Prolog

10.7K 187 23
                                    

Karena gabut maka terbitlah cerita ini :")

Happy bingung

▪️▪️▪️

Awal mula aku mengenal Om Gaven saat aku berumur 7 tahun. Keluargaku yaitu Keluarga Lewis, menjadi salah satu tetangga terdekat dengan Om Gaven.

Hal itu membuatku di tunjuk untuk menjadi pengiring cilik di pernikahan Om Gaven dan menaburkan bunga untuknya serta sang calon istri menuju pelaminan.

Begitulah memori yang paling berkesan di otakku.

Om Gaven adalah tetanggaku, dulu aku sering melihatnya setiap kali bermain di halaman rumah waktu masih kecil.

Sekarang aku sudah dewasa. Tak sama lagi seperti bertahun-tahun lalu yang bisa keluar masuk pekarangan rumahnya.

Usiaku menginjak angka 19 tahun dan sudah berstatus sebagai Maba di salah satu universitas negri yang cukup terkenal.

Terimakasih pada Om Gaven, awalnya aku tak berminat untuk menginjak di rana perkuliahan, masalah biaya menjadi salah satu penghambat semangatku.

Tapi saat aku menangis sendirian di depan pagar rumah, Om Gaven menghampiriku dan menuturkan beberapa hal yang memberikanku semangat untuk berjuang mendapatkan beasiswa.

Aku termotivasi untuk terus berjuang, tak peduli seberapa lelahnya aku, ucapan Om Gaven benar-benar membuatku merasa jika aku pasti bisa melewati semuanya. Sampai akhirnya aku berhasil masuk dengan nilai paling tinggi dan mendapatkan beasiswa sampai lulus s1.

Saat itu aku begitu senang, ku pikir setelah pengumuman keluar satu-satunya yang ingin ku beritahu pertamakali tentang berita baik itu adalah Om Gaven.

Hanya saja... sepertinya niat kedatanganku tak sebaik berita yang ku dapat.

Saat itu sore hari.

Aku mendengar Om Gaven bertengkar dengan sang istri. Pertengkaran yang cukup besar hingga barang-barang pecah dan berjatuhan.

Niatku untuk mengetuk pintu utama kediaman Gaven Nelson seketika terurungkan. Aku terdiam, tercekat mendengar suara teriakan wanita di dalam sana.

Bukan, Om Gaven tak mungkin melakukan apapun yang menyakiti istrinya. Om Gaven adalah orang yang lemah lembut juga kalem, senyumnya bahkan mampu membuatku merasa begitu tenang.

Ingatan itu masih tercetak jelas di dalam otakku. Bagaimana cuaca yang cerah tiba-tiba di tutupi oleh mendung yang mendominasi langit jingga di sana.

Aku memutuskan untuk kembali, berlari menuju rumah dan mengurung diri. Semenjak itulah aku menjaga jarakku dengan Om Gaven. Aku tak tau apa yang terjadi, tetapi aku paham betul jika situasi itu sangatlah mencekam.

Tak berselang lama berita perceraian Om Gaven dengan istrinya sempat menggemparkan para tetangga yang ada di sana. Ah, mungkin aku sudah tau jika hal ini suatu saat nanti akan terjadi.

Setelah perceraian, Om Gaven harus mengurus anaknya sendirian. Namanya Felix, Om Gaven memang telah memiliki satu orang putra kecil yang begitu imut. Meski begitu aku sama sekali belum pernah menjenguk Felix barang sekali pun.

Memang, dulu aku merasa begitu dekat dengan Om Gaven, tapi setelah ia bercerai dan menjadi single parents, Om Gaven tak banyak bicara dan tak banyak beraktivitas di luar rumah.

Setelah pulang bekerja biasanya Om Gaven akan keluar ke halaman dan membaca koran, namun itu tak lagi ia lakukan. Semenjak berpisah, ia selalu langsung masuk ke rumah dan tak keluar setelahnya. Hanya saat ia bekerja saja dan mengantar jemput Felix untuk bersekolah, barulah Om Gaven membuka pintu rumahnya.

Suamiku Om-Om Sebelah RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang