Rendra melajukan mobilnya sangat kencang. Bahkan jarum pada speedometer terus bergerak ke kanan. Andai tidak ada batasan mungkin akan terus berputar jarumnya.
Rahang Rendra mengeras. Wajahnya berubah menjadi kaku dan dingin. Andai ia adalah bom atom, sekarang adalah detik-detik menjelang meledaknya bom tersebut. Tinggal menghitung mundur dan ... duarrr.
Memarkir mobil sembarangan, Rendra turun dengan cepat dan gesit. Berjalan dengan kekuatan kilat seolah takut kalah. Namun, gagal karena ia dicegah satpam.
"Maaf, mau bertemu dengan siapa? Apa sudah ada janji?" tanya satpam itu sopan. Karena ia tak pernah bertemu dengan Rendra jadi wajar jika ia menghalanginya.
"Katakan pada Si Janda itu aku mau bertemu."
"Janda?" tanya satpam itu dengan alis mengkerut. Bingung siapa sosok yang dimaksud oleh pria ini. Kedatangan yang tiba-tiba dan perkataan yang aneh.
Tak sabar, Rendra menerobos masuk. Tak peduli panggilan dan teriakan dari satpam tersebut.
Langkah kakinya pun semakin cepat seolah ada yang mendorongnya dari belakang. Meski ini pertama kali ia masuk kantor Melda, tapi tak sulit menemukan letak ruangannya. Buktinya, sekarang ia sudah ada di depan ruangan direktur. Mengangkat satu sudut bibirnya kala mengetahui jabatan Melda. Itu adalah senyum mengejek.
Tanpa mengetuk pintu Rendra membukanya dan langsung saja masuk. Melda yang saat itu berbincang dengan salah satu dewan direksi sempat terkejut, tapi dengan cepat ia menjadikan raut wajahnya itu datar.
"Maaf, Bu. Kami sudah melarangnya masuk, tapi Bapak ini malah marah-marah dan memaksa masuk," ungkap satpam yang tadi menghalangi Rendra.
"Tak apa, kalian keluarlah." Belum sempat satpam itu mencapai pintu, Melda kembali berbicara, "buka pintunya."
Rendra mengernyit aneh mendengar penuturan Melda. Pasalnya setiap orang pasti akan menyuruh menutup pintu karena itu menganggu privasi atau ingin rahasianya aman. Namun, Rendra tak mau ambil pusing. Tujuannya hanya satu, menembak mundur Melda.
Brak
Suara koper yang dibanting di atas meja membuat Melda mengalihkan atensinya pada pria di hadapannya. "Ambil ini dan pergilah dari hidupku," ucap Rendra tanpa mau dibantah.
Melda masih mengerjapkan matanya lucu. Bulu mata yang lentik dan melengkung itu bergerak-gerak menggemaskan belum lagi bentuk dan warna mata yang indah itu membuat Rendra tak berkedip. Raut wajah yang kebingungan dan imut membangunkan sisi jantan seorang Rendra. Belum sempat Rendra terpukau lebih lama, Melda sudah beralih mode serius.
Melda yang awalnya tidak paham dengan perkataan Rendra, mengambil kertas dari laci meja kerjanya. Mengeluarkan suara yang tegas tapi merdu. Suara yang begitu indah dan lembut di telinga. Ciri khas seorang wanita jawa.
"Berapa?" tanya Melda menjawab perintah Rendra. Pria itu mengangkat satu alisnya tanda tidak paham dengan ucapan Melda.
Menghela napas, Melda memperjelas ucapannya, "Berapa isi kopermu?"
"Sepuluh milyar."
Melda menggerakan tangannya yang menggenggam bolpoin. Menulis sesuatu di atas sana lalu menyerahkan pada Rendra. Menggesernya ke hadapan pria yang katanya kaya ini. "Ini ... seratus milyar dan pergilah dari hidupku!" ucap Melda tanpa penawaran.
Rendra berdiri atas ucapan yang dianggap menghina dan menjatuhkan harga dirinya. Wajahnya mengeras dan giginya bergemelatuk, berbunyi hingga terdengar jelas oleh Melda, tapi wanita itu tak peduli. "Kau!!"
"Apa? Penawaranku kurang?" tanya Melda tanpa dosa. Tidak merasa bersalah atas ucapan yang keluar. Bahkan raut wajahnya tetap tenang tidak terpancing dengan kemarahan Rendra yang sudah meletup-letup.
Pria arogan di hadapannya harus dibabat habis kesombongannya. Kelanjutannya yang membumbung tinggi hingga langit itu harus dibantai tanpa ampun. Memukul telak kepercayan dirinya dengan satu kali tebas. Menyadarkan bahwa ia tidak se-spesial itu hingga Melda harus bertekuk lutut di hadapannya.
"Sombong sekali kau, Janda."
"Aku hanya mengikuti aturan permainan," ucap Melda santai. Tangannya dilipat di atas meja, menatap Rendra ramah.
"Asal kau tahu. Aku bisa membeli dirimu meski kau jual mahal, Janda! Bahkan jika aku harus memberikan seluruh hartaku untuk membeli harga dirimu, itu akan aku lakukan. Jika memang hanya itu cara menjauhkanmu dariku," ucap Rendra dengan napas memburu.
Tak pernah sekalipun Rendra dipermalukan seperti ini. Dipukul mundur bahkan sebelum ia maju. Diserang membabi buta sebelum ia mempersiapkan senjata. Namun, bukan Rendra kalau ia mengaku kalah dan mundur teratur.
Ia Rendra Pangkabuwana. Pria yang dipuja dan digilai setiap wanita di sudut kota ini. Pria kaya raya, bergelimang harta, berwibawa, cerdas dan intelejen. Tak mungkin mundur dan mengaku kalah. Pantang baginya melakukan hal itu. Ia baru sadar, ternyata Melda bukan wanita biasa.
"Lakukanlah, aku tak akan menghalangimu melakukan apa yang sudah ada di otakmu." Melda menyandarkan tubuhnya di kursi sambil terus menatap Rendra intens.
Mendecih sinis, Rendra terus menantang Melda. "Kau tahu apa yang ada di otakku? Wah wah wah ... selain janda, ternyata kau seorang dukun."
Mengangkat bahu tak peduli, Melda terus menatap Rendra. Dua pasang obsidian itu terus saling tatap dan baru terputus ketika suara pintu diketuk membuyarkan fokus keduanya.
"Aku terlalu berani, Janda."
Rendra pergi dengan mengambil kasar kopernya. Melengos dengan kemarahan yang menyelimuti diri. Tatapan setajam pisau belati. Hawa panas bisa dirasakan Melda bahkan ketika laki-laki itu sudah tak lagi di ruangannya.
Sampai di mobilnya, Rendra memukul setir berkali-kali. Berteriak penuh emosi. Menyambar minuman yang berada di sisinya dan meneguknya kasar.
Rendra sungguh tak habis pikir dengan wanita itu. Dari semua wanita, tak pernah sekalipun Rendra menemukan wanita seberani dan menantang seperti Melda. Ia kira wanita itu akan ketakutan dan panik. Atau setidaknya gemetar dengan sorot mata yang tidak enak hati. Rendra salah, nyatanya Melda malah bersikap santai dan terus menatap tanpa takut. Tak ada rasa gentar atau ingin mundur. Ia maju tanpa peduli rintangan yang akan dihadapi atau musuh yang akan dilawan.
Melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Ia perlu sesuatu untuk pelampiasan amarah dan kekesalan yang muncul karena wanita itu. Dan dia tahu dimana itu.
Mengembuskan napas lelah, Melda menatap Risa sang sekretaris. Ini masih pagi dan Rendra sudah berhasil mengobok-obok emosinya. Memacu kerja jantung otaknya.
Ia tidak habis pikir dengan sikap dan pemikiran laki-laki yang beruntungnya gagal menjadi suaminya.
"Kau yakin mau menikahinya?" tanya Risa tepat sasaran.
"Lebih baik aku menyandang status janda selamanya."
Baru lima chapter dan musuh Rendra sudah banyak banget wkwkwkkwkk.
Selamat membaca dan maafkan typo ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAEYO, JANDA! (Pindah Ke Kubaca)
Любовные романыJika janda adalah kesalahan, lalu siapa yang akan kau salahkan? Tuhan?!? atau dia yang meninggalkan wanita itu? ini cerita tentang si Janda yang tak kunjung menemukan bahagia