Proses Pendekatan Lima

69 9 18
                                    

Ada noda merah menetes di kakiku! Sialan, aku lupa kalau bulan ini belum kedatangan tamu!

Bagaimana bisa aku tak menyadari tanda-tandanya? Pantas saja, perutku kram sedari kemarin.

Setelah acara mesra-di-teras-minimarket, dua minggu lamanya aku tak berjumpa dengan Murayama-san. Sesekali, aku merespon pesannya. Sebagai pelajar di kelas akhir, kesibukanku bertambah berkali-kali lipat. Aku bahkan sempat jatuh sakit karena telat makan.

Kram karena menstruasi ditambah asam lambungku naik, bayangkan betapa aku seperti lekas menjemput ajal.

Pagi hari yang biasanya diisi rutinitas membersihkan segala jenis kuman, harus diundur beberapa jam sebab aku tak sanggup berdiri. Usai mandi koboi dan menaruh sprei kotor di keranjang khusus, aku bergelung selimut. Memegangi perut sembari menggeliat mirip cacing terkena air garam.

Meskipun keluargaku mulai rewel, agar aku mau makan setidaknya camilan, aku tetap teguh untuk mengurung diri di kamar.

Betapa tamu bulanan membuyarkan fokus belajarku untuk ujian. Rasanya, aku kepingin mengamuk!

Beruntunglah ini hari Minggu. Aku bisa bersemedi di balik selimut sampai sakitnya sedikit surut.

Tok tok tok!

"Ada seseorang yang mencarimu!" Suara laki-laki dari luar kamar menghentikan erangan tertahanku. Siapa yang tak tahu waktu datang ke rumah? Orang ia mau jadi samsak tinjuku, hah? Aku bisa mendadak brutal ketika sakit di perutku sudah tak tertahankan.

"Ayah sudah mengusirnya, tapi dia keras kepala. Berdiam diri di depan pintu. Cepat turun sana!"

Penasaran, aku jalan terbungkuk-bungkuk mendekati jendela. Kamarku di depan, dengan satu tarikan pada tirai, aku melihat sosok laki-laki membelakangi pintu.

Murayama-san?

Astaga apa yang ia lakukan!

Aku putar arah, melangkah sekuat tenaga sembari menekan perut. Membuka pintu, tampaklah ayah yang mendengus sembari mengulum senyum. Jangan bilang ia pikir itu pacarku?

"Cepat sana, temui dia."

Persetan penampilan yang acak-acakan, aku membuka pintu utama. Ia berbalik badan. Di tangannya, plastik menggembung membuatku penasaran.

"Maaf mengganggumu. Aku ke sini membawakanmu makanan untuk menyemangatimu yang akan ujian, tapi sepertinya kau ...."

"Aku sakit." Aku menandaskan kalimatnya. Ia agaknya tercenung. Kami saling diam di teras. Aku tak sanggup berdiri, kusandarkan tubuh pada dinding rumah.

"Sepertinya, kau butuh istirahat yang cukup. Ini, ambilah! Aku akan pulang sebelum ayahmu memukuliku," katanya, mengulurkan seplastik buah-buahan serta camilan yang kucek setelah mengambil alih plastik itu darinya.

Aku bilang makasih, ia tersenyum. Meski tampaknya ia ingin membantuku berjalan, aku menahannya agar tak berani menyentuhku di rumah. Ini zona terlarang, bisa-bisa Murayama-san digoreng bersama ikan-ikan tangkapan ayah.

Ping!

Aku sedang makan pir saat notifikasi mengambang di layar ponselku. Itu Murayama-san. Aku membuka pesannya.

Murayama-san

[Aku tidak tahu kau sakit apa, tapi sepertinya parah. Dilihat dari betapa pucatnya mukamu. Cepatlah sembuh, aku khawatir tahu (。•́︿•̀。)]


Oh, astaga, aku ingin mengigit atau memukul sesuatu! Mengapa ia menambahkan emoticon di sana?! Apa ia tahu, jantungku terbuat dari marshmellow, mudah meleyot jika terus begini!

Process of Loving Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang