Words Count: 12.472
Genre: Hurt/Comfort, Fiction
Rating: 15+
Commission by: MinminchildJika di dalam dunia ini, hal-hal fiksi benar-benar ada, aku berharap setiap kisahnya akan memiliki akhir yang bahagia. Di mana pusat dari cerita itu, selalu berakar pada kebahagiaan sang Protagonis. Tetapi ternyata, hal-hal di luar nalar yang terjadi di kehidupan nyata tidak pernah berjalan seindah kisah di negeri dongeng. Setiap kisah berakhir menorehkan luka. Meskipun luka itu terlihat memudar, tetapi sebenarnya, mereka tidak pernah hilang.
Atau … hanya kisahku yang memendam luka?
+++
Suara erangan dan embusan napas lelah membuat anak lelaki yang tengah duduk di atas ayunan kayunya itu menoleh dan memelankan laju ayunannya, dengan dahi yang berkerut samar dan bibir yang mengerucut kecil, ia memiringkan kepalanya. Memperhatikan rambut hitam yang menyembul dan kemudian kembali menghilang di balik tembok pembatas antar rumah itu. Kemudian sebuah kekehan terdengar saat anak lelaki lainnya berhasil meletakkan dagunya di atas tembok, rahang itu tampak mengerat kesulitan mengatur napasnya, kedua lengannya memeluk tembok itu, menahan dirinya agar tak terjatuh.
"Hai," ia bergumam sambil melambai pelan.
Anak lelaki berpipi gembil itu tersenyum kecil melihatnya, namun ia tidak mengatakan apa pun. Membuat anak lelaki yang lebih tua mengembuskan napasnya pelan. Tersenyum dengan bibir tipisnya yang membentuk garis lurus. "Kau sedang melakukan apa?"
Anak lelaki bermata bulan sabit itu menggeleng. "Tidak melakukan apa-apa. Jiminie hanya sedang bermain ayunan."
Bibir tipis itu terbuka perlahan, membentuk huruf A. "Apa aku boleh ikut bermain?"
Suara gesekan antara alas kaki dan lantai dengan batu hias terdengar. Anak lelaki yang menyebut dirinya Jiminie itu menghentikan laju ayunannya, kedua tangan mungilnya mengeratkan genggamannya pada tambang ayunannya. Ia melipat bibirnya dan terdiam menatap anak lelaki yang lebih tua.
Mendapat respons pasif dari lawan bicaranya, membuat anak lelaki itu mendesah pelan sambil berusaha untuk tersenyum. Tidak apa-apa, pikirnya. Mungkin, anak lelaki itu tidak terbiasa pada sosoknya. Maka ia turun dari tembok yang menopang tubuhnya. "Eut-cha!" Suara tepukan kedua tangan terdengar beberapa kali, sebelum akhirnya, anak lelaki yang masih duduk di atas ayunan itu dapat melihat sosok berkulit putih pucat dengan mata kucing yang tajam. Bibir tipisnya membuat anak lelaki itu terlihat jahil dan galak.
"Apa Jimin mau bermain denganku?"
"Apa Hyung akan bersikap baik pada Jimin?"
Anak lelaki itu mengangguk yakin. "Tentu saja! Kita akan menjadi teman baik. Namaku Yoongi, Min Yoongi. Usiaku 10 tahun."
"Oh." Jimin mengangguk polos mendengar informasi yang baru saja ia dapatkan. "Jimin berusia delapan tahun."
"Uhm, hanya berbeda dua tahun, ya?" Ia tersenyum. Berdiri tegak di hadapan Jimin, memastikan anak lelaki itu berfokus pada dirinya. "Kau masih betah bermain di atas ayunan?"
Jimin mengangguk. Semakin mengeratkan pegangannya pada tali ayunan saat Yoongi berjalan setengah mengelilingi ayunannya. "Biar aku yang mendorong ayunan ini untuk Jimin, ya?" Tawarnya, mulai menyentuh tali ayunan itu. Butuh beberapa waktu, namun saat ia mendapat sebuah anggukan sebagai jawaban, Yoongi tersenyum senang.
Hanya sebuah ayunan ringan yang tangan kecil Yoongi berikan pada ayunan itu, namun keduanya menikmati waktu yang mereka lewati bersama dengan tawa dan keceriaan. Sesekali mereka bahkan memainkan banyak peran sambil bermain ayunan. Mulai dari cerita pahlawan super, sampai cerita bajak laut. Dan Yoongi sangat menyukainya. Anak lelaki yang baru saja menjadi temannya hari ini, adalah anak yang menyenangkan untuk diajak bermain.