'Naja titip salam'

556 88 7
                                    


0O0. Nitip, Dek! 0O0

***

"Eh bocah SMP yang pake ransel biru, sini lo." Itu tadi anak SMA Trisatya  yang memanggil Jevi.

"Sa-saya, kak?" Remaja berkulit putih dengan kacamatanya itu menunjuk diri sendiri. Jevi berjalan gemetaran ke arah geng anak berseragam putih abu-abu.

"Ya iya, siapa lagi. Jevi kan nama lo?" Remaja dengan dasi terikat dikepala itu berdiri dari duduknya. Berkacak pinggang melihat Jevi yang tertunduk lemah.

"I-iya kak, aku J-Jevi."

Remaja tadi dengan sengaja menepuk keras pundak Jevi dan merangkul sok arab,
"Ck, aelah gagu bener lo. Ngomong tuh jangan ngango-ngango."

Jevi hanya terdiam, tak berani lagi menjawab. Jevi mencuri-curi pandang pada kakak SMA disebelahnya. Tampilan remaja lelaki tadi persis seperti preman pasar yang seakan-akan memalak uang jajannya yang tersisa. Dasi yang diikat pada kepala, lengan baju digulung pendek, seragam putihnya tercoret silang dengan noda spidol, sepertinya remaja disamping Jevi ini langganan kesayangan guru BK.

Jevi merasa sesak, jantungnya berdegup kencang, ditambah lagi tangan yang melingkari bahunya amat kencang, sampai-sampai Jevi hanya bisa menutup mulutnya agar tak keluar ringisan sakit. Memang seharusnya ia tadi tak usah pergi ke perpustakaan dan sok mencari-cari buku untuk jawaban Pr-nya nanti, karena sebab itu Jevi jadi dihadang oleh segerombolan geng berandalan anak SMA.

"Jingga, IPS 10A, kakak lo kan?"

Sekarang tamatlah riwayatnya sudah, selesai menghadang Jevi, sekarang remaja dengan name tag Najava Adhyaksa ini menanyakan tentang kakak perempuannya pula. Hah, Jevi pusing.

"Iya, itu kakak aku ..," lirihan Jevi terdengar amat pelan.

Naja mengode dengan alisnya, seakan tau maksudnya, teman Naja — Rendy — yang bertopi putih segera melempar bungkusan plastik ke arah Naja.

Naja meraih dagu Jevi yang sedari tadi tertunduk dan menatapnya err— sulit diartikan. Jevi yang bingung hanya diam saat Naja mengalihkan bungkusan plastik itu pada tangan Jevi. Baru saja Jevi ingin bertanya, Naja terlebih dulu mengatakan,
"Buat kakak lo, bilang 'Naja titip salam'."

Oke, Jevi sedikit ngeblank dengan bungkusan plastik besar ditangannya. Jadi maksudnya, Naja ini teman sekelas kakaknya? Lalu Naja-Naja ini menyukai kakaknya dan menitipkan hadiah pada Jevi untuk diberikan pada kakaknya? Kenapa tidak langsung saja memberikan pada Jingga? Kenapa harus Jevi?

Baru saja ia ingin mengintip isi dalamnya, suara berat remaja lelaki tersebut mengkagetkannya,
"Jangan diintipin, kasih aja sama kakak lo. Udah, lo ga perlu tau apa isinya."

Jevi mengangguk kaku, tapi ia sempat melihat sekilas sih bungkusannya itu berisi apa hehe. Kalau tak salah, itu lagi ngetrend dikalangan orang-orang pacaran gitu. Kayaknya— Jevi ingat, didalam bungkusan itu ada Pocky rasa strawberry berbentuk love. Seperti trend disuatu aplikasi itu lho, yang Jevi pernah liat dihandphone temannya.

Duh, kakaknya beruntung banget dapat calon pacar romantis. Eh tapi ga deng, ngeliat penampilan urakan dan berantakan Naja ini, Jevi jadi tidak merestui hubungan mereka. Soalnya yah— dari tampilan luarnya aja agak rusak, gimana dalamnya? Ihh, Jevi tidak mau yah dapat calon kakak ipar urakan dan berantakan. Asal kalian tau aja, Jevi ini pencinta kebersihan dan kerapian.

"Minta nomor hape lo dong, dek."

Apa? Jevi tidak salah dengar kan? Mau minta nomor handphonenya gitu? Untuk apa? Sebenarnya dia agak ga suka sama Naja-Naja ini, ya soalnya urakan sih. Mana ngomongnya nyeplos lagi, Jevi gampang kebawa hati nih.

"Buat chat, reaksi kakak lo apa gitu. Ntar kalo ada barang yang mau gue kasih ke Jingga, gue titip ke lo ya," Naja memandang Jevi dengan tangan yang setia bergantung pada bahu bocah SMP itu.

"O-oh ya. Tapi aku ga hafal nomor telepon aku kak."

Naja mengkerutkan kening dan mengangkat satu alisnya,
"Kok bisa sampe ga hafal? Dihafalin dong, hal penting gitu jangan dilupain."

Jevi mengulum senyuman dan mengangguk kaku, sekali lagi. Jevi mau pergi, asli. Jam tangannya udah nunjukin pukul 14.45 Wib, padahal sekolah udah bubar 15 menit yang lalu.

"Gimana? Nih cupu gatau nomor teleponnya lagi. Ren, ntar lo cari-cari deh nomor telepon nih anak,"
ucap Naja pada temannya setelah menjauhkan tubuh dari Jevi. Terlihat mereka agak menjauh dari Jevi dan berdiskusi kecil dibawah pohon.

Huft, Jevi bernapas lega ketika tak ada tekanan lagi pada tubuhnya. Meraup seluruh oksigen yang ada dan mengeluarkannya kasar. Sialan juga ternyata Naja ini, menyita waktunya dan menghadangnya seperti tadi. Dan juga, tadi Naja itu memanggilnya 'cupu'? Jevi rasa air matanya sudah mau turun kalau dia ngedipin mata lagi, sakit tahu hatinya dikatain cupu begitu. Walaupun ya memang kenyataan sih, kacamata minus menghiasi mata sipitnya. Tapi kan tidak semua yang berkacamata cupu ...

"Besok, pulang sekolah gue tunggu lagi. Lo hafalin nomor telepon lo, kasih ke gue. Awas engga, gue cari lo," ucap Naja sembari mengelus rambut Jevi dengan lembut. Matanya tak henti-hentinya memandang mata cantik Jevi dibalik lensa kacamatanya.

"Btw ...," Naja mengambil paksa kacamata Jevi dan menyembunyikannya dibalik punggung, "Mata lo cantik banget."

Usapan pada ujung matanya — tepatnya pada tahi lalat Jevi— membuat badan remaja tersebut bergetar. Matanya bergulir ke segala arah, asal jangan memandangi Naja yang sekarang memandang langsung tepat pada matanya.

Jevi malu-malu menadahkan tangannya setelah tangan Naja lari dari mata, yang sekarang malah bertengger kembali pada pundaknya, dirangkul erat.
Alis Naja terangkat, seolah mengisyaratkan 'apa?'

"I-itu kacamata aku kak," cicit Jevi dengan suara amat pelan.

"Apa? Ga denger." Naja mencondongkan mukanya tepat pada wajah Jevi yang siap menangis dengan pipi memerah.

"Kacamata kak, mataku buram kalau ga pakai kacamata." Jevi makin menundukkan kepala, tak berani menatap Naja.

"Kalau ngomong liat mata gue dong, baru gue kasih."

Jevi mengangkat ragu kepalanya— ish kan, ia tak kuat menatap iris Naja yang menatapnya intens. Jevi memang mengangkat dagunya, tapi bola matanya bergulir kesana-kemari. Dengan degup jantung yang terus memacu, Jevi memberanikan diri untuk— "Kak Naja, kacamata aku balikin ...,"

Dengan senyum merekah, Naja mengusap rambut Jevi, memakaikan kembali kacamata bocah SMP tersebut dengan tangannya sendiri.
"Besok pulang sekolah gue tunggu lagi disini. Pegang nomor telepon lo, terus kasih ke gue."

Jevi cepat-cepat mengangguk, yang ia butuhkan saat ini hanya rebahan di kasur kesayangannya. Persetan saja dengan hadiah dari Naja, ia akan memberikannya besok saja pada kakaknya.

"Aku udah boleh pergi, kak?"

"OH, lupa-lupa sorry. Dah jam 3 sore. Besok lagi kita ngobrolnya, dah pulang sono bocil."

Jevi langsung minggat dari tempat ia dicegat tadi— warung depan sekolah yang sudah tutup. Gerah, jam 15.12 Wib Jevi baru pulang, 42 menitnya terbuang sia-sia karena meladeni Naja dan antek-anteknya. Mana hari panas lagi, menyebalkan.

Jevi buru-buru belok pada gang rumahnya sembari menenteng bungkusan plastik berisi hadiah dari Naja. Untung saja Jevi tidak keceplosan langsung bilang kalau ia sebenarnya hafal nomor teleponnya, Jevi hanya ... malas diganggu remaja modelan Naja. 'Jamet,' batin Jevi.

***

yofierasisc, 2022

Nitip, Dek! [JaemJen] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang