7 | Ending

0 0 0
                                    

     Ia kembali pada waktu ia di rumah sakit. Disana perempuan itu terduduk dan mengepal tangannya yang penuh amarah di belakang pintu kamar rumah sakit. Ia tidak merasakan hal-hal aneh seperti yang ia rasakan ketika ia berganti waktu. Ia sudah kesal dan penat melihat kebenaran dalam hidupnya dan sesuatu yang ia rencanakan tidaklah ada yang berhasil. Ia mengatur tarikan nafasnya, ia tidak tahu lagi ini waktu yang mana. Perempuan itu melihat dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Di dalam kamar rumah sakit itu bukan hanya ada perempuan itu, namun ada ayahnya dan seorang dokter, duduk di sofa sambil berbincang, tidak kelihatan dari luar karena kamarnya tertutup hanya terdengar sayup-sayup suara keduanya. Keduanya beradu argumen hingga menimbulkan perpecahan antara kedua suara, “Saya tidak bisa lakukan itu, Pak,” ucap dokter itu karena Kala sangat peka dengan suara ayahnya. “Dia sudah tidak bisa ada di dunia, Dok. Dia sudah kesulitan di dunia ini, dia berpesan kepada saya, saya ayahnya.” Ucap ayahnya sambil sedikit mengecilkan suaranya. “Euthanasia itu dilanggar, Pak. Apalagi ini penyakit yang bisa diatasi dengan makanan bergizi, dan euthanasia bukan jalan yang pas,” ucap dokter itu. “Ini untuk dokter, mohon dipikir-pikir dulu.” Argumentasi itu berhenti di sana. Perempuan itu meninggalkan kamar itu dan duduk jauh dari kamar itu. Seorang dokter berjalan dari kamar miliknya dengan membawa satu kotak besar di tangannya.  

    Esoknya perempuan itu masih ada di rumah sakit, ia masih tidak mengerti dengan pembicaraan yang dilakukan ayahnya dengan seorang dokter. Ia masih bingung, “Apa itu euthanasia?.” Ia melihat seorang perempuan yang duduk di sebelahnya sedang memainkan ponselnya, perempuan itu berniat untuk meminjam ponsel perempuan itu untuk mencari tahu apa itu euthanasia, “Permisi, apa boleh saya pinjam ponselnya untuk mencari informasi?,” ucapnya kepada perempuan itu. Perempuan itu mengangguk ramah dan memberikan ponselnya kepada Kala. “Euthanasia adalah tindakan sengaja untuk mengakhiri hidup seseorang yang sangat sakit dan menderita,” ucapnya dalam hati.
 
    Ia gemetaran, badannya lemas, ia merasakan hawa ketika ia ada di dunia yang penuh sesak dan penyesalan. Ia merasakan kakinya panas, bak dibakar diatas tungku penuh kayu dan api yang berapi-api hingga gosong dan terbakar jadi abu kayu yang semulanya kokoh nan kuat itu. Segeralah ia berlari menuju tempatnya berbaring sambil mendengar detaknya sendiri yang keras dan tak beraturan. Dua langkah lagi pintu itu terbuka dengan tangannya namun ia melihat  ranjang pasien dengan kain putih membalut sekujur tubuh diatas ranjang itu, kakinya hilang tumpuan, ia lunglai diatas lantai dingin rumah sakit.

    Sementara pria gagah dengan setelan jas mahal dan bermerek keluar dari lift sambil tersenyum licik dan memainkan jari tangannya keatas-kebawah, seorang laki-laki dari belakangnya menarik paksa tangannya, “Papa yang bunuh Kala, kan?,” ucapnya dengan wajah memerah. “Deka?,” ucap pria itu. “Kala? Kala siapa?,” lanjutnya. “Niskala!, anak papa dari perempuan lain,” ucap laki-laki itu. “Papa takut mama tahu kalau papa punya anak lain, papa takut karena harta dan tahta yang papa punya ini adalah milik mama,” lanjut laki-laki itu dengan wajah memerah darah. “Kenapa?, semua yang Deka katakan benar, kan, Pa?.”

    Pria itu mengingat dirinya dahulu, kurus kering dan lusuh. Pergi ke Kota besar, pencopet, pemulung, kilap lampu warna-warni, asap kendaraan sepeda motor dan mobil mewah. Ia pergi meninggalkan perempuan yang dicintainya setelah membuatnya terpaku dengan janji kembali sambil merayakan kerinduan dan sebotol senyuman kebahagiaan juga tulip merah simbol cinta abadi. Setelah apa yang mereka lakukan di taman bermain malam dan naik bianglala, saat berhenti diatas mereka rebahkan sedih dan serapah dengan cinta. Ia pergi ke Kota dengan uang pas-pasan, melihat iklan yang tertempel di tiang listrik lalu membuat hidupnya berubah seratus persen. Ia bertemu perempuan dari keluarga kaya raya, hidup sebagai sopir pribadi dan setelah satu tahun tinggal bersama, benih cinta tumbuh dalam hidup keduanya. Tahun kedua mereka menikah dan membuat ia menjadi bawahan yang menikahi anak konglomerat, membuat hidupnya jaya dengan balut harta dan tahta. Ia meninggalkan keinginannya menikahi perempuan yang ia cintai di tanah kelahirannya, dan memilih melupakan perempuan itu. tahun ketiga, anak satu-satunya lahir dan diberi nama Deka.

TARTARUS | Perjalanan Menembus WaktuWhere stories live. Discover now