Chapter 3

1 0 0
                                    

Rothen burg Obder Tauber, 1852

Senja menyapa daratan Jerman. Sinarnya yang kirana mampu membuat semua orang berdiam memandangi keindahannya. Matahari akan ternggelam sebentar lagi. Berganti malam Bersama bulan dan bintang. Di dalam ruangan berarsitektur kuno, keempat pria duduk di sana. Salah seorang diantara mereka menulis di meja sembari melirik buku sebagai acuannya. Ditemani berbotol botol wine, dan alunan musik dengan piringan hitam.

"Itu omong kosong Cyrus. Mustahil ada yang seperti itu di dunia."

Cyrus mendengkus kesal kemudian menatap Ares yang sedang asik menghisap cerutunya. Jemari lelaki itu terketuk ketuk di atas meja kayu ek yang mengkilat.

"Kau tidak akan mengerti Ares. Kau hanya akan sibuk berselingkuh dengan Aphrodite," balas Cyrus. Ares menatap sahabatnya dengan tatapan tajam. Dia bukan Ares sang selingkuhan Aphrodite. Mereka ini berbeda dan ayolah, itu tidak lucu sama sekali.

"Siapa yang akan percaya dengan dongeng putri-putrian? Mungkin anak kecil saja tahu itu hanya cerita sebelum tidur," lanjut Ares sambil memainkan cerutu di tangannya.

"Setidaknya akulah yang mempercayai kisah itu. Tidak semua kisah itu dongeng Ares. Apa yang kita ketahui dan percaya, belum sepenuhnya benar."

Cyrus Kembali menuliskan jurnalnya pada kertas tipis coklat. Meliukan bulu angsa putih yang sudah dicelup tinta hitam itu dengan sabar dan telaten.

"Omong-omong soal putri, apa kabar soal putrimu Helios?" kekeh Ares mengedarkan pandang pada Helios di sudut ruangan. Membaca buku milik Cyrus sambil meneguk segelas wine.

"Tidak ada. Aku tidak tertarik pada Wanita itu," jawab Helios kemudian membalik halaman selanjutnya dari buku dalam tangannya.

"Jadi? Helios akan gagal lagi?" tanya Cyrus. Helios menghembuskan napasnya pelan. Tidak ada gunanya membalas percakapan ini. Sahabatnya hanya ingin mengejeknya, tidak lebih dari itu.

"Ayahmu sudah bersusah payah mencarikan gadis cantik untukmu Helios. Mengapa kau tidak tertarik?" Kali ini, Atlas yang sedang duduk di sofa membuka mulutnya.

"Laika bukan gadis impianku. Jauh dari apa yang aku mau sebagai seorang pendamping," jawab Helios. Atlas berdiri dan berjalan mendekati Helios di sudut ruangan. Tangan lelaki itu memegang segelas wine dengan isi penuh dan meneguknya sebelum duduk di sebelah Helios.

"Apa menurutmu Laika itu bukan gadis yang baik? Dia cantik, berpendidikan, dan ... kaya raya. Bisnis ayahmu akan semakin maju dengan hubungan antara kau dan Laika. Aku benarkan teman-teman?" Atlas terkekeh pelan dan menepuk-nepuk pundak tegar Helios.

"Ya, Laika bukan gadis yang buruk untukmu Helios. Kalau kau menolaknya, ayahmu akan semakin menggila," balas Ares.

"Well, aku juga berpikiran sama. Laika itu teman kita saat di bangku sekolah menengah pertama bukan? Gadis yang pandai menyanyi? Seingatku, dia yang menyanyi untuk natal saat acara kelulusan kita. Dia tidak buruk juga untukmu Hell," sahut Cyrus sambil membolak balik halaman dari buku yang sedang ia pelajari.

"Kalau begitu," ujar Helios,
"kalian saja yang menikahi Laika. Bukankah bagi kalian gadis itu tidak buruk?" Ketiga lelaki itu terkekeh pelan kala Helios menunjukan raut kesalnya. Pria itu berjalan dan menukar buku di tangannya dengan buku baru.

"Apa kita kehabisan topik untuk dibicarakan sekarang?" tanya Ares sambil mengisi Kembali gelas kacanya yang tandas.

"Ya, setelah membaca buku-buku jurnal di perpustakaan Cyrus, aku jadi tertarik dengan dongen gitu." Helios membuka kembali buku yang baru saja ia ambil. Berjalan Kembali ke sofa di sudut ruangan, dekat perapian.

"Oh ayolah, mengapa kalian sekarang sangat menyukai dongeng? Tidak ada lima putri di dalam Hutan Burke. Hanya ada rusa atau harimau di dalamnya," balas Ares.

Atlas hanya diam mendengar kericuhan kecil parasahabatnya. Lebih baik menikmati pergantian malam dengan mendengar putaran piring hitam dan segelas wine di tangan. Ah, andai ada seorang gadis yang bisa ia ajak berdansa, pasti akan sangat sempurna.

"Kalau begitu," kata Cyrus,"kenapa kita tidak membuktikannya saja?" Ares memutar bola matanya jengah. Cyrus terlalu pintar baginya. Otak dan pikiran lelaki itu melambung terlalu jauh. Memikirkan dan meneliti tentang dunia lain, dimensi lain, masa lampau, masa depan, dan hal-hal yang Ares anggap mustahil untuk ditemukan. Helios menutup bukunya berjalan mendekati Cyrus. Mendudukan diri di sebelah sahabatya. Tersenyum kemudian meraih sebotol wine untuk dibuka dan menuangkan isinya pada gelas kaca.

"Itu bukan ide yang buruk." Helios meneguk wine dalam gelasnya hingga tak bersisa.

"Lagipula," lanjut Helios,"kita sudah lama tidak mengunjungi Hutan Burke. Apa salah nya bermain-main di sana?" Atlas yang berada jauh dari para sahabatnya, ikut duduk untuk menyimak. Menarik juga sepertinya. Setidaknya, kalau tidak menemukan dimensi lain tempat dimana para putri itu dikurung, mereka bisa berburu rusa untuk dipanggang.

"Cyrus pernah bercerita kalau di dalam rumah
tua sang putri, ada harta karun yang melimpah bukan? Anggap saja ini pencarian harta karun. Kita rampok kelima putri, dan pergi dari sana. Menarik bukan?" kata Helios dengan mata yang berbinar.

"Kalau pun tidak menemukan dimensi lain yang dimaksud, kita bisa berburu rusa untuk dipanggang. Menjelajah Hutan Burke bukan hal yang buruk," lanjut Atlas.

"Yah, itu mungkin tidak seburuk yang kukira," balas Ares pelan. Mau tidak mau, ia harus mengikuti ketiga sahabatnya yang lain. "Aku yakin. Jauh di dalam Hutan Burke, kita akan menemukan gerbang besar menuju dimensi lain. Kita akan menemukan rumah megah yang tua. Bertemu dengan kelima putri cantik bagai bidadari. Itu benar-benar petualangan yang menyenangkan," tambah Cyrus. Cyrus percaya akan adanya dunia lain. Dunia selain tempat ia tinggal.
Dongeng yang selalu ia baca di perpustakaan
milik keluarganya. Jurnal-jurnal turun-temurun selama lima ratusan tahun tentang suatu kerajaan megah di dunia lain. Tentang kelima putri yang dikurung di dalam Hutan Burke. Cyrus yakin, ia pasti bisa memecahkan teori yang ditulis dari nenek moyangnya.

"Terserah kau saja Cyrus. Otakmu terlalu pintar untuk pria sepertiku." Ares mendengkus kasar dan kembali menyalakan cerutunya.

Setelahnya, keheningan menerpa mereka. Larut dalam bayangan dan imajinasi masing-masing. Tenggelam dalam lautan pikiran... Dalam diam, dengan asap cerutu yang mengepuldi udara, Ares juga ikut memikirkan semuanya. Menahan diri agar berpikir bahwa itu masih mustahil untuk dipercayai. Tapi sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya, Ares juga mengakui kalau ia tidak sepenuhnya membantah. Kisah kelima putri itu, mampu membuatnya dirundung rasa penasaran.

"Entah mereka nyata, atau memang hanya dongeng belaka. Aku akan memastikannya sendiri."

Five Princess With Her CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang