Prolog

31 9 23
                                    

Pagi itu kegaduhan terjadi lagi di SMA Tri Satya. Suasana menegangkan sekaligus mengejutkan kembali hadir menuai banyak tanya. Sekerumun murid berbondong-bondong memenuhi koridor tempat berdirinya white board berisi mading sekolah dengan beragam informasi di dalamnya.

Kali ini kertas di mading bertuliskan berita terbaru dari salah satu murid di sekolah itu menjadi pusat tontonan para murid. Tak tertinggal pula sebuah foto seorang siswi tertempel dengan deretan kalimat yang tertulis.

Desas-desus dan berbagai perdebatan tak dapat terelakkan. Perbincangan kasus kematian misterius di ruang musik  menjadi sarapan hangat untuk yang ketiga kalinya dalam kurun waktu satu bulan ini.

"Oh, God! Padahal, besok dia harus tampil di audisi solo song tingkat nasional."

"Gue bener-bener nggak nyangka, dia juga harus jadi salah satu korbannya."

"In my opinion, ada yang nggak beres di sekolah ini."

Bisik-bisik samar memenuhi setiap gendang telinga penghuni sekolah. Fakta tak mengenakan itu dengan cepat menyebar ke berbagai khalayak termasuk juga salah satu murid famous di SMA Tri Satya, Panthera Tigris.

Tigris mendesah panjang. Tak acuh melewati koridor yang ramai. Sesuatu terasa mengganjal pikirannya. Terus melangkah, diiringi netranya menyapu ke segala arah. Tujuannya adalah mencari seseorang yang harus ditemuinya. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel pelajaran pertama dimulai.

Sampai tiba di ruang OSIS, orang yang dicarinya tidak ada di sana. Ia membalikkan langkah, menjelajah setiap sudut sekolah. Langkahnya terhenti usai menangkap sosok cewek berparas oriental tengah duduk di salah satu tribun olahraga. Tergambar jelas raut duka di wajah cewek itu. Tangannya memangku selembar kertas, disusul dengan bulir-bulir tangis yang mulai tumpah.

"Gue paling nggak suka liat lo nangis, Cempaka." Tigris bergumam lirih.

Saat hendak mendekat ke arah Cempaka, Leon telah lebih dulu menghampiri cewek itu seraya menyodorkan sebotol minuman. Tigris menjeda kakinya. Posisinya kini tepat dua undakan di belakang mereka.

Entah mengapa dirinya kini seperti orang bodoh. Berdiri mematung membiarkan Cempaka menyandarkan kepala di pundak seorang cowok yang menjadi saingan beratnya.  Nama Michellia Alba, yang seantero SMA Tri Satya dikenal sebagai 'Cempaka' itu telah bertengger di hati Tigris sejak setahun terakhir.

"Gue kangen lo, Ze." Suara Cempaka mengudara dengan isak tangisnya.

Sementara itu Leon melingkarkan lengannya di kepala Cempaka. Sesekali mengusap lembut pucuk kepala cewek itu. Seolah mengerti kesedihan yang dirasakannya setelah kepergian sahabat terbaiknya.

"Semua bakal baik-baik aja, ada gue yang selalu nemenin lo di sini," bisik Leon mencoba menenangkan, lantas  mengusap cairan hangat di pipi Cempaka.

Tanpa mereka sadari, ada satu manusia di belakang mereka yang menyaksikan adegan klise layaknya drama romansa itu. Seutas seringai tersemat di bibir Tigris. Pergi dari sana adalah jalan terbaik dari pada hatinya harus sesak menahan cemburu.

Tigris membuang napas kasar. Melenggang kesal dari sana hingga tiba di salah satu lorong berhawa dingin. Ada sesuatu yang mengundang pandangannya. Penglihatannya mendapati cewek berambut sebahu dengan seragam yang sama seperti siswi di sekolah itu. Kemeja putih lengan pendek dipadukan dengan rok silver lipit tartan, serta dipermanis dengan dasi berbentuk pita warna senada, juga sebuah name tag tersemat di dada sebelah kanan bertuliskan Jasmina Edelweiss.

Voice; Song of The Curse [#NumiEuE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang