Bunkyo, Tokyo, 22 Desember, beberapa tahun sebelumnya.
ー🍁🍁🍁ー
"Oh, pria yang kemarin,"
Sapaan itu adalah sapaan paling aneh yang pernah Satoru dengar. Selama ini Satoru merasa panggilan Shoko dan Suguru untuknya sudah aneh, namun kali ini ia mendengar seseorang memanggilnya dengan panggilan pria yang kemarin. Sekilas terdengar seperti bekasan pakai atau orang sok akrab. Tapi yang membuat Satoru makin mengerutkan dahinya adalah ketika ia menyadari kalau orang yang memanggilnya pria yang kemarin adalah gadis yang ia bantu di Kereta beberapa hari yang lalu."Hai," Sapa Satoru.
"Hai, terima kasih untuk tempo hari," balas gadis itu lagi.
Satoru hanya menanggukkan kepalanya tanda bahwa itu bukan masalah besar. Mereka berdua saling diam dan berdiri. Mungkin diam sebenarnya adalah kosa kata yang akan selalu dipakai ketika mereka sedang bersama, karena keduanya selalu saja diam seolah-olah topik obrolan yang umum seperti tentang makan malam atau kabar, hilang begitu saja. Keduanya saling diam tanpa melakukan apa-apa selain berdiri dan menunggu mesin printer di depan Satoru selesai memuntahkan lembar kertas terakhir.
"Apa kau sering mengalaminya?" Satoru lagi-lagi menjadi orang yang memecahkan keheningan.
"Mengalami apa?"
"Pelecehan di Kereta seperti kemarin, apa kau sering mengalaminya?"
Dari ujung matanya, Satoru bisa melihat [Name] menganggukkan kepalanya dengan patah-patah. Ujung jemarinya bergetar dengan tatapan yang langsung menunduk ke bawah. Dengan reaksi seperti itu, Satoru paham kalau jawabannya adalah iya. Tapi topik bukanlah topik menyenangkan untuk di bahas lebih lanjut, jadi Satoru memilih untuk menatap mesin printer seolah berharap lembar kertas terakhirnya bisa cepat keluar, dan ia bisa keluar dari situasi canggung seperti ini.
Satoru tidak terlalu pandai berkata dalam situasi canggung. Ia adalah tipe katakan semuanya atau tidak akan berkata apa-apa. Dengan suasana seperti ini, Satoru lebih memilih untuk tidak akan berkata apa-apa karena ia pun tidak tahu apa yang harus di katakan dalam situasi seperti ini.
[Name] di sebelahnya masih bermain dengan ujung rok miliknya, "Kau Gojo Satoru dari kelas Sensei yang kemarin kan?" Tanya [Name] tanpa menatap Satoru.
Satoru tidak yakin apa yang terjadi setelah itu selain dari dirinya yang menjawab iya dan permintaan dari [Name] untuk menemani sang gadis di kereta, karena ia terlalu takut untuk mengalami pelecehan berulang kali. Dan Satoru pun tidak yakin kenapa ia dengan yakinnya mengangguk menyetujui, sehingga mereka pun terjebak dalam situasi aneh tanpa status sama sekali selain dari kenalan.
ー🍁🍁🍁ー
Bunkyo, Tokyo, 22 Maret beberapa tahun setelah tahun sebelumnya.
Hari itu bunga Sakura bertebaran di sekitar jalan setapak kampus. Beberapa orang datang dengan pakaian paling formal mereka masing-masing, ada juga yang hanya menggunakan kemeja polos biasa seperti akan pergi ke Kantor. Namun di antara para orang-orang itu, Satoru tidak bisa menemukan sosok kedua orang tuanya selain dari sosok Nenek dari Ayahnya di kursi roda beserta dua orang pembantunya.
Satoru meringis dalam hati. Susah-susah ia belajar untuk mendapatkan gelar cum laude kelak, namun batang hidung dua orang yang harusnya datang malah tidak ada. Kalau ia boleh sih, Satoru akan menelpon kedua orangtuanya dan mengutuki mereka dengan berbagai sumpah serapah. Sayangnya ia tidak bisa, bukan hanya karena teleponnya yang tidak pernah di angkat, Satoru juga tidak mau dirinya dihakimi satu hari penuh karena menuntut hal yang memang seharusnya menjadi miliknya.
Sang lelaki menghela nafas panjang sebelum berbalik menuju tempat ketiga temannya berkumpul dan berfoto bersama. Satoru menyapa mereka dengan melingkarkan tangannya di pundak Shoko yang tentunya langsung di tepis oleh Shoko dengan wajah kau mau di pukul dengan tangan kanan atau kiri?.
"Bagaimana?" Tanya Suguru.
Satoru menggeleng dengan wajah masam, "Hanya nenekku."
Shoko pun menurunkan tangannya begitu mendengar jawaban Satoru. Tangannya beralih untuk merangkul sang surai putih sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, "Tidak usah dipikirkan, ayo kita berfoto bersama."
Satoru tersenyum tipis mendengar ucapan Shoko. Walau kedua orangtuanya tidak bersifat seperti layaknya 'orang tua' setidaknya ia diberkati oleh teman-teman yang sangat mengerti dirinya. Satoru pun mengiyakan ajakan Shoko, berpose bersama ketiga temannya saat bunyi klik dari Kamera terdengar begitu pelan namun jelas di telinganya.
ー🍁🍁🍁ー
Shibuya, Distrik Harajuku, Tokyo, 16 April beberapa tahun setelah tahun sebelumnya.
Andai kata hidup semudah menginjak semut di atas lantai, Satoru tentu tidak akan mengutuk soal pekerjaannya untuk kesekian kali. Kepalanya berkunang-kunang akibat terlalu lama memandangi Komputer dengan desain produk berwarna neon untuk satu produk. Untuk kesekian kali pula, Satoru menghela nafas panjang dengan kepala tertunduk. Sang surai putih pun memutuskan untuk berjalan keluar dari ruangannya menuju ruang Istirahat untuk menyeduh Kopi atau mengambil satu dua biskuit camilan yang disediakan. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sang kekasih tengah bercumbu dengan Kepala bagiannya.
Nah sekarang, apa yang akan kalian lakukan jika menemukan kalau kekasih kalian ternyata berselingkuh dengan orang lain? Beberapa akan marah dan langsung bertanya apa yang terjadi? dengan nada tinggi. Ada juga yang memilih untuk tidak melihat dan bertanya ketika kondisi sudah lebih kondusif. Sekarang, kira-kira Satoru akan memilih yang mana?
Kalau saja keadaannya tidak sedang kalut-kalut amat, kalau saja [Name] memiliki sedikit keberanian untuk menahannya, kalau saja Satoru bisa mengontrol dirinya lebih baik lagi, dan kalau saja, kalau saja, kalau saja semuanya tidak terjadi, Satoru tidak akan memukul wajah congkak Kepala bagiannya yang bersurai merah muda. Tapi toh, apa yang bisa dilakukan? Yang sudah terjadi, maka terjadi.
Satoru sudah memukul wajah congkak Sukuna hingga si lelaki jatuh terjembab dengan bunyi keras. Dengan marah yang sudah menggebu-gebu, Satoru menarik tangan kekasihnya menjauh dan meminta penjelasan dengan nada tinggi yang sebenarnya tak ia sadari. Semuanya terjadi begitu cepat seolah jarum detik pada jam diputar dua kali kecepatannya.
Satoru akhirnya tahu apa yang terjadi. Ia akhirnya tahu kalau kekasihnya sendiri ternyata menjual badannya sendiri hanya untuk melindunginya dengan tanda kutip. Satoru tidak tahu apa yang harus ia rasakan sekarang. Marah? Kecewa? Sedih? Menyesal? Sangat marah?
Satoru tidak pernah meminta kekasihnya untuk melakukan hal itu. Kalau boleh jujur, Satoru yakin semua ini akan selesai dengan mudahnya jika mereka berdua saling berbicara.
Sayangnya, Satoru bukanlah seseorang yang suka bertanya, dan kekasihnya bukanlah orang yang suka berbicara. Keduanya kehilangan komunikasi dan tiba-tiba saja semua harus di akhiri. Seperti jarum jam yang pada akhirnya akan berhenti pada waktu tertentu, hubungan Satoru dengan kekasihnya berakhir pula pada hari itu.ー🍁🍁🍁ー
KAMU SEDANG MEMBACA
隣の人 『 Gojo Satoru x Readers 』[✓]
Fanfiction- Modern Timeline - Setelah mengalami patah hati yang berat dengan kekasihnya, Gojo Satoru memutuskan untuk pindah ke kota kecil untuk meninggalkan semua kenangan yang dia miliki bersama kekasihnya. Dia membeli sebuah rumah kecil, mencari nafkah, be...