2 | Gosip

85 3 5
                                    

Sebelum Geo sungguhan hilang dari koridor depan perpustakaan yang sepi kemarin, dia menatap kami dan bilang; "Jangan mencariku, menemuiku, bicara padaku, atau apapun. Jangan ikut campur masalahku" Lalu dia benar-benar pergi tanpa berbalik lagi.

Hari itu aku pulang dengan pikiran-pikiran yang membuat kepalaku dua kali lebih berat. Aku tidak mengerti apa yang Geo lakukan. Kenapa dia datang ke sekolah dan mengomel, kenapa dia sangat yakin kalau aku yang bersalah di sini. Aku lebih tidak paham lagi karena dia menyuruhku mencari Paman Ed, tapi dia memintaku untuk jangan ikut campur.

Saga belum berkomentar apa-apa. Temanku yang paling berisik itu terlihat sibuk berpikir sepanjang jalan pulang. Dia bahkan nggak peduli ada poop merpati yang jatuh di tasnya. 

Saat aku berkunjung ke rumah Saga sore harinya pun dia tidak seperti biasanya. Saga yang maniak catur online malah menghabiskan waktu mainnya entah untuk apa. Dia tidak sedang di rumah. "Lagi main keran di rumah Iren, mungkin?"  Ujar papanya Saga saat kutanya ke mana perginya dia.

Datang ke rumah Iren pun, aku nggak menemukan Saga. Kata Mamaknya, Iren pulang sekolah langsung tidur. Belum bangun. "Air keran di rumah juga lagi bermasalah, nak Mada. Bapak Iren sedang usaha, betulkan itu keran."  Mamaknya Iren menggeleng-geleng kecil.

Jadilah kemarin aku pulang tanpa menemui Saga atau Iren. 

Pagi tadi kami berangkat sekolah seperti biasa. Hanya saja hari ini rasanya semua orang rusuh membicarakan tentang kejadian kemarin. Lebih tepatnya tentang Geo. Tak ada habisnya mereka menyebut Geo, si aktor terkenal dari kota. lebih heboh lagi saat mereka membicarakan penyanyi cantik dengan gosip aneh, atau apalah mereka menyebutnya. Aku tidak paham.

Tapi Saga dan Iren sekalipun tidak pernah menyebut tentang yang terjadi kemarin. Iren, temanku, si cewek tomboy yang suka ngomel-ngomel itu hari ini mendadak kalem. Saga? Entahlah. Dia masih tak dapat ditebak seperti biasa, namun hari ini atmosfernya lebih serius 0,0001 persen.

Yah, begitulah. Akhirnya kami pulang sekolah bersama di siang terik seperti biasa. Naik tiga sepeda roda dua. Kami pergi meuju rumahku. Mau makan pudding buatan ibu.

"Aneh kan?" Ujar saga yang baru saja turun dari sepeda kuningnya. "Persis seperti pohon ceri berbuah durian" Tambahnya sembari mengangguk-angguk kecil.

Aku memarkir sepedaku di garasi. Mengangguk. "Iya," Kau lebih aneh. 

"Suara hatimu kedengeran, kaya di sinetron" Saga nyengir.

"Ngomong pake bahasa yang normal-normal aja, kek!" Iren mendengus sebal. Dia hampir-selalu-sangat-sering sebal. "Apa coba? Ceri? Durian?"

Aku masuk ke dalam rumah. Mengambil pudding di kulkas. Ada sebuah kertas notes di depan pintunya. Dari ibu. "Mad, puddingnya di kulkas. Ibu dan ayah pergi ke kota seharian ini. Ibu sudah titip rumah ke Mamanya Saga. Nanti bawakan pudding ke rumahnya ya, bagi mamaknya Iren juga. To my lovely son, Madakra"

"Maksudmu aneh apa, heh? Apa maksudnya pohon ceri berbuah rambutan?" Iren menatap Saga, menyelidik. Aku membagikan pudding buah satu-satu untuk mereka. Kami duduk melingkar di ruang tengah.

Tiba-tiba Saga berdiri. Membelakangi aku dan Iren. Dia mencari sesuatu di kantongnya, lalu kepalanya menoleh ke arah kami. Ia bergaya mengenakan kacamata bulat, menggenggam kaca pembesar di tangan kirinya, lalu kembali memutar badan menghadap kami. Sedetik kemudian dia mengangkat tangan kanannya, dan menjentikkan jari. Aku dan Iren hanya menonton pemandangan itu tanpa ekspresi. Yang begini sudah biasa.

Dan jangan pernah tanya kenapa dia membawa kacamata bulat juga kaca pembesar.

Jangan pernah, nanti menyesal.

The Last Painting Of an ArtistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang