Perasaan Hampa

3.9K 142 5
                                    

Halo nich update :")

Ayo semua jangan lupa pegangan, nanti bingung sama nih cerita :")

Happy bingung

▪️▪️▪️


"Saya ingin membuka lembaran baru bersama kamu nadia. apa boleh?"

Perbincangan di antara diriku dengan Om Gaven berakhir pada satu kalimat itu. Jujur, aku sama sekali tak mengerti apa maksud dari ucapan Om Gaven, membuka lembaran baru? Apa maksudnya? Apa Om Gaven mengatakan hal itu karena telah terikat dengan janji yang ia buat??? Ku pikir memang begitu.

Suasana di antara kami sempat terasa cukup canggung. Aku yang diam saja berusaha mencerna pernyataan itu dan Om Gaven yang selesai mengobati lukaku hanya tersenyum lalu pamit dari kamarku.

Perlahan melihat punggung kokohnya yang perlahan menghilang di balik pintu. Tapi sesuatu di dalam hatiku membuatku memilih untuk ikut beranjak, diam-diam mengikuti ke mana perginya Om gaven yang ternyata menuju ke lantai bawah tempat di mana kedua orang tuaku berkumpul di ruang tengah sana.

Selama di lantai bawah, Mama dan Papaku berbincang dengan Om Gaven di ruang tamu. Tentu saja setelah dokter selesai menangani luka pukulan di kedua orang tuaku dan pamit untuk pulang.

Aku mengintip perbincangan mereka bertiga dari ujung atas tangga. Memerhatikan mereka membicarakan sesuatu yang begitu serius.

Papaku menangis tersedu dan Mama yang terus mencoba menenangkan isakan Papa. Ia bahkan sempat bersimbuh pada Om Gaven, tetapi dengan segera Om Gaven menghentikan tindakan Papa dan menenangkannya bersama.

Meski begitu raut wajah Om Gaven tampak sangat serius, lebih serius dari pada saat dia mengatakan kalimat aneh itu kepadaku. Aku bisa mengatakan perbedaan itu meskipun ia masih memasang senyumannya.

Garis wajahnya yang tampan bak dewa yunani itu seakan bisa ku baca dengan mudah entah karena apa. Apa karena aku selalu memerhatikan wajah pria berjambang itu? Kalau memang itu alasannya, maka aku mengakui satu hal itu. Selama ini aku memang memerhatikan pria itu dari kejauhan.

Jujur saja, selama melihat situasu mereka, aku seakan bisa menebak apa yang sebenarnya tengah mereka perbincangkan.

Namun aku memilih untuk diam meremat ujung pagar tangga dan berbalik kembali ke kamar.

Langkah kakiku melangkah menuju petakan kecil itu. Ku rebahkan diriku di atas kasur bersprei putih yang baru saja ku ganti kemarin.

Pandanganku menatap ke langit-langit kamar yang memancarkan pijar lampu 20watt. Sepertinya aku lupa untuk mematikannya pagi ini. Kebiasaanku memanglah bodoh, sudah tau keluarga menderita memikirkan biaya dan di sinilah aku malah melakukan pemborosan uang.

Tak ingin terlalu boros, aku pun beranjak sejenak. Melangkahkan kakiku yang rasanya lemas untuk segera menekan saklar lampu menjadi off. Eh bukankah sebentar lagi Malam juga ya??? Lalu kenapa aku harus mematikannya? Seharusnya aku biarkan saja ya kan? Lagipula kamarku mulai cukup gelap akibat malam menggeser langit cerah.

Hembusan napas berat ku helakan, ku pikir mungkin saja otakku terlalu banyak pikiran sehingga tak bisa mencerna situasi secara cepat.

Ku putuskan untuk kembali saja merebahkan diri di atas kasur. Menatap langit langit kamar yang perlahan mulai menggelap seiring fajar menghilang di ufuk barat.

Ruangan ini, rumah ini. Bagaimana nasibnya ya kira-kira kalau Om Gaven tak datang di saat itu dan melunasi hutang kami. Pasti akan disita dan kamar ini tak akan pernah di anggap ada.

Suamiku Om-Om Sebelah RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang