tetap saja tak merespon ucapannya.

"Lo nggak laper apa?" tanya Handaru sekali, masih berusaha mendapat respon dari Jayden. Dan untungnya, pada percobaan ketiga ini ia berhasil. Jayden mengangkat kepalanya dan kini beralih menatap netra pekat milih Handaru.

"Tadi lu ngomong apa?"

"Ga jadi."

Dan Jayden pun hanya menganggukkan kepalanya. Tak mau repot-repot memaksa Handaru mengulang ucapannya barusan.

Beberapa menit pun berlalu, makanan pesanan Handaru sudah datang, dan pemuda itu buru-buru menjemput makanannya ke bawah.

Jayden yang melihat Handaru kembali dengan beberapa tentengan di tangannya mengkerutkan dahi. Kapan anak itu memesan semuanya?

"Itu apa?"

"Makanan, gue nggak tau lo sukanya apa. Jadi makan aja apa yang gue beli, oke?" tanya Handaru sedikit agak was was. Takutnya Jayden emang beneran nggak suka. Secara kan, dia orang kaya. Selera mereka berdua pasti berbeda, kan?

Lantaran bingung harus menjawab apa, Jayden pun mengangguk, tidak berani potes. Soalnya, saat mengatakan itu, raut Handaru kayak orang lagi marah. Ia pun terpaksa mengambil satu bungkusan yang ia yakini memang diperuntukkan untuknya.

••

Pukul delapan malam, akhirnya Handaru diperbolehkan pulang oleh Jayden. Maket milik Jayden tidak sepenuhnya selesai hari ini, tetapi pemuda itu katanya akan melanjutkannya malam ini, dan Handaru hanya mengangguk saja karena toh, itu bukan tugas dia. Walaupun pemuda itu merasa sedikit tak enak, sih, tapi tetap saja Handaru tidak bisa menginap di sana. Mengingat rumor tentang Jayden yang beterbangan di kampus, dia takut kena getahnya. Bagaimana kalau tiba-tiba keesokan pagi saat menginjakkan kaki di kampus, tersiar gosip bahwa Handaru tidur bareng Jayden?

Baru saja Handaru hendak menuju ke parkiran khusus motor, seorang Perempuan tiba-tiba muncul dan mencengkram tangan Handaru dengan begitu erat, begitu mengetahui bahwa Handaru yang merupakan pacarnya datang ke apartemen Jayden, Bella langsung memesan taksi ke sini. Begitu melirik Jayden yang berdiri di sebelah Handaru, Bella langsung melayangkan tatapan tidak suka pada Jayden.

"Kamu kenapa nggak bilang kalau orang yang mau kamu temui itu dia?" bisik Bella yang sebenarnya masih kedengeren oleh Jayden, tetapi pemuda itu memutuskan untuk diam saja. Dia tahu, Bella--perempuan itu sengaja melakukannya.

"Aku juga baru tau pas di kampus tadi," balas Handaru ikutan berbisik.

Merasa kehadirannya tidak terlalu dibutuhkan. Jayden berdehem cukup keras membuat dua sejoli itu menoleh ke arahnya.

"Gua pamit dulu. Masih ada dua hari lagi asal lu tau," katanya beranjak dari sana.

Setelah kepergian Jayden, Bella buru-buru menarik Handaru menuju parkiran dengan sedikit tergesa. "Pokoknya kamu nggak boleh lagi ketemu sama dia atau kita putus."

"Bi, aku masih harus ketemu dia dua hari lagi," balas Handaru mendadak frustasi. Pasalnya, dia tak bisa lepas tanggung jawab begitu saja setelah apa yang diperbuatnya.

"Oke, dua hari lagi. Setelah itu jangan pernah berhubungan sama dia lagi."

"Oke," balas Handaru mengangguk.

Dan Suatu HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang