5

0 0 0
                                    

     “Ada tempat yang menakutkan, yang gak bisa kamu percaya. Panas, sesak, sampai tubuhmu gak bisa lagi ngerasain apa-apa. Tempat yang dilaknat semua orang, tempat yang ketika kamu lihat di genangan air, bayangannya adalah kesalahanmu yang terdahulu. Semua orang berbondong-bondong untuk pergi ke tartarus, karena mereka gak mau ada di tempat itu. Tartarus adalah tempat mereka untuk mengubah nasib mereka, agar nanti pada akhirnya mereka gak kembali lagi ke tempat itu,” lanjut Kala menjelaskan hal-hal yang sulit dipercaya laki-laki itu. “Lalu kamu bisa tahu apa yang akan terjadi sama Kala?,” tanya laki-laki itu. “Iya, karena aku Kala,” jawab Kala terisak, di bola matanya terdapat kekacauan yang sedemikian besar menggunung sudah rasa sakitnya.

    Perempuan itu mengingat tiap kali dirinya berjalan memasuki restoran tempat kerjanya, sesudahnya ia kuliah derap kakinya menuju ke restoran itu, sesampainya disana ia langsung merapikan meja kursi tempat pelanggan duduk untuk menikmati hidangan dilanjut dengan mengepel lantai dan menyapu debu-debu halus. Setelah itu ia menuju ke tempat masak, ia rapikan semua keperluan memasak. Tak lama pemilik restoran datang, Pak Amir yang baik sekali berusaha membantu perempuan itu meskipun ia sedang berkuliah dan di restoran ini tidak diizinkan untuk paruh waktu. Ia tersenyum lebar kepada perempuan itu, “Kok sudah di sini, kan belum waktunya kerja.” Kala berusaha meringankan beban pekerja yang lain dan Pak Amir dengan datang sebelum waktu kerja yang ditentukan, bukan mencari muka, tapi apa yang perempuan itu terima sebagai buah hasil kerja kerasnya tidak sepadan dengan apa yang ia lakukan.

    Pak Amir pernah bercerita kepada perempuan itu, bahwa anak semata wayangnya yang berusia sama seperti dirinya meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Tidak lama setelah anaknya, istrinya pun meninggalkannya selama-lamanya. Hampir bisnisnya tidak terurus karena kesedihan dan berlarut-larut dan cobaan yang tiada henti-hentinya. Akhirnya Pak Amir berusaha bangkit untuk meneruskan usaha yang ia jalankan bersama mendiang istrinya. “Badai dan topan bisa datang kapan saja, tergantung bagaimana kita berusaha menahannya.”  Setelah mengatakan itu kepada pegawainya, datanglah perempuan dengan kaos berkerah dengan celana hitam yang sudah lusuh, sepatunya pun penuh kotoran dan jahitan di sepanjang mata memandang seperti seorang perempuan yang meminta sumbangan, dengan nada halus Pak Amir menyuruhnya masuk ke dalam restorannya dan memberinya makan namun ia menolak, tiba-tiba ia mengulurkan tangan berisi map warna hijau dengan senyum tulus yang ia miliki, “Saya lihat di depan ada pengumuman bahwa di sini membutuhkan karyawan, saya berniat mengajukan diri menjadi karyawan, Pak, apapun pekerjaannya akan saya terima.” Lalu Pak Amir menanyakan umur dan pendidikan terakhir serta apa yang sedang ia lakukan sekarang. Mendengar ia sedang berkuliah, awalnya Pak Amir tidak menerima perempuan itu bekerja di restoran miliknya namun ketika perempuan itu menceritakan tentang kalut kabut hidupnya, hati kecil Pak Amir merasakan kesedihan yang cukup mendalam, akhirnya perempuan itu bekerja di hari selanjutnya.

    Hari-hari penuh kesibukan membuat perempuan itu cukup tertutup dengan teman-teman sebayanya. Teman-temannya yang sedang hidup bersenang-senang, memikirkan tugas yang diberikan dosen dan tidak lupa untuk mengeluh karena salah jurusan, tidak dengan perempuan itu. Ia penuh rasa bersyukur meskipun ada serapah yang ia pendam dalam-dalam di dasar hatinya. Sembari ia mencuci piring bekas makanan pelanggan, lauk yang tidak habis ia sembunyikan di plastik lalu ia kantongi untuk dimakan sesampainya di rumah. Saat tidak ada yang ia bawa untuk makan di rumahnya, ia hanya memasak nasi dari beras yang tetangga berikan tanpa lauk, kadang hanya garam dan kerupuk. Hidup penuh kepedihan yang memaksa perempuan itu untuk hidup sendiri dan tidak bergantung dengan orang lain. mungkin itulah yang membuat nyawanya terenggut di usianya yang ke-21 tahun, karena gizi buruk.

     “Kamu udah makan?,” tanya Deka membuka lamunan perempuan itu. Sontak perempuan itu menoleh ke arahnya, dengan tersenyum ia menghela nafas berat. “Belum,” jawab perempuan itu sambil tersenyum menjengkelkan. Laki-laki itu menggandeng tangannya dan mengajaknya pergi dari rumah sakit itu. Ia tahu bahwa rumah sakit adalah tempat terburuk yang pernah perempuan itu datangi, karena di sanalah ia pergi untuk selama-lamanya meninggalkan hal-hal yang berharga dan pergi ke angkasa bersama hujan dan kemarau.

    Mereka berhenti di warung pinggir jalan tempat mereka makan ketika perempuan itu mendapatkan uang beasiswa. Kala orang yang sangat irit dan memikirkan jalan kedepannya, ia hanya makan di warung ini sebulan sekali ditemani Deka. Laki-laki itu memesan dua porsi ayam geprek kesukaan Kala dan dua gelas teh hangat. Sembari menunggu ibu penjual mengantarkan pesanannya, mereka hanya berdiam menikmati bising kota dan terik bagaskara siang ini. Tiba-tiba pertanyaan muncul dari mulut laki-laki itu, “Kamu mau minta bantuan apa?.” Perempuan itu menoleh ke arah Deka, “Aku pengen ketemu sama Kala,” jawabnya. Ada ketakutan dalam diri laki-laki itu setelah perempuan itu menjawab pertanyaannya, ia takut orang yang ia cintai dengan sepenuh semesta dalam hidupnya meninggalkannya karena mendengar hal-hal buruk tentang dirinya yang lebih penuh dari kehidupannya yang sekarang. “Aku pengen Kala gak ada di hidupnya yang sekarang,” ucap perempuan itu sambil mengeluarkan setetes air mata. “Kala gak boleh berhenti sampai di usia 21 tahun,” lanjutnya sambil menyeka air matanya.

    Setelah menyelesaikan makan mereka tetap terdiam dalam belenggu diri sendiri, dalam pikir masing-masing bekerja keras memecahkan suatu masalah yang tidak ada ujungnya. Kaki mereka tidak terarah mau melangkah kemana sampai mereka berhenti di sebuah dataran luas tempat orang-orang bersembunyi dari kerasnya dunia dan pergi ke angkasa. Perempuan itu mengawali dengan berjalan lebih dahulu dari laki-laki itu. Perempuan itu terduduk di sebelah nisan bertuliskan ‘Kusdiana’. Perempuan itu hanya memandangi nisan itu sedari dua menit yang lalu. Tiba-tiba ia berpaling ke nisan yang terletak di belakang tubuhnya, nisan yang bertuliskan ‘Aminah’. Tangisnya pecah di depan liang itu, ia memeluk nisan itu dengan sesegukan. Laki-laki itu hancur saat melihat perempuan itu menangis, ini pertama kali ia melihat perempuan kuat itu menangis di depannya.

    Bagaimana bisa perempuan yang paling dicintainya setelah ibunya tidak ia temui di dunia itu. Rindu yang menggebu hingga jadi kelabu nampak di tangisan seorang Kala. “Eyang,” suaranya gemetar, sambil ia sekah air mata yang membanjiri wajah cantiknya. “Eyang kemana, eyang ada di mana, Kala pengen ketemu eyang,” lanjut perempuan itu. “Eyang gak kangen, ya, sama Kala?. Kala udah hidup dengan baik, jadi anak yang baik, dan sering nengokin eyang di sini, tapi kenapa pas Kala ada di tempat eyang, eyang malah gak ada.”

    Sesudah kepergian ibunya di usianya yang ke-12 tahun, ia tinggal bersama eyangnya. Eyangnya bekerja sebagai asisten rumah tangga, dan ketika ia berumur 14 tahun eyangnya sakit-sakitan dan harus berhenti kerja karena keadaannya semakin memburuk. Kala yang berumur 14 tahun sudah harus bekerja untuk sekedar membeli makan dan membeli obat eyangnya. Perempuan itu mencintai perempuan paruh baya itu seperti ibunya sendiri. Ia menyerupai anak 14 tahun di depan eyangnya, anak yang penuh kebahagiaan namun jauh berbeda ketika eyangnya tidak ada. Seorang anak berusia 14 tahun yang harus menanggung beban seberat itu. Perempuan paruh baya itu penuh keikhlasan, ia membelikan Kala sepatu baru ketika ia sudah ada di titik terakhirnya. Sebelum nafasnya berhenti, ia dahulukan senyum cucunya. “Kala, nanti beli sepatu pakai uang eyang di bawah kasur, ya,” kalimat yang menjadi sumber tangisnya sedari tadi.

    Laki-laki di sebelahnya memeluk tubuh mungil Kala sambil berkata, “Gak papa, semuanya bisa kamu ubah sekarang. Jangan nangis lagi gadis kecil.” Perempuan itu merasakan kehangatan dalam hatinya. Pundak terbaik yang ia miliki kali ini adalah pundak laki-laki itu. Ia menemukan rumah tempatnya pulang dalam diri laki-laki bernama Deka. Dada lebarnya menyembunyikan tangis yang tidak bisa terhenti, ia adalah lagu paling indah yang pernah perempuan itu dengar, ia adalah puisi paling menakjubkan yang pernah ia dengar. Laki-laki itu adalah anugerah yang diberikan Tuhan, bak sawah yang dipertemukan dengan hujan ketika tanahnya sudah mulai retak, ia pasti berbunga.

    Perempuan itu mengajak laki-laki itu pergi dari kesedihannya namun laki-laki itu menolak ketika ia sendirian yang harus pergi. “Kamu mau ketemu Kala, kan?,” tanya laki-laki itu lalu dibalas anggukan kecil dari perempuan itu. “Yaudah, ayo kita bareng-bareng pergi dari kesedihan ini,” ucap laki-laki itu. Meski ia belum terlalu percaya dengan ucapan perempuan itu, namun separuh hatinya berhasil menggenggam hati milik perempuan itu yang minta digenggam. Meskipun hal yang diinginkan perempuan itu membuatnya terjebak dalam suatu masalah yang akhirnya menjadi jalan buntu dan berbelit seperti benang kusut yang tak mampu terurai kembali, namun separuh hatinya itu yang membuat ia sedia akan apa yang perempuan itu inginkan.

TARTARUS | Perjalanan Menembus WaktuWhere stories live. Discover now