"Assalamu'alaikum. Saya Sasya, mau tanya. Apa benar ini rumah Rangga?" tanyaku dengan nada yang ku buat ramah ketika seorang wanita membuka pintu yang baru aja aku ketuk. Pada akhirnya aku kemari juga, kan? Setelah berperang dengan batin dan juga oleh dukungan kuat dari Bu Valak aku datang juga. Dan... aku lagi yang jadi tumbal oleh Bu Valak. Bahkan aku sampai harus izin latihan. Untung aja Bang Fendi mengizinkanku ketika aku bilang jika ini adalah amanah dari Bu Valak. Wow, Bu Valak memang guru yang istimewa ya, ternyata.
Wanita itu mengernyit melihatku. Lalu beliau tersenyum ketika melihat bedge yang terjahit rapi di lengan kiriku yang merupakan lambang dari sekolahku dan juga kelas yang tertempel di lengan kanan. Pintu yang tadinya hanya terbuka seperempat yang hanya memperlihatkan tubuh kurusnya sekarang jadi terbuka lebar hingga aku bisa melihat isinya.
"Masuk masuk." wanita itu mempersilakan dengan ramah. Aku mengikuti intruksinya. Nenek itu menghilang di pintu sambungan dan 5 menit kemudian kembali datang dengan segelas sirup. Aku baru tau jika wanita itu berjalan dengan tertatih dan seperti kesusahan untuk berjalan. Eh? Apakah itu adalah neneknya Rangga?
"Saya neneknya, Rangga. Ini minumnya. Monggo, diminum."
Nah benar, kan?
Aku berusaha senyum se-ramah mungkin. Namun pada akhirnya senyum itu menjadi senyum canggung. Sembari meminum sedikit sirup yang barusaja dibuatkan oleh nenek aku bertanya, "Rangga-nya nggak di rumah ya, Nek?"
"Iya. Tadi katanya baru ada urusan sama temennya." jawab nenek dengan nada yang sangat ramah. Mendadak aku jadi nggak enak. Gimana ya, aku kan nggak ramah gitu.
"Di sekolah. Rangga baik-baik aja kan, Nak?" tanya nenek kali ini nadanya penuh harapan. Aku tersenyum canggung. Masalahnya, Rangga-nya itu nggak pernah masuk sekolah, Nek. Jadi saya nggak tau harus ngomong apa. Tiba-tiba nenek mendesah. Lalu kepala yang udah dipenuhi rambut putih itu menduduk. "Ibunya baru aja pergi ninggalin dia. Anak itu nggak punya ayah atau ibu lagi. Saudara-saudaranya nggak ada yang mau ngurus dia. Jadi nenek yang memutuskan buat nampung dia. Nenek itu takut, kalau mendadak nenek nggak ada, siapa yang mau nampung dia?"
Aduh... jadi melow. Aku harus gimana? Kesentuh hatiku, tapi aku bukan tipe yang cengeng dan aku bukan orang yang ahli nenangin orang. Ini harus di gimanakan?
"Nenek juga tau, kalau Rangga nggak pernah masuk sekolah."
What?!
Jadi? Tau?
"Nenek nggak tau apa yang dilakukan anak itu. Tapi nenek paham apa yang dirasakan anak itu," kepala nenek perlahan terangkat. Sembari menyeka air mata yang menetes nenek tersenyum padaku yang mana membuatku ikut tersenyum. "Nenek tau kenapa kamu ke sini. Mau bujuk Rangga buat masuk sekolah lagi, kan?"
Lah? Tau?
"Anu Nek.."
"Nenek udah berusaha bujuk Rangga. Tapi anak itu bandel banget. Padahal dulu, dia semangat sekolah, tapi setelah ditinggal ibunya, dia jadi seperti ini."
Berarti benar-benar ngaruh ternyata.
"Sebelumnya maaf, Nek. Apa Rangga... mmm.. punya masalah?" tanyaku hati-hati biar nggak menyakiti hati nenek. Nenek nggak menjawab, malah menatapku dalam diam. Jujur, itu tatapan horor banget. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku? Ada lah! Itu tadi kamu udah nyinggung, Asya! Geblek dipelihara!
"Nggak usah—" "Kamu siapa?!"
Aku tau suara yang mengintrupsi ucapanku ini adalah suara Rangga. Takut takut aku menoleh ke kiri di mana pintu masuk berada. Dan benar. Laki-laki itu udah berdiri menjulang di sana. Menatapku dengan matanya yang se-tajam elang. Batinku bergemuruh. Mendadak perutku seperti dililit oleh ular piton! Aku bangkit dari sofa tanpa disuruh.
"E-eh.. Rangga. Anu.."
"Kamu siapa?" tanyanya dingin.
Mantap! Aku juga ikut keringet dingin! Duh, kenapa mendadak aku jadi penakut?
"Rangga! Ini teman kamu, di sapa dulu yang baik." terima kasih, Nek udah menyelamatkan nyawa saya! Teriakku dalam hati sambil melempar jumroh ke arah Rangga agar setan yang menghuni tubuhnya hilang. Masa dia nggak tau aku siapa? Kan kita sekelas bruh! Sialan banget. Malu aku!
"Tapi aku nggak kenal dia Nek. Nenek juga, kenapa bukain pintu buat orang yang nggak dikenal?!" dia marah sama nenek sambil menuding ke arahku. Salah apa lagi aku yaa rab.. serba salah terus perasaan. Emang salah kayaknya datang kesini.
"Dia satu sekolah sama kamu, apa—"
"Tapi aku nggak kenal, Nek. Memang kalau satu sekolah itu harus kenal semua? Nggak kan? Dan lagi sore-sore begini bertamu! Nggak sopan! Mau apa kamu?!"
Wah bener-bener. Kelewatan banget! Nyesel aku udah datang kesini. Nyesel juga udah naksir dia. Kasar banget ternyata. Orang kayak gini enaknya diapain yok!
"Sebelumnya maaf udah mengganggu rumah anda, saudara Rangga Bimantara. Saya kemari atas amanah dari Ibu Dina selaku wali kelas, 'kita'. Dan saya datang kemari agar anda kembali masuk sekolah dan tidak merepotkan saya lagi."
Aku mengatakan dengan penuh penekanan. Masa bodoh ada nenek di sebelahnya. Ini sih udah nggak bisa diterima lagi. Gila! Mainnya kasar. Aku nggak suka. Aku pengin cepat-cepat pulang jadinya! Ck! Ku lihat dahinya berkerut-kerut mendengar penjelasanku. Tuh! Cerna semuanya!
"Kamu sekelas sama aku?"
"Menurut anda?" aku kembali menekan setiap kataku. Aku benar-benar kesal! I waste my time to do nothing. Kan kampret.
Dia menatapku lama dan aku balas menatapnya. Bodo amat! Aku nggak suka lagi sama kamu! Nyebelin! Udah sana, kamu mending pergi ke laut dan jangan ganggu waktu ku lagi! Aku lelah!
"Kamu siapa?"
Heh? Aku menaikkan sebelah alis.
"Saya Sasya."
"Bukan nama kamu, tapi kamu itu siapa?"
Ohh... double sialan! Oke oke aku harus tenang. "Saya ketua kelas."
Sekarang giliran dia yang menaikkan sebelah alis. Makan tuh alis! Tau kan aku siapa? Ya! Tangan kanan Bu Valak! Eh iya, untung tadi nggak salah sebut ya pas nyebut Bu Dina. Bisa bisa dibilang aneh nanti. Kan nggak lucu. Oke. Sekarang dia mau ngomong apa lagi, ayo aku ladenin. Selama otak masih bisa berfikir, mulut masih bisa berucap, tangan masih bisa menggeplak, kaki—
"Besok aku masuk."
Apa?
Serius?
Nah gini dong dari tadi, mas gebetan! Banyakan tanya sampah, buang-buang energi! Ini waktu juga udah gelep. Jangan kayak Bu Valak deh.
Aku menaikkan sebelah alis sedikit angkuh saat menatapnya. Mungkin dia juga menyadari itu ketika dia balas menatapku. Wah! Nggak sopan!
"Beneran? Oke, saya tunggu di hall, besok pagi. Kalau begitu saya pamit." saat akan mengambil langkah aku kembali teringat oleh nenek yang sedari tadi terabaikan. Aku memutar badanku dan menatap sengit Rangga kemudian menatap ramah nenek. Nenek terlihat lebih tua dari yang tadi. Wah, gegera liat Rangga nih pasti.
"Nenek, Sasya pamit dulu ya. Terima kasih atas minuman dan kursinya. Assalamualaikum."
Nenek tersenyum bersalah, "Wa'alaikumsalam."
Aku ikut tersenyum dan kembali sinis ketika bertatapan dengan Rangga. Mendadak aku lupa, aku pernah naksir dia sejak pertama kali berjumpa. Kampret emang! Nyesel aku, serius!
Aku segera menghampiri motorku dan segera pergi dari sini. Kepingincepet sampai rumah sebelum maghrib, pamali jalan maghrib-maghrib. Entah keadaanrumah kayak gimana, nggak peduli. Aku mau istirahat! Besok mau bertarung lagi melawan si kampret Rangga!
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE
RomanceHanya ceritaku dan kisah cinta klasikku. Si gadis SMA yang sedang mencari cinta dan menelisik masa lalu. Aku si yang baru tahu dan aku yang... tersakiti karenaku.