Proses Pendekatan Delapan

21 4 3
                                    

Kami berjalan beriringan ke taman dekat alun-alun, aku tidak tahu mengapa, tapi yang pasti dadaku bergemuruh, seperti tengah terjadi gempa yang merobohkan seisi hatiku. Aku cemas, apa yang bakal dikatakan oleh Murayama-san.

Apa ia akan menyatakan cintanya lagi? Atau apa sebetulnya ia sudah lelah menunggu jawabanku?

Banyak sekali spekulasi yang berkecamuk dalam kepalaku.

Saat menuju ke tanam pun, tidak ada yang memancing obrolan. Aku jadi semakin khawatir.

Kami mencari tempat yang jauh dari keramaian. Tempatnya sangat strategis untuk melamun, yaitu tepat di bawah pohon rindang.

Sembari menikmati embusan angin yang menerpa wajahku, aku menunggu apa yang akan dikatakan olehnya.

Namun, beberapa detik berlalu dengan suasana yang menekan. Murayama-san tak kunjung memulai obrolan. Aku sampai meremas tanganku demi menetralkan degup jantung yang menggila.

"Jadi, bagaimana?" Murayama-san menodong.

Aku sontak terperanjat. Tak menyangka jika pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Murayama-san.

"Em ...." Kukulum bibir, menghalau perasaan tak nyaman yang menjalar dari perut, naik ke tenggorokan. Bergolak, aku tak dapat menahan. Terlalu tiba-tiba, aku tak siap dan tak menyiapkan jawaban.

Di tengah kecanggungan yang semakin lama semakin tak mengenakkan, aku menandaskan. "Maaf."

"Begitu, ya," ujar Murayama-san, terkekeh. Berbanding terbalik dengan air wajahnya yang muram, bibirnya tersenyum. Seperti sudah dapat menebak arah pembicaraan kami.

"Murayama-san ... tidak mau bertanya kenapa aku menolakmu?" Aku mencicit. Sebetulnya, aku ingin diberi ruang untuk menjelaskan kenapa aku bisa memutuskan pilihan tersebut.

"Katakan saja. Aku akan mendengarkan," ucap Murayama-san, tersenyum tipis.

Aku menghela napas, gusar. Bagaimana kalau keputusanku salah? Apa aku sudah menyakiti perasaan Murayama-san? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau Murayama-san membenciku dan menyuruh anak buahnya untuk membalaskan dendam dari rasa sakit di hatinya?

"Maaf, Murayama-san. Aku memang menyukaimu, tapi aku tidak bisa. Tidak, belum saatnya. Aku tidak tahu tujuan akhir apa dari hubungan kita. Apa kau akan menikahiku? Belum tentu, bukan?"

Murayama-san terkejut. Matanya memelotot sedikit. Aku tersenyum, sepertinya ia tidak menebak untuk alasan yang satu ini.

"Aku sudah memikirkannya akhir-akhir ini, tapi itu ... aku tidak mau terikat dengan hubungan dulu. Aku masih ada hal yang harus kukejar, yang menjadi prioritas."

Murayama-san menimpali, "Aku mengerti. Orang sepertimu pasti mempunyai tujuan hidup yang jelas. Tidak seperti aku ...."

"Hei, jangan berpikir seperti itu! Ingat, aku juga menyukaimu!"

Sontak, Murayama-san terdiam. Mukanya merah padam. Aku juga merasakan kehangatan yang merambat dari telinga ke wajahku.

Apa sekarang wajahku sudah seperti tomat?

Sialan, aku malu sekali!

"Kamu menyukaiku ... karena apa?" tanya Murayama-san. Laki-laki itu menatapku lamat. Aku mampu mendengar tulang rusukku digedor dengan hebat oleh jantungku.

"Karena kamu keren," kataku sekenanya. Jujur saja ditatap sedemikian rupa oleh orang yang kau sukai dapat membuat fungsi otakmu mendadak turun beberapa persen, berakhir kau seperti orang dungu.

"Hah?"

Dasar mulut jahanam!

Aku berkelit, "Tidak, tidak maksudku, aku menyukaimu karena ya ... memangnya suka harus ada alasan? Ya tapi Murayama-san memang keren, sih. Ta–tapi."

Ah, sudahlah, aku tidak tahu bagaimana cara menjabarkannya. Namun, Murayama-san tampak pantang menyerah. Ia selayaknya anak kecil yang memiliki keingintahuan yang tinggi. Aku seolah terdesak.

"Baiklah, baiklah. Jujur, aku menyukai Murayama-san karena ... nyaman. Aku tak pernah merasa nyaman, awalnya memang Murayama-san bikin takut, tapi lama-lama aku menemukan kenyamanan dari obrolan kita. Awalnya juga aku berpikir, apa aku terima saja Murayama-san, ya? Tapi, tidak. Maaf, Murayama-san, aku harus mempertimbangkan banyak hal, dan kupikir hubungan kita tidak hanya main-main, itu terlalu membuang-buang waktuku. Maafkan aku.

"Terlebih, aku juga takut dengan batasan yang nanti akan mengekang diriku dan dirimu. Aku sangat takut sekali. Singkat ceritanya, aku belum siap dengan konsekuensi itu semua."

Murayama-san mengerjap. Lantas, ia berkata, "Aku dapat mengerti. Memang jatuh cinta itu sangat menakutkan, tetapi di lain sisi sangat memabukkan. Sebenarnya, temanku sudah mewanti-wanti kalau-kalau aku ditolak. Jadi, aku tidak terlalu terpuruk."

Kali ini, giliranku yang tak mengerti dan membutuhkan penjelasan.

"Salah seorang seniorku di pekerjaan menebaknya. Kau termasuk gadis yang sulit didekati karena memiliki prinsip yang kuat dan andaikata aku menghasutmu agar kau menerimaku, kau tetap tidak goyah dengan pilihanmu."

Aku sangat tersanjung. Memang sih, jika aku perhatikan kembali, hampir semua teman-teman di sekolahku memiliki pacar. Mungkin, hanya beberapanya saja yang memilih untuk berakhir menyendiri sepertiku. Namun, bukan berarti aku merasa ekslusif. Sering sekali aku iri dengan percintaan orang lain, yang tampak mulus-mulus saja, yang kelihatannya mudah sekali mendapatkan pengganti setelah putus dengan yang lama serta berbagai skenario yang sayangnya tak terjadi padaku.

Kendatipun begitu, aku juga terpengaruh oleh pengalaman orang-orang di sekitarku yang mengalami kekerasan dalam hubungan, perselingkuhan, pembatasan keterlaluan, yang semuanya dapat berawal dari perasaan rendah diri berujung overprotektif atau terlalu mengekang.

Menurutku, jika aku berada di hubungan yang mungkin suatu saat seperti itu, aku tak akan bertumbuh. Aku tak akan menjadi apa yang aku mau. Aku pasti selalu memikirkan orang lain di sela-sela masalahku yang tak kunjung berakhir. Aku pasti akan mengalami keributan dengan pasangan dari hal-hal yang mungkin sepele dan aku tak siap dengan konsekuensi itu semua, yang merenggut waktu, tenaga dan pikiranku. Aku sungguh tidak bisa.

Akhirnya, kujelaskan semua pemikiran itu pada Murayama-san, dengan harapan ia dapat mengerti. Bukan berarti aku memandangnya remeh karena ia berandalan dan bekerja sebagai kuli bangunan, tapi aku justru tidak mau membuatnya membuang-buang waktu seandainya kami tak dapat bersama.

Mungkin, Murayama-san harus mencari perempuan lain, yang tak memiliki ketakutan hubungan seperti aku. Kupikir, Murayama-san harus berani membuka hatinya untuk perempuan lain di luar sana.

"Aku tidak mau." Murayama-san menangkis ucapanku.

"Kenapa?"

"Aku hanya menyukaimu. Kenapa aku harus mencari gadis lain?"

Sudah cukup dengan gombalan itu!

"Tapi, jika Murayama-san menyukaiku, kita tak dapat bersama. Apa kau tak masalah?"

"Awalnya kupikir menyukai seseorang harus mengikatnya secara resmi, entah untuk hubungan pacaran atau pernikahan. Tapi sekarang aku berubah pikiran, aku menyukaimu dan itu saja sudah cukup. Jika kau tidak menerimaku, tak apa. Perasaanku biarlah menjadi urusanku."

Tuhan situasi macam apa ini?! []






a/n

Maaf, saya baru bisa meneruskan cerita ini. Akhir-akhir ini saya sedang mengalami masa sulit. Jika kalian berkenan, tinggalkan komentar, ya. Agar saya semangat. Terima kasih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Process of Loving Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang