Isle of Wight, 2021
Di bulan Desember 2006. Waktu itu musim dingin, tapi jiwa kami berapi-api. Tidak banyak yang kami miliki, tapi hati terisi penuh oleh rasa syukur. Percayalah, jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, jelas saat itu adalah masa-masa sulit. Kami kehilangan ibuku dan kupikir masa itu kondisi keuangan kami juga dalam situasi terburuk. Meski begitu, kami menjalani hidup dengan baik selama enam belas tahun ini.
Aku dan ayah menghias christmas tree sambil mendengarkan lagu-lagu natal lewat radio. Aku tergila-gila pada suara indah Mariah Carey, ayah juga demikian. Dalam segala hal, aku memang memiliki banyak kesamaan dengannya. Kecuali wajahku, ini sangat mirip ibu.
"Putriku ingin hadiah apa natal ini?" tanya David tiba-tiba.
Aku menatapnya dengan kedua mata bulatku, meninggalkan perkara memilah pernak-pernik sejenak. "Bagaimana kalau gaun biru milik ibu? Aku mau memakainya saat dewasa nanti!"
Ayah terdiam beberapa saat setelah mendengar jawabanku. Dia turun dari tangga lipat lalu memilih menghampiriku.
"Sayang, dengarkan ayah!" David tersenyum sendu kala itu. "Tanpa kau minta, semua barang peninggalan ibumu sudah menjadi hakmu." Dia lantas mengusap ujung kepalaku. "Jadi, mintalah hal yang lain!"
"Ayah, kan, tidak punya uang! Mana bisa mengabulkan permintaanku." keluhku, "Bagaimana jika aku mau dibuatkan istana?"
David tidak langsung menjawab. Aku tahu ia tengah memikirkan jawaban atas pertanyaanku. Dia jenis ayah yang punya banyak pertimbangan sebelum mengatakan sesuatu, terlebih saat berbicara pada anak-anak.
"Ada banyak tabungan. Kenapa meragukan isi dompet ayah, hm?"
"Jangan bohong, Yah! Struk tagihan tidak akan sebanyak itu kalau Ayah benar-benar punya uang." ucapku mengingatkan, menunjuk tumpukan kertas di atas meja.
Tawa David tiba-tiba meledak, entah untuk alasan apa. "Ternyata putri kecilku juga bisa salah paham, ya."
"Sudah, sudah! Aku minta hadiah pada Santa saja. Dia lebih kaya dari ayah."
"Santa? Sinterklas?" tanya ayah memastikan.
"Iya! Tahun lalu dia memberi sekotak permen lollipop." ucapku terkikik. "Aku suka jenggot putihnya."
Masih segar dalam ingatan, seolah kejadiannya baru terjadi kemarin. Setahun sebelum ibu meninggal, kami pergi ke pusat perbelanjaan. Di sana aku bertemu Santa, sebuah pengalaman yang luar biasa. Aku begitu gembira saat ia mulai menyapa dan menawarkan pelukan gratis. Tidak bisa dipungkiri, hari itu membentuk salah satu kenangan terbaik dalam hidupku.
"Sea, dengar! Pertama, Ayah akan kembali bekerja di perusahaan."
Sekadar informasi, sewaktu ibu jatuh sakit dan menjalani pengobatan jangka panjang, ayah menyerahkan usahanya agar dikelola oleh anggota keluarga yang lain. Dia ingin memfokuskan semua perhatiannya pada istrinya. Karena alasan yang sama, dia bahkan sempat tidak memedulikan keberadaan dan menitipkanku ke rumah nenek.
"Kedua, mengenai tagihan, ayah hanya lupa membayar. Maaf, ya! Satu tahun ini ayah terlalu larut menangisi kepergian ibumu sampai melalaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga." ujarnya parau, menarik perhatianku yang berakhir kembali menemukan wajah sendunya.
Awalnya ayah tampak menahan diri agar tidak menangis di depanku. Dia berusaha keras dalam upaya menjadi ayah yang kuat untukku. Namun, dia tetaplah manusia biasa. Rasa sakit di dalam hatinya telah membuatnya menitikkan air mata. David tak kuasa membendung tangisnya.
"A—ayah sangat merindukannya!"
"Aku juga rindu ibu." raungku, ikut menangis bersamanya.
Ayah memelukku, kubalas sama eratnya. Kami tidak mencoba menenangkan satu sama lain atau bersikap mampu menghadapi kenyataan. Berpura-pura terlihat baik-baik saja sama halnya dengan menipu diri sendiri dan tentu itu bukanlah sesuatu yang patut dilakukan. Rasanya lebih benar mencurahkan isi hati dan menumpahkan semua beban daripada menahannya seperti seorang pecundang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Sea U
RomanceLaut, percaya atau tidak, seperti takdir yang mempertemukan Sea dengan langit di garis cakrawala dan jatuh cinta. Copyright © 2022