3

1K 119 21
                                    


Bangun pagi, gosok gigi, cuci muka, tidur lagi.

Itu yang biasa Sunghoon lakukan di akhir pekannya. Ia akan tidur seharian tanpa melakukan aktivitas apapun. Hari minggu adalah waktu kita untuk istirahat bukan?

Bagi Sunghoon, hal yang paling membahagiakannya adalah ia bisa beristirahat di hari Minggu tanpa memikirkan apapun. Tanpa memikirkan tugas ataupun memikirkan besok adalah hari Senin.

Yah, untung saja Sunghoon sudah menyelesaikan sekolah dan kuliahnya. Sehingga ia tak perlu memikirkan hal seperti itu.

Setidaknya itu yang Sunghoon pikirkan.

Itu yang ingin ia lakukan. Namun, melihat bahwa saat ini bukan hanya dirinya saja yang berada diatas kasur miliknya membuat Sunghoon mengurungkan keinginannya.

Sejak kemarin malam, tepat setelah Sunghoon memberi kesempatan pada Heeseung untuk membuktikan bahwa pria itu layak baginya, Heeseung langsung menempel seperti lintah.

Seperti saat ini. Sunghoon membuka matanya dan langsung disuguhi pemandangan Heeseung yang sedang tertidur pulas dengan tangan miliknya yang melingkar di pinggang Sunghoon.

Di pagi hari saja sudah seperti ini. Jika ini terus berlanjut bisa-bisa Sunghoon mati muda.

"Selamat pagi," ucap Heeseung tidak lupa dengan senyum lebarnya.

Heeseung dengan tampilan bangun tidurnya sedikit membuat Sunghoon terkesima. Rambut hitam yang acak-acakan dan kancing piyama atas yang terbuka hingga memperlihatkan sedikit dada Heeseung membuat Sunghoon memerah.

Sunghoon akui Heeseung itu sedikit tampan. Ya, hanya sedikit. Tapi jika dibandingkan dengan dirinya, tentu ia yang lebih tampan.

"Hm," balas Sunghoon.

Heeseung mengusak rambut Sunghoon. Menatap sepasang mata indah itu dengan teduh. Ia bawa tangannya untuk mengusap sebelah pipi Sunghoon.

Cantik.

Seseorang tolong Heeseung. Ia ingin mencium Sunghoon sekarang. Ia ingin menyembunyikan pemuda itu dalam dekapannya.

Heeseung ingin memiliki Sunghoon hanya untuknya. Ia ingin Sunghoon hanya memandangnya. Ingin Sunghoon hanya mengandalkannya.

Heeseung menjadi serakah. Ini buruk.

"Sunghoon, boleh ngga saya cium kamu?"

"Ngadi-ngadi lo," jawab Sunghoon.

Setelah menjawab itu, Sunghoon melepaskan diri dari pelukan Heeseung. Menendang pemuda yang lebih tua itu hingga jatuh dari atas kasur.

"Jangan deket-deket!" Peringat Sunghoon.

Masih dalam posisi duduk diatas lantai Heeseung mengangkat kedua tangannya. "Saya ngga deket-deket."

"Terus tadi apa? Ngapain tidur peluk-peluk segala?"

"Saya ngga tau. Bangun tidur saya baru sadar kalo meluk kamu. Lagian bukannya itu bagus ya."

Sunghoon bergidik. "Bagus di lo, ngga di gue."

Heeseung berjalan menghampiri Sunghoon yang masih berada di atas kasur. Sunghoon seketika menjadi was-was.

"Tapi, telinga kamu merah tuh," ujar Heeseung sembari menunjuk telinganya.

Dengan panik Sunghoon menutup kedua telinganya. Ia melotot ke arah Heeseung dengan kaki yang menendang-nendang ke depan.
"Pergi ngga lo! Pergi!"

Perilaku seperti itu terlihat lucu dimata Heeseung.

Semua tingkah laku Sunghoon, perkataannya atau semua yang berada pada diri Sunghoon itu lucu baginya.

Juga cantik. Sunghoon itu cantik. Indah. Hal ini tidak boleh dibantah.

"Ngapain bengong?! Pergi sana," usir Sunghoon.

"Iya-iya. Saya masak dulu. Kamu mau dimasakin apa?"

"Emang kalo gue bilang, lo bisa masak?"

Dengan penuh keyakinan Heeseung mengangguk. "Bisa. Kamu bilang tinggal mau makan apa nanti saya masakin. Saya jamin kamu bakalan suka sama masakan saya."

"Terserah deh, yang penting ada nasinya."

"Iya. Tunggu ya." Heeseung sempatkan mengusak rambut Sunghoon sebelum ia pergi keluar kamar.

Setelah memastikan bahwa Heeseung benar-benar telah pergi, Sunghoon lalu berteriak kecil didepan pintu dari dalam kamar. Seolah-olah ia sedang meneriaki Heeseung.

"Ngga waras lo ya! Ngapain lo peluk gue, usap-usap kepala gue, terus senyum kayak gitu hah?! Heeseung gila!"

Sunghoon memegang dadanya. Merasakan detak jantung yang semakin cepat.

"Tolong, kasihani hati kecil gue. Gue gabisa, gue gabisa, gue gabisa."

Ia mengaca pada cermin besar di pojok kamarnya. Mukanya merah. Semakin ia melihat pantulan dirinya, semakin ia merasa malu.

Pantas saja Heeseung mengejeknya seperti itu.

Memalukan.

Apa yang harus Sunghoon lakukan jika berhadapan dengan Heeseung setelah ini? Haruskah ia bersikap malu-malu? Atau tetap saja seperti biasa. Mungkin juga haruskah Sunghoon menjadi penurut?

Rasanya kepala  Sunghoon akan meledak memikirkan itu.












































______________________

Heeseung mempersilahkan Sunghoon duduk. Menarik kursi untuknya lalu menyiapkan piring, meletakkan nasi dan beberapa lauk.

"Lo ngapain?" Tanya Sunghoon.

"Nyiapin sarapan kamu."

"Gue bisa sendiri. Lo duduk aja disana." Tunjuk Sunghoon pada kursi di sebelahnya.

"Ngga mau."

Kesal rasanya mendengar Heeseung keras kepala seperti itu. Padahal niat Sunghoon itu baik.

Heeseung telah menyiapkan sarapan untuk mereka. Juga membersihkan rumah yang biasanya itu menjadi tugas Sunghoon.

Rasanya hanya tidak sopan saja. Sunghoon memang mengijinkan Heeseung untuk membuktikan bahwa dia layak. Namun untuk membuktikan itu Heeseung tidak perlu melakukan hal-hal seperti ini.

"Sunghoon duduk aja biar saya yang nyiapin, ya?"

"Engga lo duduk aja biar gue yang nyiapin," balas Sunghoon sambil mendorong Heeseung duduk di kursinya.

"Sekarang ini udah jadi tugas gue. Masak, nyiapin sarapan ini sebenernya tugas gue. Jadi, besok-besok biar gue aja."

Heeseung mengernyitkan dahinya.
"Kenapa gitu?"

"Yaa ... karena sekarang lo pasangan gue? Suami?"

"Ahahaha ... " Tawa Heeseung.

Mendengar Sunghoon berkata seperti itu seperti bunga-bunga tumbuh didalam dirinya. Tidak bisa ia bayangkan jika Sunghoon mulai menerimanya
































Jangan lupa vote and comment
See u ~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nacthmerrie | HeehoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang