[6] Keluarga

686 124 23
                                    

Sebagai anak satu-satunya, Inka merasa segala beban keluarga ditaruh pada pundaknya.

Ayah sejak dulu bekerja di luar kota, jadi hanya sesekali pulang ke Bandung untuk bertemu dia dan Bunda. Mungkin dalam satu bulan hanya dua sampai tiga kali, seringnya di hari Sabtu dan Minggu. Pekerjaannya menuntut Ayah harus pindah-pindah kota sementara Bunda berpendapat bahwa pendidikan Inka sudah cukup baik di Bandung sehingga Bunda memutuskan untuk menemani Inka dan tak ikut Ayah pergi.

Bunda dan Nirianika adalah dua orang yang bertolak belakang. Bunda tidak suka bicara sementara Inka suka bersuara. Sehingga di rumah, Inka tak punya banyak kesempatan untuk didengar. Bunda cenderung tegas dan terstruktur, sementara Inka lebih suka mengerjakan sesuatu secara spontan. Bunda tidak suka gagal dan sayangnya, Inka kerap kali ditemui gagal.

"Ka, kenapa ulangan Kimia bisa 30 begini?"

Waktu itu, Bunda memegang kertas ulangannya dengan gurat wajah keras. Inka menunduk. Ayah masih dalam perjalanan dinas di Surabaya sehingga tidak dapat ikut andil dalam persidangan kecil sekarang. Anak perempuan berusia 15 tahun itu sebenarnya ingin menjawab dengan, "Karena aku lebih suka ada di kelas IPS dibanding di IPA, tapi Bunda selalu maksa supaya aku masuk IPA karena katanya peluang kerjanya lebih luas!"

Tapi Inka hanya menunduk. Lebih suka menatap sepatu hitamnya yang kotor bekas percikan genangan air sore tadi. Berusaha menuli pada pertanyaan Bunda yang membuatnya ketakutan untuk menjawab—karena segala hal yang keluar dari mulutnya akan selalu salah.

"Inka ngerssa nggak kalau Inka lebih banyak main ketimbang belajar?"

Mau tak mau, Inka mengangguk.

"Jadi?"

"...."

"Inka?"

"Ya."

"Jadi?"

"Jam tambahan les di hari Sabtu dan Minggu," ujarnya tak ikhlas yang disambut anggukan puas oleh Bunda.

Kapan, ya, orang tua mau berusaha mengerti anaknya secara utuh?

Bukan, Inka tidak membenci orang tuanya. Dia tidak benci pulang ke rumah, pun, dia masih menyayangi kedua orang tuanya. Meski tak punya banyak kesamaan, Bunda terkadang masih dapat menempatkan dirinya untuk Inka. Hubungan mereka dekat, tapi juga tak dekat.

Sebagai manusia, Inka juga punya limit mengeni sesuatu. Dia punya tendensi untuk menolelir aturan Bunda, seperti wajib pulang ke rumah sebelum jam 18.00 atau harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Bunda sangat membenci kegagalan sehingga Inka pernah mengajukan sebuah pertanyaan;

"Kenapa manusia tidak boleh gagal?"

Bunda, yang awalnya menggulir berita di layar tablet, lantas menatap anak sulungnya. Membenarkan posisi kaca mata sebelum bersuara, "Bukan nggak boleh, tapi sebisa mungkin jangan."

"Kenapa?"

Bunda tampak tak ingin menjawab sementara tatapan Inka justru menuntut agar pertanyaannya segera dibubuhi jawaban.

"Supaya enggak diremehin orang, supaya enggak ada di posisi terakhir yang artinya enggak punya nilai. Kalau gagal, semua orang akan lihat kamu dengan pandangan sebelah mata karena kamu hanya orang kecil. Manusia harus bisa pegang kendali atas apa yang mereka kerjakan. Selalu berusaha di atas, Ka. Di posisi bawah enggak menyenangkan, kamu perlu tahu itu."

Sayangnya, Bunda lupa bahwa di dunia ini ada banyak sekali hal yang tidak dapat manusia kontrol bagaimana keberlangsungannya. Tangan manusia, terlalu kecil untuk dapat menata segala alur kejadian di muka bumi.

Kaki BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang