Ine, Kyoto, 27 November, tahun yang sama
ー🍁🍁🍁ー
Dedaunan mulai menutupi sebagian jalan setapak. Satoru juga perlahan menyadari kalau angin musim gugur perlahan berganti menjadi aroma salju musim dingin yang sepertinya akan datang dalam hitungan minggu. Tempo hari Maki juga bercerita kalau Sekolahnya mulai menyuruh murid untuk mengganti seragam mereka menjadi seragam musim dingin karena udara yang mulai beralih ke fase dingin.
Dalam perjalanannya pulang dari toko serba, Satoru berpapasan dengan beberapa wanita tua yang sibuk membuat ubi bakar sebagai pertanda berakhirnya musim gugur. Satu-dua dari para wanita tua tersebut menawari ー lebih tepatnya memaksa ー Satoru untuk membawa Ubi Bakar yang masih hangat. Walau tidak terlalu suka umbi-umbian, Satoru tetap mengucap terima kasih kepada segerombolan wanita tua tersebut sebelum kembali berjalan pulang menuju rumahnya.
Perjalanan pulangnya kali ini entah kenapa terasa lebih jauh dan melelahkan. Mungkin karena Satoru membawa banyak sekali kantung belanja, atau mungkin karena ia kurang berolahraga. Bisa jadi keduanya, bisa jadi salah satu, karena semua kemungkinan memang akan mungkin terjadi dengan peluang tertentu. Satoru sebenarnya tak terlalu paham peluang, tapi ia tahu kemungkinan dari segala macam takdir sudah pasti akan terjadi suatu saat nanti.
Jalan setapak hari itu terasa lebih sepi dari biasanya. Ine memang kota sepi, jadi, sepertinya kata sepi disini tidak bisa menggambarkan bagimana sepi bagi kota Ine. Funaya hanya akan ramai jika musim liburan sudah datang dan orang-orang berbagai kalangan datang membawa tas serta alat pancing mereka. Jika selain dari musim liburan, Ine hanya ramai karena suara truk sayur atau seruan anak-anak di lapangan basket sekolah.
Dan karena Satoru sebenarnya bukan orang yang bisa bertahan lama dengan sepi, Satoru akhirnya mulai bersiul-siul kecil sambil menghentakkan kaki sesuai not lagu yang ada di kepalanya.
"Mada minu ashita ni, kau masih suka lagunya?"
Satoru menghentikkan langkahnya, ia berbalik ke arah belakang hanya untuk menemukan [Name] berdiri tak jauh darinya. Sang gadis memasang senyum kecil ke arah Satoru, yang tentunya tidak dibalas sama sekali oleh si empunya nama. Satoru lebih memilih untuk membuang muka dan berjalan menjauh dari [Name] yang sedang bersusah payah menyusulnya.
"Satoru...!" Serunya.
Satoru tidak berbalik. Ia mempercepat langkahnya menuju rumah yang entah kenapa tiba-tiba terasa begitu jauh. Rumah beratap genting coklat tua yang sudah terlihat di ujung matanya seperti perlahan mundur menjauh, seolah menyuruhnya untuk berbicara dengan sang mantan kekasih yang masih juga mengejarnya dengan kecepatan yang tidak seberapa. Sebenarnya malah bisa dibilang cukup lambat karena banyaknya barang bawaan di tangan sang gadis.
Satoru, pada akhirnya, berhenti juga. Ia berbalik menatap [Name] yang susah payah mengatur nafasnya. Mereka berdua saling tatap dalam hening sampai Satoru akhirnya memecah keheningan dengan berkata, "Ayo ke rumahku," sebelum kembali berbalik dan berjalan, kali ini dengan langkah yang ia sesuaikan dengan sang gadis di sebelahnya.
ー🍁🍁🍁ー
Begitu [Name] menjejalkan kaki di rumah kecil milik Satoru, yang pertama kali ia sadari adalah bau Patchouli yang khas, menyambutnya. Mata [Name] melirik kesana-kemari, sekedar melihat-lihat rumah minimalis Satoru.
Sejujurnya rumah milik Satoru yang ini jauh lebih menyegarkan daripada miliknya yang berada di Tokyo ー Ya, [Name] pernah datang kesana SEKALI karena Satoru meminta bantuannya untuk membuat resume. Rumah itu super duper besar bahkan hanya dengan berada di gerbangnya saja, cukup membuat [Name] merasakan kesenjangan sosial antara ia dan Satoru. ー rumah kecil ini membuat [Name] merasa jauh lebih nyaman walau ia melihat lukisan Wheat Field With Crows di dekat sofa melalui ujung matanya. Tapi, setidaknya rumah ini tidak membuatnya merasakan kesenjangan sosial berat seperti rumah Satoru sebelumnya.
"Duduklah, aku akan membuat Teh," Ucap Satoru, yang dituruti oleh [Name].
[Name] memilih untuk duduk di Sofa kecil yang menghadap ke arah lautan. Barang-barangnya ia letakan di kaki sofa agar tidak memakan banyak tempat. Kebetulan pintu kaca yang menghadap ke arah lautan di buka oleh Satoru sehigga [Name] bisa merasakan angin berbau asin dan musim dingin secara sepoi-sepoi melewatinya.
Tidak banyak yang bisa dilakukan [Name] selagi menunggu Satoru selain dari menatap jam dinding antik di dekat kalender atau mendengarkan suara burung camar di kejauhan. Jadilah [Name] berdiri, mengelilingi ruang tamu milik Satoru dengan rasa penuh penasaran. Ia berhenti di depan rak buku dengan ribuan judul asing yang ia kenali beberapa. [Name] berjongkok sedikit, mengambil satu buku dari rak sebelum kembali ke sofa tempatnya duduk.
"In Cold Blood. Kau masih ingat buku itu?" Sebuah suara menginterupsinya.
[Name] mendongak, mendapati Satoru yang tengah menunduk untuk meletakkan cangkir tehnya. [Name] berterima kasih dalam suara kecil namun, alih-alih menjawab sama-sama, Satoru malah mengulang pertanyaannya, "In Cold Blood. Kau masih ingat buku itu?" yang di jawab oleh anggukan pelan dari [Name].
Mereka tidak berbicara apa-apa lagi setelah itu. Masing-masing sibuk meminum teh mereka tanpa suara selain keramik cawan yang menyentuh piring kecil. Satoru lagi-lagi menjadi orang yang pertama memecah keheningan dengan terbatuk. Entah karena apa, mungkin karena tehnya masih panas dan ia memaksakan diri untuk meminumnya karena tak ada lagi yang bisa ia lakukan di keheingan yang canggung ini.
"Mau air putih?" Tanya [Name].
"Tidak terima kasih, aku tidak apa-apa," Satoru menjawab dengan cepat, ia kemudian kembali membuka suaranya, "Jadi, sampai kapan kita akan terus diam?" Tanyanya tiba-tiba.
[Name] kembali diam, ia membuka-menutup mulut layaknya Ikan Koi milik Yaga ketika diberi makan pelet mahal. Satoru hanya terkekeh pelan, "Kau masih punya kebiasaan itu," Celetuk Satoru, kemudian kekehannya berhenti. Satoru menarik nafas panjang sebelum ia berkata, "Aku lupa kapan terakhir kali kita duduk saling berhadapan seperti ini," Ucapnya.
Kemudian hening kembali menyapa. Seolah es yang sudah mencair kembali beridir kokoh, mereka hanya saling diam tanpa bersuara. [Name] memainkan cawan di tangannya, menatap refleksi dirinya pada air teh yang tinggal setengah dan sudah kehilangan uapnya. Dengan suara pelan [Name] memanggil pria di hadapannya,"Satoru...." kemudian ia melanjutkan ucapannya, "Aku.... Ada beberapa hal yang belum pernah aku katakan, tapi mungkin ini saatnya. Karena aku tidak mau lagi bermain kucing-kucingan denganmu,"
Satoru mengubah posisi duduknya seolah berkata baiklah, aku akan mendengarkan. [Name] pun menarik nafas panjang, cawan teh ia letakkan kembali dengan bunyi clik yang pelan. Lalu, dengan suara yang juga pelan, [Name] pun memulai ceritanya.
ー🍁🍁🍁ー
KAMU SEDANG MEMBACA
隣の人 『 Gojo Satoru x Readers 』[✓]
Fanfiction- Modern Timeline - Setelah mengalami patah hati yang berat dengan kekasihnya, Gojo Satoru memutuskan untuk pindah ke kota kecil untuk meninggalkan semua kenangan yang dia miliki bersama kekasihnya. Dia membeli sebuah rumah kecil, mencari nafkah, be...