Ine, Kyoto, 22 November
ー🍁🍁🍁ー
Semilir angin musim gugur melewati celah jendela bersama dengan aroma hujan semalam . Si surai putih menatap beberapa tupai mengambil biji-bijian yang jatuh dan kemudian masuk ke rumah mereka di lubang pohon. Mungkin mereka memberi makan bayi-bayi mereka dengan biji ek yang baru ditemukan, mungkin mereka menimbun untuk musim dingin, siapa tahu? Satoru sendiri tidak pernah tertarik dengan kehidupan tupai. Dia lebih suka mencoba untuk tertarik pada hidupnya sendiri, yang menurutnya sudah kacau.
Satoru perlahan bangkit dari posisi tidurnya. Iris biru menatap langit-langit suram kamar gelapnya. Entah sudah berapa hari Satoru berada di tempat ini. Kota kecil yang ditemukannya tanpa sengaja, hanya karena dirinya ingin terlepas dari belenggu menyedihkan kenangan. Satoru memutuskan untuk menyewa satu kamar hotel yang harganya teralu mahal, karena ia sendiri juga tidak membawa uang dengan jumlah banyak.
Satoru juga sempat ragu jika kota kecil yang ia singgahi ini menerima uang elektrik karena dari celah jendela saja Satoru bisa mendengar seruan pedagang dan bunyi uang dari dompet. Sebenarnya uang elektronik sendiri memang hal yang jarang di gunakan di Jepang, namun Satoru sangat sering berkelana ke luar Jepang, karena itu ia lebih senang menyimpan uang di kartu elektronik daripada dompet.
Tapi mungkin ini sebuah tanda untuknya. Agar ia keluar dari kamar suram berderak di setiap hembusan anginnya. Agar ia berhenti meratapi, menangis, menyalahkan diri sendiri hingga sumpahi akan mati bunuh diri.
Satoru dengan perlahan-lahan berjalan menuju tempat di mana barang-barangnya berserakan. Dia mengacak-acak tas miliknya untuk mengeluarkan botol berisi pil-pil obat berwarna putih kecil. Satoru menelan dua butir obat dengan kerongkongan kering. Rasanya perih, namun setidaknya obat ini akan mengurangi berat beban pada dirinya. Ia ingat kata temannya, kalau bergantung pada obat-obatan bukanlah hal yang baik, karena bisa-bisa dirinya menjadi pecandu Narkoba tanpa di sadari. Tapi Satoru bisa apa? Hasil tes yang menunjukkan angka depresi tinggi. Ia pun tak memiliki pilihan selain meminum obat-obat sesuai petunjuk para dokter jiwa.
Satoru terbatuk beberapa kali, entah karena kering di kerongkongan atau karena debu dalam ruangan yang menumpuk tanpa ada ventilasi udara selain celah kecil pada jendela kamarnya. Sudah berhari-hari Satoru diam di kamar minim akan cahaya dan udara, alasannya karena ia sedang tak mau bertemu dengan orang lain, dan karena dirinya merasa sangat amat sedih hingga menarik diri. Satoru datang ke kota ini pun tanpa tujuan pasti. Malam itu ia hanya berkendara tanpa arah dan tujuan. Tahu-tahu Satoru tiba di satu persimpangan dengan sebuah papan nama kayu yang sudah agak usang dan termakan lumut.
Malam itu Satoru memutuskan untuk singgah, harusnya singgah sementara. Tapi Satoru tak bisa melepaskan dirinya dari belenggu berat emosi. Ia terus diam di kamar hotelnya, hanya menjawab pintu ketika seseorang membawakan sarapan yang biasanya berupa Sup Miso dan Ikan Makarel bakar, sarapan khas rumah Jepang yang mungkin sebenarnya ia rindukan. Sayangnya Satoru sedang tidak bernafsu apa-apa, sup miso biasanya ia buang ke kamar mandi, ikannya ia berikan kepada kucing-kucing kelaparan yang menatapnya dari luar jendela.
Hari ini pun sebenarnya sama, Satoru tak terlalu bersemangat melakukan apa-apa, namun sepertinya ia harus pergi keluar, mungkin sekedar melihat-lihat atau berbincang agar emosinya tak terus-terusan berputar-putar di atas kepala layaknya awan hitam pembawa hujan.
Satoru membuka keran di kamar mandi, membasahi dirinya dengan air dingin yang entah kenapa rasanya menyegarkan. Satoru menghabiskan waktu hampir 30 menit hanya untuk membasahi dirinya dengan air dingin. Selanjutnya ia mencukur beberapa anak janggut dan kumis, menggosok giginya hingga bunyi gosok yang berisik terdengar di kamar yang sepi, menyisir rambutnya hingga kulit kepalanya tergores sisir plastik yang agak tajam, dan terakhir memakai baju miliknya yang merupakan baju ganti terakhir yang ia miliki.
Satoru membuka pintu kamar hotelnya, melirik-lirik sebentar sebelum melangkahkan kakinya ke luar kamar. Ia memakai kacamata hitamnya, menatap jalan depan hotel yang ramai akan orang-orang dan juga pedagang. Kebisingan ini membuatnya pusing, namun juga hidup. Satoru menarik nafas dalam-dalam, ia menepuk pundak salah seorang wanita tua di depannya.
"Permisi," ucap Satoru yang sebenarnya lebih menyerupai bisikan.
"Saya baru di kota ini, apa anda tahu dimana ada mesin ATM terdekat?" Lanjut Satoru.
Wanita tua tadi menganggukkan kepalanya, "Yang terdekat ada di sebelah Restoran Cepat Saji, lurus saja dari sini, akan ada tulisan besar berwarna kuning nanti," Jawabnya.
Satoru berterima kasih sebelum dia lanjut berjalan ke arah yang di maksud wanita tadi. Namun di tengah-tengah ia berhenti. Satoru memutarkan badannya, dia kembali membuka mulutnya dan berucap, "Apa anda juga tahu di mana penjual properti rumah di sini? Sepertinya saya akan menetap cukup lama."
ー🍁🍁🍁ー
Penjual Properti yang di tunjuk oleh wanita tua di depan wisma untuk Satoru adalah pria tambun berusia 40 tahun. Badannya tinggi, derak kakinya tegap seperti mantan militer, hidungnya agak pesek dengan kacamata hitam yang bertengger dan selalu melorot hampir setiap detiknya, memperlihatkan mata tajam berwarna coklat.
"Kau, siapa tadi namamu?" Tanya si pria tambun.
Satoru tersenyum kecil, "Gojo Satoru, Go-Jo-u Sa-To-Ru, tiga kanji," Jawabnya.
"Untuk mengetahui atau mengerti?*" Tanya si pria tambun lagi.
"Ah, anda bisa menulisnya dengan 'terbangun secara spiritual' atau 'mencapai persepsi yang lebih tinggi'. Pencerahan atau Kebijaksanaan juga masuk," Jawab Satoru lagi.*
Si pria tambun tidak bertanya lagi, melainkan mengalihkan pandangannya ke buku nota di atas meja kayu. Dengan cekatan, tangan si pria yang nyatanya lebih besar dari pena miliknya mencatat nama Satoru di atas buku dan nota. Ia kemudian menyerahkan catatannya kepada si pria berambut putih.
"Apa kau dari Kawasaki?" Lagi-lagi si Pria tambun bertanya.
Satoru menggeleng, "Saya dari Tokyo, Harajuku lebih tepatnya," Jawabnya membenarkan.
"Kenapa pindah kemari?" Lagi dan lagi, si Pria tambun bertanya.
Satoru tidak menjawab kali ini. Dia hanya diam menunduk, menatap sepatu kelabunya yang mengetuk-ngetuk lantai kayu dengan irama pelan. Satoru tak mau membahas alasannya pergi jauh dari Tokyo. Ia juga tak mau mengingat alasannya pergi dari Tokyo. Jadi Satoru dan si Pria tambun sama-sama diam, sampai Satoru akhirnya menerima nota untuk pembeliannya. Satoru berterima kasih, membungkuk, sebelum melangkahkan kakinya keluar dari tempat si Pria tambun. Samar-samar ia mendengar ucapan 'Selamat datang di Ine' dari si Pria tambun sebelum Satoru benar-benar menutup pintu.
ー🍁🍁🍁ー
Note :
* Tentang nama Satoru :
Nama 'Satoru' (さとる) adalah sebuah nama pemberian di Jepang dengan sifat maskulin yang berasal dari kata kerja Jepang yang berarti "tahu" atau "mengerti." Nama Satoru dapat ditulis menggunakan karakter kanji yang berbeda. Seperti ; 悟るyang artinya "terbangun secara spiritual" atau "mencapai persepsi yang lebih tinggi." Arti nama lain yang termasuk adalah 悟 yang berarti"pencerahan", 智 yang berarti"kebijaksanaan", dan 智 yang berarti "filsafat". Karena namanya yang memiliki penulisan kanji yang berbeda-beda, si Pria tambun bertanya bagaimana penulisan nama untuk Satoru.
KAMU SEDANG MEMBACA
隣の人 『 Gojo Satoru x Readers 』[✓]
Fanfiction- Modern Timeline - Setelah mengalami patah hati yang berat dengan kekasihnya, Gojo Satoru memutuskan untuk pindah ke kota kecil untuk meninggalkan semua kenangan yang dia miliki bersama kekasihnya. Dia membeli sebuah rumah kecil, mencari nafkah, be...