TW / Missgendering, BxB.
"Bunda, Bunda!" Panggil Jaeyun pada ibunya yang tengah sibuk dengan masakan di dapur.
"Apa sih, dek? Bunda lagi masak ini." Balas Taeyong tanpa mengalihkan pandangannya dari masakan.
"Hari ini aku ujian praktek, doain aku yang terbaik ya Bun biar nilaiku bagus."
Taeyong mematikan kompor, berjalan ke arah putra bungsunya. "Semangat ya Jaeyun, semoga nilainya bagus! Pokoknya Bunda percaya kamu pasti bisa." Ucapnya sembari mengusap rambut halus sang putra.
Jaeyun tersenyum senang. "Terimakasih Bundaku tercinta!"
"DEK AYO BERANGKAT." Teriak Jeno dari luar rumah.
"Jaeyun berangkat dulu ya, Bunda."
"Iya, hati-hati di jalan."
Jaeyun tertawa kecil ketika merasa ingat satu lagu yang sedang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini.
2 tahun telah berlalu semenjak perceraian Ayah dan Bunda. Mereka berlima tinggal di rumah baru sekarang, tapi masih di Semarang sih. Di sebuah rumah sederhana namun cukup besar, rumah pemberian Kakek Yunho.
Sebetulnya Bunda sempat menyarankan untuk pindah kota saja, tapi mengingat bahwa anak-anaknya bersekolah di Semarang, ia urungkan niatnya.
Perpisahan Ayah Bunda tidak lantas membuat ia dan kakak-kakak kehilangan cita-cita mereka.
Bahkan sekarang Bunda yang menjadi tulang punggung keluarga. Ayah juga masih sering mengirimi uang lewat rekeningnya, mungkin juga kakak yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa Ayah juga masih bertanggungjawab atas mereka berempat. Walaupun sampai sekarang rasa kesal masih ada untuk Ayah, Jaeyun tidak bisa berbohong jika kadangkala ia merindukan sosok itu.
Dia juga rindu suasana hangat ketika di meja makan, suasana ramai ketika tahun baru atau lebaran, dia rindu peluk Ayah setelah pulang kerja dari luar kota. Tapi rasa itu ia tahan dalam-dalam dan berusaha lupakan.
"Mikirin apa?" Tanya Jeno di kursi kemudi, melihat adiknya memandang jendela dengan pandangan kosong membuatnya gelisah. Sampai sekarang, Jaeyun masih menjadi prioritasnya.
Jaeyun menggeleng pelan, menyandarkan punggungnya pada kursi penumpang. "Kak, pernah gak sih kangen sama orang sampe rasanya sakit banget disini?" Tanya Jaeyun sambil menepuk dadanya.
"Kamu kangen Ayah?" Tanya Jeno.
Skakmat. Jaeyun tidak bisa mengatakan 'iya' ataupun 'tidak'.
Jeno tersenyum kecil. "Kalo kangen Ayah gapapa, telpon aja."
"Aku gak enak, kalo mau telpon Ayah kaya harus nunggu Ayah dulu yang telpon. Mau chat juga harus nunggu Ayah dulu yang chat. Apalagi sekarang Ayah udah punya keluarga baru." Balas Jaeyun lirih.
Jeno menepikan mobil hitamnya. Melepas sabuk pengaman yang menghalangi pergerakannya untuk mendekati sang adik. "It's okay. Kamu masih ada hak buat telpon Ayah, ngerti? Atau, kamu bisa minta tolong sama Kak Mark, Kak Sungchan, Kakak juga boleh buat telponin Ayah." Ucap Jeno, pemuda itu meraih tubuh adiknya untuk dia peluk.
Jaeyun terdiam. Tidak. Dia tahu ucapan Jeno hanyalah kebohongan. Kakaknya itu tidak pernah baik-baik saja ketika pembahasan tentang Ayah disinggung. Jeno bahkan tidak pernah menelpon Ayahnya. Dan Jaeyun tahu kalau Kak Jeno lebih sensitif dibanding dirinya ketika itu menyangkut tentang Ayah.
Jeno hanya berpura-pura kuat. Tapi dia tidak pernah sekuat itu.
"Makasih." Ucap Jaeyun pada akhirnya.
•••
2 tahun ini Taeyong sibuk dengan pekerjaannya, apalagi ia mulai menambah cabang butiknya di dua kota lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Punakawan II : Search For Happiness
Fanfiction[ON GOING] Cerita kelanjutan dan menjadi akhir perjalanan Punakawan. Sebut saja babak terakhir ini adalah mencari bahagia untuk sang bunda. [⚠] BxB, Missgendering, Harsh words, Semi-baku.