3

1 0 0
                                    

“Kamu datang dari tartarus, kan?.” 

    Di tempat duduk studio foto itu, ia dan laki-laki itu duduk. Laki-laki itu membawakan baju untuk Kala kenakan, namun Kala masih kebingungan. Usainya ganti baju dan beberes tubuh, Kala kembali duduk di kursi yang ia duduki tadi. Laki-laki itu masih sibuk dengan kamera-kameranya yang ia lap hingga kinclong. “Tartarus?,” ucap Kala membuka percakapan. Laki-laki itu menoleh kepadanya, “Tempat kamu sebelum kesini,” jawabnya. “Kenapa kamu kembali?,” lanjut laki-laki itu. “Karena saya gak mau di sana, mangkannya saya harus perbaiki sebelumnya.”

    Perempuan itu sudah ada di jalanan, berjalan kesana-kesini. Lalu tiba laki-laki yang mirip dengan lelaki yang ia cintai, berpapasan dua detik yang lalu. Bibirnya kalap, ia memanggil laki-laki itu dengan cepat. Laki-laki itu menoleh ke arahnya, berbalik badan, dan benar itu Deka. “Kala,” ucapnya sambil tersenyum. Laki-laki ini mengenalinya, buru-buru ia memeluknya. Saat banyak sekali hal yang tidak bisa terselesaikan, baiknya Tuhan mengirim satu persen dari dirinya sebagai berkat. “Kamu kenapa, kamu gak pernah seperti ini,” ucapnya sambil memelukku erat-erat. “Aku akan meninggal di usia 21 tahun, dan aku nggak bisa ngungkapin perasaanku ke kamu, saat aku sudah nggak ada, aku menyesal karena gak pernah bisa ngungkapin itu ke kamu.” Ucapku membuatnya kebingungan. “Kamu gak akan percaya sama aku, tapi aku gak bohong, aku jujur. Aku mungkin akan pindah ke waktu yang lain, dan gak akan ketemu lagi sama kamu yang sekarang, aku sayang banget sama kamu, aku akan ngerubah nasibku, kalau misalnya aku gagal, kamu jangan pernah nyerah sama hidup ini, ya,” lanjutku sembari menatap lekat matanya.

    Terlihat mata laki-laki itu kebingungan bukan main, Kala datang saat dirinya di bangku perkuliahan, teringat saat mereka bertemu di persimpangan jalan menuju ke tempat mereka bekerja, di sebuah restoran. Dari belakang badan kekarnya, Kala melihat dirinya berjalan sambil tersenyum, “Sebentar lagi kamu akan bertemu denganku di masa ini, simpan pertanyaanmu untukku, semoga kali ini Tuhan berbaik hati kepadaku, semoga ada takdir baik untuk aku dan kamu, semoga kita bertemu lagi,” ucap Kala dengan terburu-buru. “Deka!.” Sontak laki-laki itu menoleh ke belakang panggungnya, menyerngit kebingungan dan melihat sekeliling mencari Kala yang tadi berbicara dengannya mengenai hal-hal bodoh dan tidak masuk akal. “Kok,” ucapnya kebingungan.” “Kenapa?. Kamu kok gak langsung masuk ke resto, kok masih di sini?,” tanya Kala dari masa ini. “Barusan aku ngobrol sama kamu, La,” ucapnya sambil terus berpikir. “Kan aku baru datang,” jawab Kala meyakinkan. “Kamu halusinasi kali, udah yuk masuk, kamu butuh air putih.”

    Dari jauh Kala yang lain memperhatikan hidupnya yang sudah ia jalani namun ia tidak mampu bersyukur. Dalam hidup kadang rejeki dari Tuhan bentuknya beragam, mungkin bukan harta yang melulu jadi rejeki, tapi hal-hal yang lebih berharga lainnya contohnya teman, hidup sehat, dan senyum yang ikhlas. Tangannya yang selalu mengepal ketika sedihnya tiba, namun ia diberikan rezeki oleh Tuhan dengan didatangkannya laki-laki baik yang mampu melepas kepalan tangannya dengan pelukan hangat. Air matanya susah payah ia sembunyikan dari hidup kalutnya, namun Tuhan berikan ia rejeki berupa badai masalah agar ia bisa menangis sepuasnya. Kadang hal-hal yang menurutmu sepele, menjadi luar biasa untuk orang yang membutuhkannya.

    Tangisnya pecah pada langit-langit ketegarannya, ia tersungkur di bebatuan kecil yang disusun rapi berdekatan dengan taman bermain anak. Ia bersusah payah memegang janjinya kepada mendiang ibunya agar tidak menangis meskipun keadaan buruk sekalipun, bukankah manusia punya kotak kesabarannya sendiri? Bukannya rasa sabarnya manusia punya limit? Bukannya manusia butuh menangis agar hatinya tetap tegar?. Tangisnya terus mengalir dari mata indah itu, ia mengepalkan tangan dan menepuk-nepuk dadanya, setelah itu ia mengelus rambut hitam tebalnya sambil berkata, “Kamu sudah melakukan yang terbaik.”

    Pikirannya menuju masa lalu saat ia ada di rumah sakit, berdua dengan pria yang tidak sempat ia panggil ayah. Saat pria itu tidak tahu bahwa ada darah daging yang lain, darah daging yang tidak pernah ia sebut dalam doanya, darah daging yang tidak pernah terpikirkan olehnya, darah daging yang kesakitan tiap malam, darah daging yang bahkan saat ulang tahun hanya dirayakan sendirian sambil menangis di jam 12 malam, tidakkah bodoh di nafas terakhir yang diucapkan hanyalah, “Terima kasih, Yah.” Kalimat serapah sudah ada di dalam kepala untuk dikeluarkan ketika ayahnya tiba di depan matanya, namun lidahnya tak mampu menjangkau itu. Saat ia lihat laki-laki itu, hanya bahagia yang ia pikirkan. Bahagia yang tidak terkirakan jumlahnya, bahagia yang mampu menghapus semua derita yang terlalui sendirian, bahagia ketika wisuda bisa foto berdua bersama sosok keluarga terakhir.

    Tuhan takdirkan hidup yang sulit agar makhluknya bisa berjuang dan bersyukur. Tuhan berikan bahagia sebagai hadiah dari perjuangannya. Tuhan berikan derita sebagai upaya untuk naik kelasnya. Tapi kenapa hidup perempuan itu hanya derita yang berkepanjangan. Bagaikan kemarau di tengah padang pasir, manusia meminta-minta hujan, namun Tuhan tutup telinga. “Tuhan, berikan aku hidup yang bahagia, sebentar saja, agar diriku ini tidak hanya bertopeng depan orang banyak. Hidup seperti itu melelahkan, Tuhan. Sebenarnya bagaimana caranya agar takdir bisa berubah. Apakah takdirku harus di berakhir dan tinggal di tempat yang tidak semestinya itu?.” 

    Tangan hangat di pundaknya, cepat-cepat ia menghapus tangisnya, ia sembunyikan isaknya. Ia melihat ke arah datang kehangatan itu. sumbernya masih sama yaitu laki-laki itu, Deka. “Kamu kenapa, La?,” tanyanya. Suara yang ia rindukan, suara indah milik laki-laki itu ketika ia mendapati Kala sedang terdiam dan terlibat suatu masalah yang sulit untuk dipecahkan sendirian. “Aku gak mau kamu sekarang sedih dan nangis kaya gini. Aku gak bisa percaya sama hal-hal yang kamu bilang tadi, tapi hatiku memaksa untuk percaya,” lanjutnya. “Kamu tertarik sama aku dari kamu masih di sekolah menengah pertama,” ucapku meyakinkannya. “Kok kamu tahu?,” tanyanya terus kebingungan. Kala di masa ini tidak tahu bahwa ada orang yang tertarik dengannya saat ia masih duduk di bangku sekolah. “Aku tahu karena aku sudah melewati masa itu. Aku ketemu sama kamu saat kamu duduk memandangiku dari kejauhan.”

    Mata itu tetap terfokuskan pada suatu mata yang setiap hari ia lihat, mata penuh ikhlas yang tidak mampu ia dapatkan meskipun sudah bersandar ke semua pelabuhan, berjalan ke semua tempat, mata indah milik Kala. Laki-laki itu masih tidak percaya dengan apa yang Kala ceritakan. Semua yang Kala temui tentang laki-laki itu, ia dengarkan, namun untuk percaya ia masih belum sanggup. Kadang pikiran dan logika akan saling memulai pertengkaran dengan hati. Ada rasa nyaman bersama perempuan aneh yang mirip dengan Kala, yang biasanya ia temui, namun logikanya selalu berkata bahwa perempuan itu hanya mengada-ngada. Tapi mana mungkin perempuan ini sangatlah mirip dengan Kala yang selalu ia temui.

    “Kamu kenapa ada di sini?,” tanya Deka kepada Kala yang sedang makan roti, karena sedari tadi cacing di perut Kala melakukan demonstrasi. “Aku butuh tempat tinggal, aku akan ceritakan semuanya nanti,” jawab Kala sambil mengunyah makanan. Kebiasaan itu dirasakan oleh laki-laki itu, “Apa kamu memang Kala?.” Kala menyeret tangan laki-laki itu menuju pohon di belakang kursi yang mereka duduki, Deka semakin kebingungan dan memberontak dari seretan tangan perempuan itu. “Apa, sih?!,” ucapnya sambil mengeluarkan ekspresi wajah marah dan memerah. “Deka, aku beneran Kala, aku di sini bukan cuma buat main-main dan ngebohongin kamu. Aku gak pengen aku hidup berantakan dan akhirnya aku ada ditempat yang gak semestinya aku tempati. Kalau aku bisa ngewujudin itu, kamu juga gak akan tinggal di sana,” ucap Kala menjelaskan hal-hal yang Deka tidak percaya.

    “Aku harus pergi,” lanjut Kala sambil menggenggam jari kelingking Deka. Kala berlari menuju laki-laki bersetelan cokelat dilengkapi dengan jas berwarna biru dongker, langkah tegasnya membuat Kala kewalahan menyusul punggungnya. “KALA!.” Truk besar berlari kearah perempuan itu, tiga detik lagi perempuan itu akan tewas berlumuran darah. Teriakan manusia di sudut dan pinggiran jalan raya menyuruh minggir dan segera berlari, bunyi klakson itu membuat tubuhnya gemetaran, sementara mulutnya berteriak, “AYAH!!,” dengan lirih ia lanjutkan, “Ini Kala, anak ayah.” Dari belakang malaikat datang menjemputnya, membuat hal-hal yang ia pikirkan tadi menjadi abu dalam satu detik. Tubuhnya lemas, bibirnya membiru, cepat-cepat manusia baik memberinya air putih. Sesudahnya, ia membuka mata menyaksikan langit yang masih tertata rapi bersama awan-awan putih. Suara orang-orang disekitarnya membungkam pikirnya. Kala didudukkan di kursi halte, laki-laki itu ada di depan mata Kala, “Apa yang kamu kejar sampai kamu gak lihat ada truk yang hampir merenggut nyawamu,” ucap Deka yang menyelamatkan Kala dari kejadian tadi. “Aku sudah gak bernyawa dari lama,” ucap Kala ngelantur dan membuat semua orang beristighfar dan menyuruhnya meminum sebotol air lagi.

TARTARUS | Perjalanan Menembus WaktuWhere stories live. Discover now